Cafebahasa hadir sebagai sarana edukasi, pembelajaran, komunikasi serta sebagai media informasi bahasa, sastra, seni, opini-artikel, dan hasil mahakarya (proses kreatif). Kirimkan partisipasi Anda melalui email bbg_cla@yahoo.com

Selasa, 29 November 2011

Contoh Skenario Film Pendek

CONTOH SKENARIO FILM
Skenario

NYANYIAN HATI
(Sebuah Cerita Realitas Sosial)

Thema
(Di manakah Hati Kita, Ketika Sesamamu Yang Menderita Membutuhkanmu)
Sebuah cerita yang diambil dari realitas sosial saat ini

Sinopsis
Ide Cerita
LEO DEDY

Skenario
BAMBANG SETIAWAN

Sutrdara
BEMBENK HADISWAN

Produser
LEO DEDY

Produksi
Tvm (Theresia visual mandiri)
2010

PARA PELAKU
LUKMAN(Seorang Pemulung)
LASTRI (PSK)
ARI (Frater)
MAS SARTONO (dokter)







SINOPSIS

NYANYIAN HATI DI MALAM NATAL
Oleh:
LEO DEDY


Pkl. 22.00 WIB. Di suatu tempat hiburan malam, kelihatan begitu ramai. Seorang wanita PSK tengah asyik menyumut sebatang rokok, dan sambil berkelakar dengan para lelaki hidung belang. Dengan pakaian seksi. Cantik. Masih muda, dengan tas kecilnya duduk di kursi ruang utama. Malam itu, suasananya ramai. Pengunjung dari berbagai penjuru memadati ruangan utama. Tampak hilir mudik pelayan tempat hiburan mengantarkan minuman dan pesanan di meja-meja tamu. Seorang laki-laki, menghampirinya. Menyapanya. Dan, seperti biasanya Nasya (PSK) melakukan transaksi. Lalu pergilah mereka dari keramaian itu menuju ke suatu tempat dengan amat mesra. Nasya (Sang PSK) menggandeng sang lelaki dengan liukan tubuhnya yang aduhai.

Di tempat yang berbeda, di rumah gubuk kardus. Keadaan kumuh. Tumpukan sampah menemani Lukman setiap harinya. Dalam mandi keringat para pemulung itu tersaput pemandangan yang memprihatinkan. Lukman dalam usianya 30 tahun, nampak gagah, dan serius bekerja mengkait sampah diantara tumpukan sampah yang bau busuk. Selanjutnya, seorang pria (bernama ARI) mendatangi seorang pemuda yang asyik mengkait sampah. Senyum Lukman indah, dan kata-katanya adalah bunga yang menebarkan kekuatan. Sorot mata elang dan burung-burung di langit menguasai setiap lenguh nafas Lukman dan para pemulung lainnya. Bahkan stiap detak burung-burung yang mencari kebebasan di angkasa menyaksikan Lukman dan Ari saat berbicang-bincang.

Lukman adalah seorang pemuda yang hidupnya tergantung dari hasil memulung. Sedangkan  Ari adalah seorang Frater yang menyamar untuk live in di antara para pemulung kota besar. Lukman tidak mengetahui identitas Ari. Kemudian, Ari dan Lukman bercerita tentang suatu kehidupan yang dialami oleh Lukman. Percakapan terjadi hingga tengah malam.

Pada saat itu, waktu menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Lukman bercerita kepada Ari. “Semakin hari pemandangan semakin tragis. Setiap orang mementingkan dirinya sendiri. Tidak mengerti dengan sesama manusia.” Cerita Lukman seperti sebutir peluru dari moncong senapan pemburu. Ia terpaksa menjalani hidup ini sebatang kara. Setiap bercerita kegelisahan muncul dari wajah Lukman. Di sela-sela perbicangan Lukman dan Ari, seorang anak menangis sambil berlari-lari kecil di atas pematang sampah, mendekati ibunya yang kerap melantunkan lagu duka.
Bumi nampak gonjang-ganjing. Disaat inilah Ari menjadi pendengar yang baik, dan selalu memberikan motivasi agar Lukman bisa bangkit dari hidupnya. Setiap kata yang disampiakan Ari, menjadi mutiara bagi Lukman. Rasa prihatin. Kesedihan, mengetuk hati Ari. Kata-kata Ari adalah bunga. Dan malam hitam adalah saksi yang ditingkahi suara jangrik. Sementara malam semakin dingin, dan angin semakin menusuk hati kecil pemulung itu. Sementara itu, di pematang sampah, seorang laki-laki telanjang dada bermandi peluh mengkait sampah.

Tidak jauh dari pematang sampah yang kumuh terdengar suara motor. Bising.  Sebuah motor Suzuki Thunder berpenumpang 3 orang melaju dengan kecepatan tinggi. Dua laki, satu perempuan (Nasya). Ketika sampai di tempat tumpukan sampah, pengendara tadi menjatuhkan seorang penumpang perempuannya (Nasya). “Hei... Nasya...mampus kamu.” Teriak serak seorang laki-laki, memakai jaket hitam, seperti layaknya preman. Kegersangan malam, di pematang sampah itu menjadi saksi Nasya. Seperti mata elang yang merah secara tiba-tiba.

Ada kebanggaan dalam diri Lukman disela-sela perbicangan dengan Ari. Ketika luka-luka dihatinya mulai ditaburi bunga oleh Ari. Saat mata akan memejam untuk beristirahat. Tiba-tiba Lukam dan Ari, mendengara rintihan (suara) seorang perempuan minta tolong. “Aduh..gelap sekali. Di mana aku. Tolong ... tolong ... tolong ... di mana aku sekarang. Gelap sekali. Tolong ... tolong ...”. suara perempauan itu (Nasya) memecahkan hamparan Lukman dan Ari.

Lukman dan Ari bergegas bangun dan mencari sumber suara tersebut. Tidak begitu jauh dari tempat Lukman seorang wanita (Nasya) kesakitan, dan menangis sedih. (Nasya menangis)...tersedu di pematang sampah. Tempat yang setiap hari menjadi ajang Lukman bercengrama dengan tumpukan sampah. “Non...! siapa? Kenapa Non ... malam-malam berada di sini?”. Suara Lukman mencoba memanggil Nasya dari Kejauhan. “Aduh ... tolong saya Mas ...? tolong saya ...!” Nasya sambil merintih kesakitan. Setelah bergegas Lukman mendekati Lastri, ia terkejut. Didapatinya, seorang perempuan dengan paras cantik dan baju yang koyak-koyak. Dan kondisi lemas, pucat. . “Aduh Non, kenapa malam-malam beradi di sini. Ayo Non ... saya bantu. Bangun Non ... bangun. Bangun ... Non! Bangun.”

Segera Lukman membawa Nasya, ke dalam pondoknya. Sebuah tempat yang tidak layak. Dari kardus. Bau sampah menyengat. Tidak ada lampu. Hanya satu buah lampu Templok, menyala kecil, dan berkedip-kedip, memaksa untuk menerangi gubuk Lukman. Wanita itu (Nasya) terlihat seperti habis dipukuli. Wajah ayunya seperti kolam yang tidak bisa diselami. Pucat. Badannya demam dan penuh dengan luka.

Dalam gelap langit menjelang pagi. Lukman dan Ari merawat Nasya. Nasya dibaringkan oleh Lukman pada sebuah tumpukan kardus. Sebuah tempat yang biasa dipakai oleh Lukman untuk membaringkan badannya ketika lelah. “Saya telah sakit karena diperdaya oleh laki-laki preman tersebut. Tapi kenapa saya dibuang? Kebijakan dan keadilan macam apa ini?” Nasya berbisik sambil merasakan kesakitan. Semua diam. Membisu. Dan tidak mengerti apa-apa ketika, mulut Lastri mengeluarkan kata-kata yang tidak disadarinya. Lukman dan Ari membiarkan Nasya beristirahat di tumpukan kardus. Lukman mengambil selimut yang sudah koyak, dan tidak pantas dikenakan lagi, untuk menyelimuti Nasya.

Keesekokan harinya, Cahaya matahari masuk ke dalam kamar. Nasya terlelap. Lukman duduk dipinggir samping Nasya tidur, rambut Nasya masih acak-acakan. Sesekali masih menahan kesakitan. Nasya terbangun. Nasya terkejut. Lastri Ketakutan, melihat dua (2) orang laki-laki, Lukman dan Ari. Nasya berteriak “Jangan sentuh aku! Minggir! Awas! Siapa kamu! Kenapa saya ada di sini. Kamu apakan saya! Jangan sentuh aku. Minggir. Awas!”. Nasya akhirnya menangis. Perasaannya semakin bebas meluncur seperti kuda-kuda ganas di padang rerumputan yang tak bertuan. Lukman hanya diam dalam diri pasrah pada Tuhan. Nasya berteriak kembali. “Hitam adalah hitam, sekalipun dicampur sama putih.” Begitulah keyakinan Nasya semakin membeku. Nasya akhirnya memandang Lukman dan berkata “Bulan itu kini tak cantik lagi. Karena telah tertusuk oleh ilalang.”

Nasya akhirnya memperkenalkan diri kepada dua orang laki-laki yang menolong dirinya di malam tadi. “Terimakasih mas” ucapnya sambil menahan nafas yang sesak karena habis menangis. Dan raut wajahnya semakin keruh, ketika Lastri menyalami Lukman dan Ari. “Namaku Nasya. Tapi nama yang diberikan oleh ibuku adalah Nasya. Nasya adalah nama pemberian bapakku. Sewaktu ibuku hamil  atau mengandung aku, pada usia 3 bulan ayahku meninggal, karena harus melawan penyakit. Dan almarhum bapakku berpesan pada ibu, agar ketika aku nanti lahir di dunia diberi nama Lastri”. NASYA (LASTRI) kemudian menceritakan kejadian yang sebenarnya menimpa dirinya semalam.

“Benar semalam kamu dibuang oleh mereka?” tanya Lukman pada Nasya. “Iya mas” jawab Lastri padanya. “Lalu kamu tinggal di mana?” Ari bertanya pada Lastri. “tidak punya tempat tinggal mas. Aku sendiri tidak tahu siapa aku”. “Kasihan Nasya.” Bisik Ari. Sebagai rasa prihatin, Lukman dan Ari mengijinkan Lastri untuk tinggal di tempat Lukman yang dipenuhi bau sampah yang menyengat pagi, siang, malam. Dan akhirnya Lukman dan Ari merawat Nasya sampai sembuh. Lukman dan Ari tidak tahu bahwa wanita yang ditolongnya semalam dan tinggal di tempat Lukman ini adalah seorang pelacur.

Rupanya, kehidupan yang berbeda dari kehidupan Nasya ini sebelumnya, mulai membawa pada satu titik pengakuan tentang siapa dirinya sebenarnya. Pada suatu ketika, saat sedang memulung bersama Lukman, Nasya berjumpa dengan seorang preman yang pernah tidur dengannya. Terjadi dialog dan pertengkaran karena si preman memaksa Nasya untuk mau tidur dengannya lagi. “Hei Nasya. Kenapa kamu ada di sini!” Teriak seorang preman tersebut. “Saya bukan Nasya. Saya Lastri.” Jawab  Nasya. “Bukan! Kamu Nasya. Seorang wanita yang pernah menghiburku. Dan menemaniku...haa.a.a..aa.” Teriak seorang preman lagi “Dasar Pelacur Loe”. Nasya berlari ke gubuk Lukman. Dan Lukman berusaha membela Nasya. Nasya menangis sekuat-kuatnya. Lukman, Ari hanya berani berdiri dari luar gubuk sambil mendengarkan tangisan Nasya. Sebuah keheranan muncul pada pikiran Lukman. “Siapa sebenarnya Nasya! Lastri.” Ungkap Lukman di depan Ari.

Sejenak pikiran Lukman ingin protes. Sikap Nasya menunjukkan hal aneh pada diri Lukman. Suasana pikiran dan debaran jantung Lukman semakin tidak karuan. Hiruk pikuk tak terkendali. Tiba-tiba Nasya memanggil Lukman dari dalam gubuk. “Mas, tolong aku”. Lukman akhirnya masuk untuk menemui Nasya. Dan Lukman memeluk Nasya, untuk mencoba menenangkan perasaannya. Setelah pikiran Nasya tenang, Lukman mengajak berbicara kepada Nasya. Apa yang sebenarnya Nasya sembuyikan dari kehidupan ini. Dalam hati Lukman muncul pertanyaan “Bukan! Kamu Nasya. Seorang wanita yang pernah menghiburku. Dan menemaniku...haa.a.a..aa.” Sentak hati Lukman semakin pilu.

Lukman akhirnya memanggil Ari untuk masuk ke gubuk. Selanjutnya, Nasya menceritakan siapa dia sebenarnya. Sedikit terlihat rasa takut di wajah Nasya. Dia demikian pasrah dan jujur mengatakan kesalahan dirinya. atas ketidakjujurannya. Menyaksikan hal tersebut, Lukman dan Ari mematung bingung. Tak berani sedikitpun memancing-mancing Nasya. Lukman dan Ari hanya bisa terdiam dan mendengarkan sedikit demi sedikit cerita yang terkuak dari mulut Nasya. “Kalau bicara sakit hati, sayalah yang paling sedikit sakit hati. Saya dibuang, dinodai, dan ditelantarkan di pematang sampah seperti ini.” Nasya mulai bicara. “Jadi mulai sekarang mas Lukman, dan mas Ari panggil aku Lastri saja. Sebuah nama untuk mengingatkan pada almarhum bapakku.”

Saat itulah pikiran Lastri (Nasya) seperti ribuan kaki mencari pijakan. Seperti lenguh sapi dikandang tanpa gembala dan anak ayam terpisah dari induknya, ketika Lastri bercerita tentang dirinya pada Lukman dan Ari. “inilah aku seorang pelacur” teriak Nasya nampak menyimpaan kehampaan dan dicekam rasa takut. Ari dan Lukman terdiam mematung.

Lukman terdiam. Pikirannya berputar kemana-mana, kesana-kemari. Akhirnya Ari bicara. Dalam nadanya yang tenang, sikapnya yang menunjukkan kedamaian, Ari memberi wejangan singkat kepada Lastri (Nasya). “Nasya, semua manusia itu penuh dengan cacat, dan tidak ada yang sempurna di mata Allah”. Ari berusaha menuntun Nasya agar hidupnya berubah menjadi lebih baik. Begitu juga dengan lukman, pemuda polos ini dengan ringannya mengatakan, “Jika ada diantara mereka yang merasa tidak punya dosa, silahkan mereka melemparkan batu kepada mu.” (Penggalan dari kitab suci).

Nasya menangis ketika kedua laki-laki ini mencoba menenangkan hatinya. Sorot matanya layu, seperti sorot mata elang yang kini padam, hanya bibir tergetar tak tertahankan. Sepertinya Lastri berkata terhalang malu dan penyesalan.
“Saya tak menyangka kejadiannya akan seperti ini. Hidupku hancur oleh waktu. Diriku diperdaya oleh materi semata. Sementara hidupku kosong. Tuhan tidak pernah ada dalam hidupku. Hidup ini seperti sebuah sirkuit. Saya tidak bisa mengikuti jalan yang benar. Kenapa tubuhku hanya sebagai alat untuk mengelebui hidup ini. Kotor. Bodoh. Berdosa aku. Tak pantas aku hidup”, Nasya mengungkapkan perasaan hatinya.
“Maksudmu?”
“Aku ini adalah pelacur mas. Seorang wanita penghibur setiap laki-laki, yang mengingingkan sebuah kepuasan. Aku berdosa mas. Hidupku penuh dengan dosa”, tangis Lastri semakin mendesu dan lirih, sambil menyesali perbuatannya.
“Tidak!”, Lukman menyela pembicaraan Nasya.
“Tidak apa maksudmu?”, Lastri semakin tidak mengerti.
“Nasya, Tuhan akan mengampuni siapa pun yang mau bertobat, dan meninggalkan perbuatannya yang jahat”, Ari mengatakan hal ini pada Nasya  yang sedang kalut hatinya.
“Nasya, sekarang adalah saatnya Nasya untuk berubah. Kita harus melakukan pembelajaran masa lalu, sebagaimana sebuah perputaran dan kita harus lebih baik untuk menuju masa depan. Nasya, jangan bersedih terus. Nanti kamu sakit”.

Hidup terus berlanjut, Lastri (Nasya) tinggal bersama Lukman dan Ari pada sebuah gubuk kardus. Hari-hari dijalani dengan memulung untuk kebutuhan hidup. Suatu ketika Nasya melihat sebuah salib dan rosario tua yang tergantung di dinding gubuknya Lukman. “Ya...Salib yang terpampang di dinding itu, mengingatkan diriku akan Tuhan. Sudah lama saya tidak berkomunikasi dengan Tuhan melalui doa”, Nasya berbicara sendiri, sambil melihat Salib yang terpampang.

Malam sudah mulai tiba. Bintang di langit menghiasi pematang sampah tempat Lukman mengkait sampah. Tak terlihat rasa takut sedikitpun Nasya menanyakan sesuatu hal kepada Lukman.
“Mas, bolehkan saya menanyakan sesuatu kepadamu?”
“oh... tentu boleh. Apa yang ingin kamu tanyakan kepadaku Nasya”.
“Mas Lukman adalah seorang Katolik ya?”
“Benar.  ya benar, saya seorang Katolik. Itulah imanku”.
“Nasya sebenarnya juga Katolik mas. Hanya saja Nasya sudah lama, tidak pernah ke gereja, tidak pernah mengaku dosa. Bahkan Nasya lupa akan Tuhan”.

Ari Mendengar percakapan antara Lukman dan Nasya, lalu ikut masuk ke dalam gubuk. Dari sorot mata Lastri dan Lukman terpancar kebahagiaan. Melihat hal ini, Ari memberikan banyak arahan kepada Nasya untuk bertobat. Setelah mendapatkan nasehat dari Ari, Lastri merasa legowo. Ari menyarankan agar Nasya segera mengaku dosa.
“Bagaimana Nasya? Apa kamu menerima tawaran saya?”
Pelan Nasya mengangguk, sekalipun belum pernah terpikirkan bagaiamana mengaku dosa. Setelah kesepatan itu ada dalam hati Nasya, Lukman merasa bangga. Seperti rusa yang merindukan air. Seperti kerinduang akan Tuhan telah datang dan menyapa Nasya.
“Maafkan saya, mas Lukman. Selama ini saya tidak jujur dengan mas Lukman. Saya baru tahu betapa besar kehadiran Tuhan dalam hidup ini”.
“Ngak apa-apa! Keberanian Nasya untuk mengemukakan pendapat, dan serta ungkapan hati  sangat mengimbarakan saya. Apalagi setelah saya tahu bahwa Nasya adalah seorang Katolik. Karena itulah ini adalah bagian dari campur tangan Tuhan dalam hidup ini. Kita harus bersyukur, ternyata Tuhan masih menyapa kita”.
“Saya malu mas!” air mata Nasya perlahan mulai keluar. Menetes, bak bunga yang tersiram air kehidupan. Nasya adalah seorang yang kering dengan iman. Pertemuan inilah yang mendorong Nasya untuk bertobat.
“Ngak usah malu Nasya” ungkap Ari di disamping Lukman sambil memegag pundak Nasya.

Suatu sore, Lukman mengantarkan Nasya untuk bertemu dengan pastor dan minta pengakuan dosa. Sesamapi di Gereja Nasya bertemu dengan Pastor. Ditemani Lukman, Nasya pun mewujudkan niatnya untuk mengaku dosa di Gereja.
“Nasya silahkan masuk ke Gereja. Dan berdoalah terlebih dahulu. Setelah itu, silahkan kamu mengaku dosa”, ungkap Pastor sebelum mengaku dosa. Nasya pun bergegas menuju gereja, bersama Lukman. Setelah berdoa, untuk mempersiapkan diri, Nasya masuk di ruang atau kamar pengakuan dosa. Disana Pastor telah menunggu Nasya untuk mengaku dosa kepada Tuhan. (Terjadi dialog dengan imam di kamar pengakuan. Proses seperti orang mengaku dosa pada umumnya).

Hati Lukman berdebar-debar. Seperti elang yang terbang bebas, tinggi diangkasa. Dengan kesabaran Lukman menunggu di dalam gereja. Perasaan Lukman seiring dengan waktu perlahan-lahan mulai tenang. Tak berapa lama, Lastri keluar dari kamar pengakuan dosa.
“Bagaimana Nasya perasaanmu?” tanya Lukman.
“Mas, Nasya sekarang senang, tenang, merasa damai. Ternyata hidup ini saling melengkapi. Terimakasih Tuhan, Engkau telah mempertemukan saya dengan mas Lukman. Suatu keindahan dalam hidup ini”, ungkap Nasya saat menjawab pertanyaan Lukman.
“Lastr Nasya, mari kita pulang. Semoga ini menjadi awal kedamaian dan ketentraman dalam hidup kita. Siapa pun Nasya, dan dari latar belakang apapun Nasya, mas Lukman tetap akan menjaga Nasya”, ungkap Lukman sambil mengandeng tangan Nasya.

Hati Nasya terasa tenang ketika ia meninggalkan gereja. Ranting-ranting yang kering mulai bertunas dengan daun-daun muda. Musim gugur menjadi musim semi. Sungai yang kerig dan keruh mulai terisi air dan jernih. Lukman dan Nasya akhirnya sampai rumah. Sebuah gubuk dari kardus. Punya makna dalam kehidupan Lukman.

Hidup terus berlanjut. Lukman dan Nasya memulung tiap hari, bercanda, dan tertawa. Seperti sepasang merpati yang terbang diangkasa, dipenuhi mega-mega cinta. Akhirnya, Lukman dan Lastri saling jatuh cinta. Tetapi cinta ini tidak mudah bagi Nasya. Nasya menyadari betul betapa dirinya penuh dengan dosa dan tidak seperti wanita lain. “Tuhan, dekatkanlah diriku pada mas Lukman, sebab dia baik padaku”, Nasya bergumam dalam hati kecilnya.

Cuaca di sekitar pematang sampah mulai mendung. Angin mulai berdesir, udara mulai terasa dingin. Kilatan petir, seperti tamu tak diundang menyapa dan mengetuk pematang sampah. Gerimis kecil menghiasi pematang sampah. Dan tumpukan-tumpukan sampah mulai menyebarkan bau busuk, yang sangat menyengat sekali. “Nasya ayo cepat pulang, cuaca tidak baik. Kita beristirahat, besok kita lanjutkan mengkait sampahnya”, panggil Lukman. “Iya Mas Lukman. Sepertinya hujan akan membasahai pematang sampah ini”, jawab Nasya sambil menghampiri Lukman.

Suatu ketika Nasya mendapatkan cobaan lagi, Lastir bertemu dengan orang-orang yang pernah mengencaninya, mulai dari Polisi, Tokoh umat di gereja, orang kaya dan laki-laki lain, yang pernah mengencaninya. “Hei...coba lihat. Bukankah itu Nasya. Wanita yang sering menemani kita di diskotik”, celetus seorang laki-laki berpenampilan preman. Semua orang itu memandang Nasya dengan tatapan LAPAR, layaknya Harimau yang ingin memangsa lawannya. Dan keributan pun terjadi, di pematang sampah. Orang-orang yang sedang mengkait sampah hanya memandang bisu, tanpa melakukan perlawanan. Mereka semua takut, melihat kehadiran beberapa laki-laki yang tidak pernah dikenalnya. Keributan terjadi dengan hebat. Nasya ditarik oleh preman-preman itu.
“Mas Lukman tolong Lastri”, teriak Lastri dengan kuat.
“Nasya ... Nasya. Hei siapa kamu. Tolong jangan ganggu wanita itu. Lepaskan, cepat lepaskan Nasya. Atau aku akan teriakin maling. Cepat lepaskan wanita itu. Lastri....Lastri”, dengan nada kuat dan garang Lukman memaki beberapa preman yang mencoba membawa Lastri.
“Ayo cepat lari dari sini. Bahaya nanti kita. Cepat...cepat..cepat. lari, ayo lari”, teriak preman-preman itu, sambil melepaskan Nasya dari seretannya.

Akhirnya, preman-preman itu melepaskan Lastri dan lari dari tempat pematang sampah. Atas kejadian tersebut, Nasya batinnya mengalami penyiksaan. Nasya merasa hatinya hancur. Ketika daun-daun yang layu bersemi, ulat-ulat itu selalu memakan pupus-pupus daunnya. Nasya kecewa, dan berusaha untuk bunuh diri. Lastri merasa hidup ini sudah tidak ada arti lagi. “Maafkan aku ya mas Lukman. Mungkin ini jalan terbaik untuk ku. Lebih baik aku mati, daripada hidupku hancur. Sekali lagi maafkan aku mas Lukman, jika tidak bisa memenuhi harapanmu”, ungkap Nasya ketika akan melakukan bunuh diri, dengan seutas tali yang ada dikarung sebagai tempat untuk menampung kaitan sampah.
“Lastri hentikan, itu tidak baik”, teriak Lukman.
“Biarkan aku mati, mas”, Teriak Nasya, sambil menangis, menguarai air mata.
“Lastri jangan, jangan, jangan, Nasya jangan lakukan itu. Nasya hentikan!” seru Lukman kembali.

Burung-burung angkasa pun ikut berteriak untuk menghentikan perbuatan Nasya. Mega-mega dan langit saling bercengkrama dan terkejut melihat Nasya. Seperti bunga putri malu, yang layu ketika disapa dan disentuh oleh orang. Orang-orang yang mengkait sampah diam terpatung, sambil melihat apa yang hendak dilakukan oleh Nasya. Di saat itulah Lukman  bertindak bagaikan Malaikat Pelindung. Dengan cepat kilat Lukman lari memeluk Nasya. “Nasya jangan lakukan ini. Bukan kah kamu tahu kalau mas Lukman, sangat mencitaimu, Nasya. Benar Nasya, mas Lukman mencitaimu. Jangan lakukan ini. Kita masih punya masa depan yang panjang, untuk menapak kehidupan ini”, tegas Lukman sambil memeluk Nasya. Nasya terus menangis. “Mas Lukman, aku ini perempuan kotor. Perempuan yang tidak pantas hidup bersama mas Lukman”, seru Nasya. “Tidak Nasya, percayalah kita akan hidup bahagia. Tuhan pasti akan memberikan jalan terbaik untuk kita berdua”, suara Lukman membisik di telinga Nasya.

Seiring dengan perjalanan waktu. Dan ditengah keputus-asaan Nasya, Lukman melamar Nasya untuk di jadikan istrinya. Sebuah kebahagiaan muncul dalam hati Lukman dan Nasya. Ini semua adalah karunia Tuhan. Tuhan sungguh baik pada umatnya.

Menjelang sore, angin semilir mengapai, dan menelusuri pematang sampah. Daun-daun kelapa melambai-lambai, dan kicauan burung semakin semarak, melengkapi suasana di pematang sampah tempat sehari-hari Lukman berkekar mencari nafkah. Burung-burung di angkasa berteriak menyambut kedatangan Ari. Ari datang menghampiri mereka. Saat itulah Ari membuka jati dirinya, bahwa Ari adalah seorang Frater yang sedang Live in pada waktu itu. Dan sekarang Ari sudah ditahbiskan menjadi Pastor.
“Lukman, saya sebenarnya adalah Frater, waktu itu”.
“Benarkah Ari,....”, sela Lukman.
“oh maaf Pastor Ari”, gumannya sambil senyum kecil.
“bagaimana dengan dirimu, Lukman, dan bagaimana dengan Nasya?” tanya Pastor Ari.
“Baik, Pastor. Nasya juga, sudah mulai merubah hidupnya. Terimakasih sekali Pastor, atas segala saran pada waktu itu, sehingga Nasya berubah. Dan sekarang saya, mulai jatuh cinta pada Nasya”, ungkap Lukman kepada Pastor Ari.
“Lukman, kalo memang kamu benar-benar mencintai Nasya dengan sungguh hati. Dan jika kamu sungguh-sungguh akan membina rumah tangga dengan Nasya, saya siap untuk menikahkan kamu”, tegas Pastor.
“Betul Pastor, saya sangat mencintai Nasya. Walaupun latar belakang kehidupan  Nasya, pernah mengalami hal pahit, tapi saya tetap akan menjaga dan melindungi Nasya dengan sepenuh hati”, sela Lukman disela-sela perbicangan dengan Pastor Ari.
“Nasya apakah kamu betul-betul mencitai mas Lukman?” tanya Pastor dengan nada bercanda.
“Iya Pastor, saya sungguh mencitai mas Lukman. Tapi apakah mas Lukman akan mencitai Nasya. Bukankah Nasya adalah pernah menjadi Pelacur”, jawab Nasya.
“Nasya, kamu bukan pelacur, tapi sekarang kamu adalah wanita yang berubah dari kehidupan lama. Kamu adalah sesosok wanita yang baik”, ungkap Lukman sambil menunduk malu mengungkapkan hal ini di depan Pastor.
“Baiklah, kalo memang kalian berdua sudah sehati. Saya akan mempersiapkan persiapan untuk pernikahan kamu mendatang”, ujar Pastor.
“Terimakasih Pastor”, jawab Lukman dan Nasya dengan serempak.

Setelah keaadan hati Lukman, Nasya semakin tenang, damai, Pastor Ari bersedia menikahkan Lukman dan Nasya. Ari menikahkan mereka di komplek perumahan kumuh. Sebuah tempat pematang sampah. Jauh dari kesederhanaan dan jauh dari kemewahan. Dan hanya dihadiri oleh orang-orang yang dalam keadaan susah. Dan mulai saat itulah Lukman memanggil istrinya dengan Lastri.
Lastri hadir dengan hidup yang baru. Sekarang Lastri (Nasya) sudah menjadi bagian hidup dari Lukman. Lastri sebagai Istri Lukman. Jauh dari dosa dan hidup lebih dekat dengan Allah. Hidup terus berlanjut dan hari-hari dijalani pengantin baru ini dengan kesederhanaan.

Suatu ketika saat sedang memulung Lastri muntah-muntah. Lukman bingung dan tidak tau mau dibawa kemana untuk berobat. Ia membongkar celengan dari kaleng karatnya dan hanya mendapatkan uang Rp 15.000.-.
“Tuhan berilah kami rejeki pada hari ini”, ungkap Lukman saat membuka celengan.
“Semoga hasil dari kerjaku ini cukup untuk biaya ke dokter”, ujar Lukman dalam hati.

Di saat yang tepat Pastor Ari datang dan memberikan sedikit uang untuk  berobat. Selanjutnya Lukman membawa Lastri ke dokter. Dan Dokter mengatakan bahwa Lastri Hamil. Kebahagiaan dan kesedihan terpancar dari wajah Lastri, dan Lukman.
“Lukman ....”, panggil dokter.
“iya..dokter”, tegas Lukam
“Silakah duduk, mas Lukman. Istri anda hamil. Bersyukurlah dan berdoalah pada Tuhan, karena berkat Tuhanlah istri anda hamil”, permintaan dokter pada Lukman.
“Baik dokter, terimakasih Tuhan, Engkah sungguh baik, karena Engkau Tuhan telah memberikan momongan pada istriku”, ungkap Lukman, dalam suasana kebahagiaan.
“Lastri, kita akan punya anak”, ujar Lukman sambil memegang perut Lastri.
“Iya, mas. Semoga anak kita nanti lahir, tangisnya menjadi Nyantian Hati di Malam Natal. Aku ingin anak ini lahir dalam kesederhanaan dan menjadi anak yang baik”, sela Lastri pada Lukman.

Bahagia akan mendapatkan anak. Dan sedih akan kemiskinan mereka. Setelah itu Lastri dan Lukman kembali ke gubuk kardusnya. Untuk memenuhi kebutuhan Lastri, Lukman bekerja siang dan malam untuk mendapatkan uang. Uang yang di dapat selalu di masukkan di dalam kaleng ajaibnya. “Tuhan terimakasih atas rejeki pada hari ini, semoga uang ini nanti dapat bermanfaat untuk biaya kelahiran anakku. Terimakasih Tuhan”, ungkap Lukman sambil memasukan uang dalam kantong ajaibnya.

Keesokan harinya. Cobaan datang datang menimpa rumah tangga Lukman, uang yang di dalam kantong itu dicuri oleh orang yang jahat. Lukman kaget. Hatinya hancur. “Tuhan ... kenapa, uang yang kusimpan untuk persiapan kelahiran anakku, hilang. Hilang dicuri oleh orang yang jahat. Sekian lama aku mengumpulkan uang, ternyata sia-sia. Tuhan ....”, sambil bersimpuh di lantai, dan Lukman mengungkapkan kekesalannya.

Kandungan Lastri memasuki bulan yang ke sembilan (9). Di usia kandungan yang sudah tua, Lukman dan lastri masih tetap memulung. Dari tempat sampah yang satu ke tempat sampah yang lain. Ketika mendekati hari kelahiran anaknya, mereka mencoba datang ke bidan, rumah sakit, tetapi di tolak karena kemiskinan mereka. Lukman berusaha membawa Lastri ke rumah bos penampungan barang bekas, tetapi di tolak juga. Lukman berusaha ke gereja dan ketemu pastor, tetapi karena kesibukan para pastor untuk persiapan Natal, akhirnya tidak membuahkan hasil.

Tengah malam pada tanggal 24 Desember, akhirnya sang bayi laki-laki lahir di rumah gubuk kardus dengan pertolongan seorang tukang sapu jalanan. Ketika bayi itu menangis, keheningan malam seperti tersapu oleh tangisan bayi. Hati Lukman semakin bergetar, ketika sang bayi lahir ke dunia. Lukman bersujud syukur dan menangis………. Ia memanjatkan doa kepada Allah…..” Ya Bapa, Putraku lahir di tengah rumah derita ini, dan akan aku persembahkan kepadaMu” Selamat Natal Lastri, Selamat datang kedunia ini anak ku……
Malam itu gerimis mulai muncul, dan hujan mulai memadati suasana pematang sampah, gubuk kardus. “Mas Lukman”, seorang tukang sapu memanggil Lukman.
“Iya bu”, jawab Lukman dengan rasa gembira.
“Anak mu laki-laki. Selamat”, kembali Ibu tukang sapu menyapa Lukman.
“Terimaasih Bu”, jawab Lukman.

Tak berapa lama setelah bayi tersebut lahir. Tiba-tiba Lastri menangis kesakitan. Dan Lukman bingung. Mungkin Tuhan punya rencana terbaik dan terindah untuk keluarga Lukman. Di malam Natal itulah Lastri harus menghembuskan nafas terakhir karena kehabisan darah.
“Mas Lukman, jaga baik-baik anak kita mas”, ucap Lastri sambil merasakan kesakitan.
“Lastri, kamu harus kuat. Kamu harus kuat. Jangan tinggalkan aku dan anakmu Lastri”, tegas Lukman, semakin kuatir.
“Mas Lukman harus jaga baik-baik”, pesan Lastri.

Lukman berteriak keras, karena Lastri harus pulang ke Rumah Tuhan di Surga. “Tuhan di manakah Engkah?. Tuhan di manakah Engkah?....Tuhaaaaaaannnn, dimanakah Enggggggggkau..uuuuu?”

Begitu haru dan sedih. Di malam yang kudus, dimana seluruh umat merayakan kelahiran Yesus dengan Suka cita, ternyata di tempat yang jauh berbeda dari di gereja seorang perempuan melahirkan anaknya dalam kesengsaraan. Inilah Yesus yang hadir 2000 tahun yang lalu dalam derita. Apakah kita menyadari ataukah kita sadar bahwa di sekeliling kita banyak orang-orang yang tidak mampu. Masihkah kita berkoar-koar di depan Gereja seperti orang-orang farisi pada jaman dahulu kala? Dimanakah  hati kita, ketika sesamamu yang menderita membutuhkanmu?

1 komentar:

  1. Maaf, numpang promosi kakak...
    Tonton film pendek kami yaa, dgn judul "Aman-ah". Film yg kami buat adalah film-film yg menjurus pada pendidikan karakter, semoga dgn menonton film kami, kalian bisa mengambil hikmah yg terdapat pada film ini, aamiin...
    Bantu juga untuk Like, Comment, Subscribe, dan Share yaa... :-)
    Terimakasih kakak...
    https://youtu.be/ggdKTkdk4PY
    (Skenario saya, yg saya filmkan bersama [SH.PM Revolution's])

    BalasHapus