KEBEBASAN BERPIKIR
DAN BEREKSPRESI
Oleh: Bambang Setiawan, S.Pd
Bagi banyak orang, kebebasan
berekspresi dan berpikir belum dipahami secara mendalam. Namun berbeda dengan
sang penyair, sastrawan, cerpenis, novelis, atau sang penulis naskah yang
selalu menggunakan kebebasan berpikir dan berekspresi. Bisa dibayangkan jika
kebebasan berpikir dan berekspresi itu dikekang. Sakit rasanya, sedih. Lumpuh
kehidupan ini. Ciri seseorang untuk maju atau berkembang dalam hidupnya adalah
dapat berpikir secara jernih dan terbuka. Kebebasan berpikir dan berekspresi
tentunya harus dilandasi dengan etika. Sehingga perbuatan yang dilakukanpun
mempunyai nilai etis.
Berbicara keterbukaan telah
didengungkan sejak reformasi. Tapi apakah keterbukaan dan kebebasan selama ini
berada pada koridor yang etis? Salah satu tolok ukur penting untuk menilai etis
tidaknya perbuatan seseorang adalah keterbukaan. Perbuatan yang etis boleh
dilihat oleh semua. Tidak ada yang disembunyikan. Tidak ada yang perlu ditutupi.
Semua orang tentunya mempunyai
kebebasan. Baik berpendapat, berpikir, berekspresi. Tulisan ini dimaksudkan
untuk memberikan sekelumit atau sedikit gambaran tentang kebebasan. Dalam sebuah buku yang
berjudul Etika Sosial (2008:189)
disebutkan bahwa “hak-hak kodrati adalah hak-hak yang dimiliki manusia sebagai
bagian eksistensinya. Termasuk disini hal intelektual, atau hak-hak akal budi,
dan semua hak untuk betindak sebagai individu untuk kebahagiaan dan menghibur
dirinya, sejauh tidak merugikan hak-hak kodrati yang lainnya”.
Minggu-minggu ini berbagai media, baik
cetak maupun eletronik menyoroti adanya kasus tentang surat elektronik yang
disebarkan melalui ‘email’ di internet. Pasalnya surat elektronik tersebut
dianggap mencemarkan nama baik ‘sebuah
instansi’. Saya kira penulis dalam menuangkan ‘uneg-unegnya’ mempunyai alasan. Dan tentunya menulis merupakan
sebuah kebebasan yang dihasilkan dari cara
berpikir atau berekspresi. Seorang penyair menuliskan kebebasannya dalam
bentuk puisi, kemudian kumpulan puisinya diantologikan, tentunya sang penyair
tersebut akan bangga. Begitu juga halnya dengan orang-orang yang menuliskan
‘kebebasannya’ dalam bentuk apapun kita harus menghargai. Lain dengan masa
sebelum reformasi, mengungkapkan kebebasan dalam bentuk novel saja ‘maaf’
diboikot. Tapi serakang kita harus berani menghargai kebebasan orang lain dalam
berpikir dan berekspresi.
Mungkin alasan utama mengapa kebebasan
berpikir dan mengungkapkan diri dihargai? Dan ini memang harus kita hargai,
karena hal ini menjawab keutuhan manusia. Ketidakmampuan menyatakan pendapat
(apa pun alasannya) merupakan pengurangan atau pemotongan kemampuan manusia dan
kebutuhan manusia untuk berpikir. Jikalau kemampuan ini dikuasai oleh kekuatan
‘politik’, manusia dibawa kepada suatu tingkat lebih rendah daripada
kemungkinan mereka yang paling baik-yakni kepada tingkat konformitas tanpa
pikiran.
Seorang penyair Milton dan filsuf J.S.
Mill menyatakan bahwa kebebasan berpikir perlu dihargai karena kebebasan
berpikir dan mengungkapkan diri dapat mengembangkan pengetahuan menuju
kebenaran. Lebih lanjut Milton mendefinisikan bahwa kebebasan harus dilandasi
nilai relegius. Kebebasan relegius merupakan kondisi untuk pengetahuan relegius
dan kebebasan ungkapan merupakan kondisi pengetahuan pada umumnya (Jenny
Teicham, 1998:155).
Pada umumnya negara yang berdemokrasi
menuntut agar rakyat mempunyai hak untuk berbicara dan menulis dengan bebas
mengenai apapun. Kadang-kadang tuntutan yang demikian diingkari oleh hukum.
Mengapa kebebasan berpikir dan mengungkapkan pendapat dianggap bernilai dan
layak dilindungi? Seorang penyair dalam suratnya menulis bahwa kebenaran dan
pengetahuan sangat dihargai. Berikut kutipan tulisan seorang penyair John
Milton, “Di mana hasrat untuk belajar begitu besar, di sana pasti terjadi
banyak perdebatan, tulis-menulis, lontaran pendapat, karena pendapat dalam diri
orang-orang baik tak lain adalah pengetahuan yang sedang berproses”.
Masyarakat Indonesia tentunya masih
ingat dengan agenda reformasi yang diusung oleh mahasiswa saat itu. Ketika
tahun 1998 seruan akan reformasi menjadi semakin lantang, terdengar juga
tuntutan agar pemerintah demokratis akan dijalankan dengan lebih terbuka.
Keterbukaan atau transparansi menjadi slogan yang didengungkan di mana-mana.
Tuntutan itu sampai berkumandang dalam sidang Istimewa MPR 1998. dalam Tap
No.XI/MPR/1998 sebagai berikut, “(1) Penyelenggaraaan negara pada
lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus melaksanakan fungsi
dan tugasnya dengan baik dan bertanggungjawab kepada masyarakat, bangsa dan
negara, (2) Untuk menjalankan fungsi dan tugas tersebut, penyelenggara negara
harus jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari
praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar