A. Sejarah Bahasa Indonesia Baku
1. Fungsi Pembakuan Bahasa
Sudah lama terasa perlu adanya “standarisasi” atau pembakuan dalam bahasa Indonesia. Hal ini dirasa perlu karena dirasa sudah demikian banyaknya kosa kata asing maupun daerah yang masuk ke dalam bahasa Indonesia, yang pemakaiannya belum diatur dengan suatu kaidah yang bisa dijadikan pedoman oleh para pemakai bahasa Indonesia.
Apabila keadaan di atas dibiarkan begitu saja, tanpa ada usaha pembakuan, tentu salah tafsir terhadap pemakaian kosa kata tersebut akan menimbulkan persoalan baru yang barangkali membingungkan kita sebagai pemilik bahasa Indonesia itu sendiri. Pemerintah dalam hal ini memang sudah melakukan usaha yang dapat menyamakan tafsiran para pemakai bahasa Indonesia. Usaha tersebut meliputi berbagai bidang yang membangun bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa negara, bahasa persatuan, bahasa kesatuan, dan bahasa nasional. Usaha ke arah pembakuan itu pun dilakukan secara bertahap karena luasnya bidang yang dicakup dalam pemakaian bahasa Indonesia.
Tahap pertama dimulai dengan Keputusan Presiden No.57 tahun 1972, dengan diresmikannya Ejaan yang disempurnakan untuk seluruh Indonesia. Kemudian, oleh Departemen Pendidikan dan kebudayaan dikeluarkan “Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Pembentukan Istilah”, sebagai lampiran keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27 Agustus 1975 No.0196/u/ 1975.
Jadi, hingga sekarang kita baru sampai kepada pembakuan di bidang ejaan dan pembentukan istilah. Di bidang-bidang lain seperti pembakuan tatabahasa, ucapan, dan lain-lain masih belum. Kenapa masih seperti ini? Pertanyaan ini tentu tidak mudah untuk menjawabnya karena berbagai sektor dan faktor ikut menentukan.
Usaha pembakuan yang telah dilakukan di atas, menurut Anton Muliono dalam Situmorang (1986:28) sangat penting, yakni:
1. Fungsi pemersatu bagi seluruh bangsa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa negara, bahasa resmi. Bahasa Indonesia harus mampu me ngikat suku-suku yang ratusan jumlahnya di Indonesia dan harus mampu menjadi wahana pengungkap kebudayaan nasional yang berasal dari segala macam tradisi, adat dan suku yang tersebar di seluruh Nusantara. Jika demikian, fungsi pemersatu dapat ditingkatkan menjadi suatu bahasa baku yang beradab yang menjadi salah satu ciri manusia Indonesia modern.
2. Fungsi penanda keperibadian, yang dijalankan oleh suatu bahasa baku dan bangsa yang beradab akan terlihat jika dipergunakan dalam pergaulan dengan bangsa asing. Kita ingin menyampaikan identitas kita lewat bahasa Indonesia. Kalau fungsi in sudah dijalankan dan dipraktekan secara luas, maka bahasa Indonesia dapat dianggap telah melaksanakan perannya yang penting sebagai bahasa nasional yang baku.
3. Fungsi Penambahan kewibawaan, jika kalangan masyarakat yang berpengaruh menambah kewibawaannya dengan menguasai bahasanya dengan mahir hingga meningkatkan gengsi bahasa Indonesia akan terlaksana kalau bahasa (Indonesia dipautkan dengan hasil teknologi modern dan unsur kebudayaan baru).
4. Fungsi sebagai kerangka acuan, (frame of reference), yakni ukuran yang disepakati secara umum tentang tepat tidaknya pemakaian bahasa di dalam situasi tertentu. Hal ini akan tercapai bila diusahakan di bermacam-macam bidang seperti: surat-menyurat resmi, bentuk surat-surat keputusan dan akte-akte, risalah-risalah dan laporan, undangan, iklan, pengumuman, kata-kata sambutan, ceramah, pidato dan lain-lain.
2. Ciri Bahasa Baku
Bahasa baku ialah bahasa yang terpelihara baik dalam pemakaian kaidahnya. Bersih dari pengaruh langsung berbagai unsur bahasa daerah dan bahasa asing lainnya. Untuk ini, Anton Muliono dalam Arifin (1982:10) mengatakan bahwa bahasa baku memiliki ciri sifat dinamis yang cukup terbuka untuk menampung: a) perubahan yang bersistem di bidang kosa kata dan peristilahan, dan b) perkembangan berjenis ragam dan gaya bahasa dibidang kalimat dan makna.
3. Beberapa Pengertian dan Penjelasan
Sebelum membicarakan sejarah dan perkembangan bahasa Indonesia, perlu kita mengenal beberapa isitilah yang bisa dipergunakan untuk bahasa Indonesia, yakni:
Bahasa Resmi Bahasa Negara
Bahasa Persatuan
Bahasa Kesatuan Bahasa Nasional
Bahasa Resmi ialah bahasa yang telah disahkan dengan undang-undang dan peraturan pemerintah (resmi = rasmi, Kamus Umum Bahasa Indonesia – Poerwadarminta). Bahasa resmi ialah bahasa yang telah disahkan dan dipakai dalam administrasi pemerintahan, dalam rapat-rapat, di sekolah-sekolah, dalam pertemuan-pertemuan resmi dan lain-lain).
Bahasa Negara (Nagara dari bahasa Sansekerta). Negara ialah suatu daerah yang penduduknya, ada pemerintahannya, ada cita-cita bersama (kemauan bersama). Jadi bahasa negara adalah bahasa suatu bangsa yang mempunyai pemerintahan. Dalam hubungan bahasa Indonesia, bahasa resmi dan bahasa negara sama artinya.
Bahasa Persatuan ialah bahasa yang berfungsi mempersatukan semua suku bangsa yang ada di Indonesia. Tanpa adanya satu bahasa yang dapat menghubungkan suku yang satu dengan suku yang lain tak dapat kita bayangkan bagaiman kita harus berhubungan di Indonesia yang terdiri 13.677 pulau (penghuni 6.004) dan terdiri dari ratusan suku bangsa.
Bahasa Persatuan ialah bahasa yang telah menjadi satu. Oleh karena negara kita negara kesatuan, maka dengan sendirinya kita menginginkan bahasa Indonesia hendaklah juga menjadi bahasa Kesatuan. Pengertian persatuan, dan kesatuan untuk bahasa Indonesia, hampir tidak ada bedanya. Tapi jika istilah ini kita tinjau dari segi tatanegara, jauh sekali bedanya. Misalnya negara kesatuan adalah negara unifikasi, seperti Republik Indonesia, sedang negara persatuan adalah negara federal seperit pada masa R.I.S (Repubil Indonesia Serikat) atau seperti Amerika sekarang.
Bahasa Nasional yakni bahasa yang dipergunakan sebagai wahana untuk menyatakan aspirasi kenasionalan. Perkataan nasional dari kata “nation” artinya bangsa, kemudian melahirkan nasionalisme, nasionalist, yang mengandung makna “perjuangan”.
Untuk bahasa Indonesia kelima istilah di atas sama-sama kita pergunakan. Tapi jika kita melangkah lebih lanjut untuk memikirkan atau merenungkan, kapankah mulai ada bahasa Indonesia, kita pun akan terbentur kepada problema, unsur mana atau unsur apakah yang paling penting menentukan/ menetapkan asal mula bahasa Indonesia tersebut. Apakah unsur resminya, apakah unsur nasionalnya atau unsur-unsur lain.
Ada orang yang berendapat bahwa bahasa Indonesia dan Sastranya baru tahun 1945, 1933, 1928, 1920, 1908 dst. Yang mengatakan 1945, oleh karena resmi dicantumkan dalam UUD, barulah tahun 1945, yakni dalam UUD 45 bab XV, pasal 36, yang berbunyi: “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”. Jadi secara resmi memang baru tahun 1954-lah ada bahasa Indonesia, sebab baru itulah ada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Yang menyatakan 1933, oleh karena pada tahun itu terbit sebuah majalah bernama ‘Pujangga Baru”, yang terang-terangan hendak memajukan bahasa dan kebudayaan Indonesia. Kebanyakan orang-orang yang biasa menulis karya dalam majalah itulah kemudian yang kita kenal dengan sebutan “Angakatan Pujangga Baru”. Tokoh-tokohnya ialah S. Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah dan Armyn Pane.
Yang mengatakan 1928, karena pada tahun itulah (28 Oktober) dicetuskan “Sumpah Pemuda” yang merupakan ikrar para pemuda dari seluruh Nusantara yang berisi:
Berbangsa satu, bangsa Indonesia
Bertanah air satu, tanah air Indonesia
Berbahasa satu, bahasa Indonesia
Sumpah Pemuda ini merupakan tiang tonggak yang sangat penting dalam perkembangan bahasa Indonesia selanjutnya. Jangankan dibidang bahasa, tapi dibidang lain juga seperti di bidang politik dan ideologi kenegaraan arti smpah pmuda ini luar biasa pentingnya. Prof.Dr.A.Teeuw menyebut, 28 Oktober 1928 ini sebagai saat pembabtisan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia.
Yang mengatakan 1920, oleh karena pada tahun inilah mulai muncul karya-karya sastra asli karangan orang-orang Indonesia sendiri seperti Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar dan Siti Nurbaya oleh Marah Rusli. Pada tahun inilah aktifitas Balai Pustaka dimulai dengan terbitnya buku-buku novel (roman) penulis-penulis orang Indonesia dengan memakai bahasa Indonesia. Kalau aktivitas kesusastraan sebelumnya berada di Malaya, maka semenjak tahun itulah mulai ada bahasa Indonesia sebagai alat untuk menyatakan sastra di Indonesia.
Yang mengatakan tahun 1908, karena pada tahun itulah mulai ada organisasi sosial yang menjadi bibit (sumber) pemimpin-pemimpin bangsa selanjutnya, yakni “Boedi Utomo” yang dipimpin oleh para mahasiswa Fakulatas Kedokteran pada waktu itu, seperi Sutomo, Cipto Mangunkusumo dll.., merupakan suatu organisasi yang kemudian menjadi tonggak penting perkembangan organisasi politik di kemudian hari. Dan Pemeritah Republik Indonesia sendiri telah menetapkan 1908 (20 Mei) sebagai hari Kebangkitan Nasional, yang setiap tahun diperingati di Indonesia.
Jadi kalau kita mengakui bahwa unsur nasional, merupakan hal yang penting untuk menetapkan asal mula bahasa Indonesia, maka tidak boleh tidak tahun tahun 1908 yang telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hari Kebangkitan Nasional, kita terapkan pula dibidang bahasa.
Bahasa Indonesia sekaligus sebagai bahasa resmi dan bahasa nasional. Banyak negara yang berbeda bahasa resminya dari bahasa Nasionalnya. Bahasa Tagalok adalah bahsa Nasional di Filipina, tapi bahasa resmi adalah bahasa Inggeris. Di India bahasa nasional adalah bahasa Hindi, sedang bahasa resminya adalah bahasa Inggeris. Di Pakistan bahasa nasional adalah bahasa Urdu sedangkah bahasa resminya adalah bahasa Inggeris. Malahan ada bangsa yang tidak mempunyai bahasa nasional, seperti Swiss, kanada dan Belgia.
Indonesia termasuk bangsa yang sangat beruntung dan pantas berbangga hati karena dia memiliki bahasa nasional yang sekaligus menjadi bahasa resmi. Dan di Indonesia tidak pernah terjadi percekcokan atau pertengkaran tentang bahasa nasional, dan tidak seperti India yang sering terjadi pertumpahan darah karena persoalan bahasa.
Di kalangan masyarakat masih sering terdapat kekeliruan tentang siapakah sebenarnya orang pertama yang menggunakan nama (istilah) INDONESIA. Sampai sekarang masih ada buku yang mengatakan bahwa orang pertama yang menggunakan nama Indonesia seorang entograf Jerman, Adolf Bastian tahun 1884. Aolf Bastian memang memakai nama “Indonesia” sebagai judul karangannya, yang terbit di Berlin tahun 1884, yang jilid pertamanya mengenai Maluku dengan judul “Indonesia” pada Adolf Bastian waktu itu meliputi Kepulauan Melayu, yakni kepulauan antara daratan Asia Tenggara dan benua Australia dan Filipina tanpa Irian.
Tiga pulu empat tahun sebelum Adolf Bastian menggunakan istilah Indonesia tersebut dua orang sarjana berkebangsaan Inggeris telah mempersoalkannya, yakni: G.W. Earlb dan J.R Logan. G.W. Earl seorang etnolog Inggeris membicarakan dalam majalah “The Journal of the Indian Archepelago and Eastern Asia, jilid IV, tahun 1850. Earl mengusulkan nama baru bagi penduduk-penduduk kepulauan Hindia atau kepualauan Melayu (inhabitants of the “Indian Archipelago” or “Malayan Archipelago”, yakni “ Indu-nesian” atau “Malayun-sinas”. Earl sendiri lebih suka memakai nama Melayunesian pada waktu itu, dengan alasan mengandung penghargaan atas kegiatan rakyat melayu yang telah menjelajahi seluruh kepulauan Nusantara sebelum orang Eropa datang ke daerah ini.
J.R Logan, seorang etnolog Inggeris juga, yang pada waktu itu menjadi editor majalah tersebut di atas tidak dapat menyetujui pendapat G.W. Earl dan lebih suka memakai nama Indonesia, dengan alasan: I prerer the purely geoggraphy term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Island Archipelagians or Indian Islanders (Saya lebih suka nama dengan arti georgrafis saja – Indonesia – singaktan untuk pulau-pulau India atau kepulauan India. Jadi penduduk-penduduk kepulauan India atau kepulauan India menjadi Indonesia). Pada waktu itu diusulkannya tiga nama, India, Ultraindia (Transindia) dan Indonesia.
Selama tiga puluh tahun isitlah Indonesia tidak pernah dipergunakan orang lagi. Baru satu tahun kemudian 1881, muncul lagi nama Indonesia dalam sebuah majalah Inggereis yang bernama NATURE. Satu tahun kemudian (1882) terbit sebuah buku pelajaran bahasa Melayu karangan W.E. Maxwell, sarjana Inggereis yang menyebut “The Island of Indonesia”. Barulah dua tahun kemudian (1884) istilah (nama) INDONESIA dipakai oleh Adolf Bastian.
Sarjana etnologi Belanda, yang lebih tepat disebut sebagai peletak dasar etnologi Indonesia, A.G. Wilken, seringkali menggunakan kata “Indonesiers” Wlken memaksudkan penduduk kepulauan Indonesia dengan Irian Jaya, ditambah dengan penduduk Filipina, sebagaian penduduk Madagaskar, dan sebagaian penduduk Taiwan.
Kesimpulannya adalah bukan Adolf Bastian penemu pertama pulau Indonesia, tapi J.R. Logan (James Richardson Logan).
3. Tentang Bahasa Indonesia Baku
Sudah lama terasa perlu adanya standarisasi (pembakuan) dalam bahasa Indonesia. Pembakuan ini meliputi segala bidang. Dan oleh karena luasnya bidang yang dicakupnya, maka pemerintah berpendapat sebaiknya dilaksanakan tahap demi tahap.
Tahap pertama dimulai dengan Keputusan Presiden no.57 tahun 1972 dengan diresmikannya Ejaan yang Disempurnakan untuk seluruh Indonesia. Kemudian oleh Departemen Pendidikan dan Kebudadayaan dikeluarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Pembentukan Istilah, sebagai lampiran Keputusan Menteri P & K tanggal 27 Agustus 1975 No. 0196/ 1975.
Jadi hingga sekarang kita baru sampai kepada pembakuan di bidang ejaan dan pembentukan isitlah dibidang-bidang lain seperti pembakuan tatabahasa, pembakuan ucapan dll., masih belum. Apa perlunya kita membuat pembakuan di bidang bahasa? Menurut Drs. Anton Muliono fungsi pembakuan bahasa itu sangat penting, yakni:
Fungsi pemersatu bagi seluruh bangsa Indonesia sebagai bahasa nasonal, bahasa negara, dan bahasa resmi. Bahasa Indonesia harus mampu mengikat suku-suku yang ratusan jumlahnya di Indonesia dan harus mampu menjadi wahana pengungkapan kebudayaan nasional yang berasal dari segala macam tradisi, adat, suku yang tersebar di seluruh Nusantara. Jika demikian fungsi pemersatu dapat ditingkatkan menjadi suatu bahasa baku yang beradab menjadi salah satu ciri manusia Indonesia modern.
Fungsi penanda kepribadian, yang dijalankan suatu bahasa baku dan bahasa yang beradab, akan terlihat jika dipergunakan dalam pergaulan dengan bangsa asing. Kita ingin menyatakan identitas kita lewat bahasa Indonesia. Kalau fungsi ini sudah dijalankan dan dipraktekkan secara luas, maka bahasa Indonesia dapat dianggap telah melaksanakan peranannya yang penting sebagai bahasa nasional yang baku.
Fungsi penambahan kewibawaan, jika kalangan masyarakat yang berpengaruh menambah kewibawaan dengan menguasai bahasanya dengan mahir hingga meningkatkan gengsi bahasa Indonesia yang baku itu. Fungsi yang menyangkut kewibawaan yang tinggi akan telaksana kalau bahasa Indonesia dipautkan dengan hasil teknologi modern dan unsur kebudayaan baru. Fungsi sebagai kerangka acuan (frame of reference), yakni ukuran yang disepakati secara umum tentang tepat tidaknya pemakaian bahasa d dalam situasi tertentu. Hal ini akan tercapai bila diusahakan di bermacam-macam bidang sepert: surat-menyurat resmi, bentuk surat-surat keputusan dan akte-akte, risalah-risalah dan laporan, undangan, iklan, pengumuman, kata-kata sambutan, ceramah dan pidato dll.
B. Sifat-Sifat Bahasa Indonesia yang Terpenting
1. Yang diterangkan terletak di depan yang menerangkan (Hukum D.M.) – rumah makan – sekolah tinggi
2. Bila kata majemuk terdiri dari dua kata yang sama-sama menunjukkan waktu boleh dipertukarkan tempatnya menurut kepentingannya. (Jika diletakkan di depan berarti itu lebih penting dari kata yang dibelakangnya).
3. Bahasa Indonesia tidak mempunyai kata penghubung untuk menyatakan kepunyaan. Jadi ‘rumah guru” bukan “rumah dari guru”.
4. Bahasa Indonesia tidak mengenal tafsir atau perubahan bentuk pada pokok kata atau kata dasar.
5. Bahasa Indonesia tidak mengenal perbedaan jenis kelamin kata.
6. Imbuhan (awalan, akhiran, sisipan) memainkan peranan yang penting dalam bahasa Indonesia, sebab imbuhan dapat mengubah jenis kata menjadi jenis lain.
Misalnya kata: tunjuk (kata benda), menunjuk (kata kerja aktif), ditunjuk (kata kerja pasif), petunjuk, penunjuk, telunjuk, pertunjukan, dan lain-lain.
C. Bahasa yang Baik dan Benar
Sering kita dengar ungkapan ‘gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar”. Terhadap ungkapan itu timbul banyak rekasi. Pertama, orang mengira bahwa kata baik dan benar dalam ungkapan itu mengandung arti atau makna yang sama atau identik. Sebanrnya tidak!. Justu ungkapan itu memberikan ksempatan dan hak kepada pemakai bahasa secara bebas sesuai dengan keinginannya dan kemampuannya dalam berbahasa. Mari kita tinjau kedua arti kata itu.
Berbahasa yang baik adalah berbahasa sesuai dengan ‘lingkungan” bahasa itu digunakan. Dalam hal ini, beberapa faktor menjadi penentu. Pertama, orang yang berbicara; kedua orang yang diajak bicara; ketiga, situasi pembicaraan apakah situasi itu formal atau nonformal (santai); keempat, masalah atau topik pembicaraan. Beberapa contoh dikemukan berikut ini.
Seorang guru yang berdiri di depan kelas menyampaikan pelajaran kepada murid-muridnya atau seorang dosen di fakulatas yang memberikan kuliah kepada mahasiswanya, tentu harus menggunakan bahasa yang sifatnya formal, yang biasa dinamai bahasa baku. Situasinya adalah situasi resmi. Guru itu tentu tidak dapat menggunakan bahasa santai, misalnya menggunakan bahasa berdialek Jakarta, atau dialek Ambon, atau Manado.
Seorang yang menulis lamaran kerja atau pekerjaan ke suatu departemen atau suatu perusahan, harus juga menggunakan ragam bahasa baku yang resmi. Begitu juga dengan seorang yang menulis artikel untuk suatu surat kabar. Dia tidak punya pilihan lain.
Seorang kuli di pelabuhan Tanjungpriok yang bercakap-cakap dengan temannya sesama kuli, tentu harus menggunakan bahasa seperti yang biasa mereka gunakan diantara mereka. Bahasa kuli-kuli pelabuhan itu tentu bukan bahasa ragam bahasa baku, tetapi ragam bahasa santai. Kuli pelabuhan di Tanjungpriok pada umumnya akan menggunakan dialek Jakarta dengan kata sapaan gue dan lu, dengan ude dan aje dan bukan sudah dan saja.
Anak-anak remaja di Jakarta mungkin akan bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa prokem di lingkungan mereka sebagai penanda identitas mereka dan usaha membatasi lingkungan mereka dari lingkungan luar karena dengan menggunakan bahasa prokem itu, hanya mereka yang mengerti apa yang mereka bicarakan. Orang luar tidak memahaminya.
Kalau seorang ilmuwan bercakap dengan temannya sesama ilmuwan dan yang dibicakaran mereka adalah tentang suatu yang menyangkut suatu ilmu, katakanlah matematka, penerbangan atau sistem monoter, mereka ini tentu harus menggunakan bahas baku atau ragam ilmu yang mereka bicarkan itu.
Kalau kita pergi ke pasar dan menawar sayur, ikan, daging, atau apa saja kepada penjual di pasar itu, kita akan menggunakan bahasa ragam santai, sesuai dengan bahasa yang biasa dipakai di daerah itu. Kalau pasar itu di Jogyakarta, tentulah bahasa yang digunakan bahasa Indonesia dialek Jawa Yogya.
Bahasa yang sesuai seperti yang dijelaskan di atas itulah yang disebut bahasa yang baik, baik karena cocok dengan situasinya. Kalau kita menggunakan ragam bahasa yang lain yang tidak sesuai dengan situasinya, maka bahasa yang kita gunakan itu dikatakan bahasa yang tidak baik.
Bahasa yang benar adalah bahasa yang sesuai dengan kaidahnya, bentuk dan strukturnya. Kalau berbahasa Indonesia baku harus seperti bahasa yang kaidahnya tertulis dalam buku-buku tata bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah. Sebaliknya, bila menggunakan salah satu dialek, dialek Jakarta misalnya, harus betul-betul bahasa Jakarta seperti yang digunakan oleh penduduk asli Jakarta. Itulah yang dimaksud dengan kata benar.
Jadi, kita dituntut untuk agar sepanjang hari dengan siapa saja berbahasa Indonesia ragam resmi. Di rumah, kita bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa seperti yang biasa kita gunakan dalam lingkungan keluarga kita. Biasanya bahasa di setiap keluarga tidak sama. Kita juga tidak dituntut berbahasa Indonesia yang baku dengan tukang becak. Kalau kita menggunakan bahasa baku dengna mereka, maka bahasa yang kita gunakan itu bukanlah bahasa yang baik walaupun benar.
Mudah-mudahan penjelasan ini memberikan pengertian yang lebih baik kepada Anda mengenai apa yang dimaksud dengan kata baiki dan benar itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar