Sertifikasi Guru “Obat Luka”
Oleh: Bambang Setiyawan, S.Pd
Belum lama ini di LPMP (Lembaga
Penjamin Mutu Pendidikan) Jambi diadakan
workshop KTSP Tingkat SMP se- Provinsi Jambi. Workshop KTSP Tingkat SMP
se-provinsi Jambi yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jambi
bekerjasama dengan LPMP ini menjadi catatan penting bagi seluruh guru yang
mengikuti worksop tersebut. Pada pelaksanaan ini beberapa guru yang diutus sekolah untuk
mengikuti worksop, diantaranya adalah guru bidang studi Bahasa Indonesia, IPS,
Bahasa Inggris dan Matematika dll.
Salah satu hal yang menarik diungkapkan adalah rasa gembira atau
perasaan senang bagi guru-guru tentang adanya ‘sertifikasi guru’ yang
kemungkinan akan dilaksanakan tahun 2007. Bila melihat judul di atas tampaknya
sertfikasi guru menjadi “obat luka” atau “pengentas” dari kondisi buruk yang
dialami oleh guru selama ini. Kalau melihat atau merenungi lirik lagu Iwan Fals
“Oemar Bakri” guru selalu diingatkan dengan perasaan sendu. Memang selama ini
guru di Indonesia umumnya dan khususnya di Jambi belum mendapatkan “obat luka”
atau “pengentas”. Maka tidak heran jika kedepan guru dituntut untuk mempunyai
profesionalisme dalam mengajar.
Ada pepatah dalam bahasa Jawa “Guru itu digugu lan ditiru”.
Artinya Guru adalah sebagai panutan yang dipercaya mampu men-sarikan ilmu
kepada anak didiknya. Kita semua perlu ajungkan ‘jempol’ kepada pemerintah yang
saat ini sudah tidak buta dan tuli terhadap pendidikan dan memperhatikan
kelayakan guru baik dari segi kuantitas, kualitas dan kesejahteraan. Dengan
diadakannya worksop di LMP Jambi bulan Okotober 2006 kemarin seyogyanya menjadi
acuan penting bagi guru untuk meningkatkan kompetensi dan profesional dalam
mengajar.
Tampaknya sertifikasi guru disambut dengan hangat oleh beberapa
kalangan, baik praktisi, akademi, dan kalangan pendidikan. Kalau dicermati
secara luas wacana ‘sertifikasi guru’ sebagai langkah mengentas dari kondisi
buruk sebelumnya menjadi kondisi yang lebih baik, atau sebagai kondisi untuk
menjadi lebih terhormat. Ada pandangan bahwa dengan diberlakukan ‘sertifikasi
guru’ mendatang salah satu diantaranya adalah berkaitan dengan penghasilan.
Tentu jika saja guru yang lulus seleksi atau lulus sertifikasi atau lulus ujian
sertifikasi, pendapatan yang akan diperoleh adalah satu kali gaji tunjangan
profesi, satu kali gaji tunjangan kompetensi, dan tunjangan kualifikasi.
Berdasarkan PP No 19 Tahun
2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 28, seorang guru harus memiliki empat jenis kompetensi
yaitu, kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial. Kompetensi yang pertama
adalah kepribadian. Yakni, dimana kompetensi kepribadian menuntut seorang
pendidik untuk dapat mencerminkan kepribadian yang mantap, bijaksana,
berwibawa, adil, dewasa, arif, mampu menjadi teladan, dan mempunyai atau
berakhlak mulia.
Selain kepribadian, ada kompetensi pendagogik. Sering kali
ditemukan wacana bahwa guru atau tenaga pengajar belum banyak yang memahami
benar tentang perancangan dan pelaksanaan pembelajaran. Maka sangat tepat jika
LPMP (yang dulunya BPG) mengadakan workshop sebagai langkah memajukan
kompetensi guru. Namun perlu diakui, bahwa kondisi guru daerah dengan kondisi
guru kota sangat berbeda, baik dari segi keterampilan ataupun penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pada kompetensi ini guru harus memiliki dasar yang
kuat seputar permasalahan didaktik dan metodik. Kenapa demikian? Kompetensi
pendagogik mengharuskan guru memahami benar perancangan dan pelaksanaan
pembelajaran, memahami tentang anak didik, mengetahui tentang perkembangan
peserta didik, serta dapat mengaktualisasikan berbagai bakat minat atau potensi
pada diri siswa.
Perlu diketahui bersama bahwa pada penilaian kompetensi pendagogik
dan profesional terdapat dua bentuk penilaian yaitu tes tertulis (objektif) dan
uraian, serta tes performance yang akan mencerminkan penguasaan kompetensi
pendagogik dan profesional guru. Tentu seorang guru harus dapat mengajar
minimal dengan dua model pembelajaran. Dengan melaksanakan hal ini sejati
seorang guru akan kelihatan yang sebenarnya atau aslinya. Selain itu ada
penilaian dari siswa dan dokumen yang dimiliki oleh seorang guru baik berupa
karya maupun tanda penghargaan, ataupun sejenis seminar atau pelatihan.
Kompetensi yang selanjutnya adalah profesional. Kompetensi ini
menyangkut penguasaan materi atau cakarawala pembelajaran secara luas dan
mendalam. Selain itu guru harus mampu menambah wawasan dari berbagai studi
ilmu. Tidak hanya satu studi ilmu saja. Guru hidup di lingkungan masyarakat.
Selain sebagai makhluk ciptaan Tuhan, atau makhluk pribadi, guru juga merupakan
makhluk sosial. Maka guru harus dapat berinteraksi dengan masyarakat sekitar.
Artinya guru harus mampu berkomunikasi dengan baik kepada siswa, orangtua
siswa, masyarakat dan dapat membawa
pesan dari sekolah untuk masyarakat.
Selama ini guru di Indonesia boleh dikatakan “ kehilangan
mutiara”. Mutiara
apa? Yaitu sejumlah nilai berharga penciri khas bahwa seseorang adalah guru.
Dengan demikian pamor seorang guru akan kelihatan. Maka untuk mencapai hal
tersebut dari sekarang guru harus mempersiapkan diri, dimana agar keempat
kompetensi tersebut dapat dicapai oleh seorang guru. Artinya guru akan kembali
kepada citra yang mulia, yaitu sebagai sosok yang pantas digugu lan ditiru.
Kalau semua guru dapat mencapai keempat kompetensi tersebut tentu akan menajdi
guru yang ‘hangabehi’ yang artinya semua bisa. Dengan demikian guru akan
mempunyai kedudukan yang strategis ditengah masyarakat. Maka tidak heran jika
seorang guru mengamban tugas yang banyak.
Seluruh guru yang ada dari Sabang sampai Merauke
harus memenuhi persyaratan guna mengikuti tes uji. Dengan demikian upaya
untuk mengentas dan mengembalikan pamor guru lewat sertfikasi terasa lebih
tandas dengan adanya berbagai penilaian dan tes. Setelah semua persyaratan
terpenuhi bagi guru yang memililiki ijizah S1/DIV, selanjutnya adalah menjalani
tes tertulis. Bila tes yang diikuti lulus, guru masih menghadapi penilaian self
appraisal yang akan menguji potensi sebenarnya yang dimiliki oleh seorang guru.
Dalam hal ini, akan dilihat sejauh mana kemampuan guru memahami kurikulum,
membuat perencanaan pembelajaran, persiapan (menyiapkan silabus), Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), daftar nilai, analisis hasil penilaian, program
perbaikan dan pengayaan.
Maka sudah menjadi kewajiban bagi LPMP untuk meningkatkan mutu dan
profesionalisme guru, guna meningkatkan sumber daya manusia yang handal dan
berkualitas. Seperti bunyi UU no 20 th. 2003 dimana guru harus profesional
dibidang pendidikan maupun UU no 14 Th. 2005 yang mana guru harus bisa mendidik,
mengajar, melatih, membimbing, dan menilai hasil-hasil belajar guna mencapai
suatu pendidikan yang bermutu. Melalui sertifikasi guru yang masih dalam
‘penggodokkan’ tentunya diharapkan dapat menjadi “obat luka” atau “pengentas”
mutiara yang hilang.
Tentu harapan bagi guru di Indonesia umumnya dan khususnya di
Jambi sertifikasi ini dapat dilakasanakan dengan baik, sehingga para guru dapat
memetik manfaat yang berlian diantaranya; melindungi profesi guru dari
praktik-praktik yang tidak kompeten dan merusak citra guru; melindungi
masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas; menjadi
wahana penjamin bagi LPTK agar kontrol mutu dan jumlah calon guru yang akan
diluluskan menjadi berkualitas.
Dengan demikian sertifikasi merupakan peluang yang penuh dengan
tantangan. Yaitu dimana guru harus menjadi sosok yang diteladani. Apabila hal
ini sudah dipenuhi maka layaklah seorang guru disebut dengan guru yang
profesional. Paling tidak harkat dan martabatnya akan terhormat. Bila guru
gagal sertifikasi sekali pun diberi peluang yang sangat baik, yaitu mengikuti
serangkaian tes dimana guru akan dibina dalam waktu tertentu oleh Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP).
Penulis adalah
Peserta Workshop KTSP Tingkat SMP di LPMP Jambi, dan Staf Pengajar di SMP/SMA
Pelita Raya Jambi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar