Cafebahasa hadir sebagai sarana edukasi, pembelajaran, komunikasi serta sebagai media informasi bahasa, sastra, seni, opini-artikel, dan hasil mahakarya (proses kreatif). Kirimkan partisipasi Anda melalui email bbg_cla@yahoo.com

Senin, 28 November 2011

Makalah Larlen, M.Pd

BUDAYA MELAYU  JAMBI DAN TANTANGANNYA DI ERA GLOBALISASI
Oleh: Larlen, M.Pd

A.     Pengantar
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" d Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina. Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Menurut  Djojodigoena dalam bukunya Asas-asas Sosiologi (1985) mengatakan bahwa budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa.[1] Cipta adalah kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada dalam pengalaman lahir dan batin. Hasil cipta berupa berbagai ilmu pengetahuan bersumber pada kenyataan yang ada. Karsa adalah kerinduan manusia untuk menginsyafi sangkan paran, yakni dari mana manusia sebelum lahir (sangkan), dan kemana manusia sesudah mati (paran). Lalu muncullah berbagai sistem kepercayaan dan agama. Rasa adalah kerinduan manusia akan keindahan, sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati keindahan. Manusia merindukan keindahan dan menolak sesuatu yang buruk. Buah perkembangan rasa terjelma dalam berbagai bentuk norma keindahan yang kemudian menghasilkan berbagai macam kesenian.

B.     Kebudayaan Identitas Bangsa
Kebudayaan dapat dibagi menjadi 3 macam dilihat dari keadaan jenis-jenisnya, yaitu: 1) hidup-kebatinan manusia, yaitu yang menimbulkan tertib damainya hidup masyarakat dengan adat-istiadatnya yang halus dan indah; tertib damainya pemerintahan negeri; tertib damainya agama atau ilmu kebatinan dan kesusilaan; 2) angan-angan manusia, yaitu yang dapat menimbulkan keluhuran bahasa, kesusasteraan dan kesusilaan; 3) kepandaian manusia, yaitu yang menimbulkan macam-macam kepandaian tentang perusahaan tanah, perniagaan, kerajinan, pelayaran, hubungan lalu-lintas, kesenian yang berjenis-jenis; semuanya bersifat indah.[2]
Sementara itu, sebagai suatu istilah, “identitas nasional” dibentuk oleh dua kata, yaitu “identitas” dan “nasional”. Identitas dapat diartikan sebagai ciri, tanda atau jatidiri,  sedangkan “nasional” dalam konteks ini berarti kebangsaan. Dengan demikian, identitas nasional dapat diartikan sebagai jatidiri nasional atau kepribadian nasional. Jatidiri nasional suatu bangsa tentu berbeda dengan jatidiri bangsa lain. Ini disebabkan oleh perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan, maupun geografi. Jatidiri nasional bangsa Indonesia terbentuk karena rakyat Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang sama. Pengalaman sejarah yang sama itu dapat menumbuhkan kesadaran kebangsaan yang  kemudian pada ujungnya melahirkan identitas nasional.[3]
Lahirnya identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari dukungan faktor objektif, yaitu faktor-faktor yang berkaitan dengan geografis-ekologis dan demografis; dan faktor subjektif, yaitu faktor-faktor historis, politik, sosial dan kebudayaan yang dimiliki bangsa itu.[4] Robert de Ventos, sebagaimana dikutip Manuel Castells mengemukaan teori tentang munculnya identitas nasional sebagai hasil interaksi historis antara empat faktor penting, yaitu faktor primer, faktor pendorong, faktor penarik dan faktor reaktif.
Faktor pertama mencakup etnisitas, teritorial, bahasa, agama dan yang sejenisnya. Faktor kedua meliputi pembangunan komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan sentraliasi monarkis. Faktor ketiga mencakup kodifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional. Faktor keempat meliputi penindasan, dominasi, dan pencarian identitas alternatif melalui memori kolektif rakyat. Keempat faktor tersebut pada dasarnya tercakup dalam proses pembentukan identitas nasional bangsa Indoensia, yang telah berkembang dari masa sebelum Indonesia mencapai kemerdekaan.[5] Munculnya Sumpah Pemuda Oktober 1928, setidaknya sangat mendukung upaya pencarian nasionalisme Indonesia sekaligus penemuan identitas nasional bangsa Indonesia.[6]
Gagasan kebudayaan nasional sebagai identitas nasional sudah dicetuskan sejak Sumpah Pemuda tahun 1928. Gagasan itu kemudian diikuti oleh seluruh pemuda berbagai daerah di Indonesia yang membulatkan tekad untuk menyatukan Indonesia dengan menyamakan pola pikir bahwa Indonesia memang berbeda budaya tiap daerahnya tetapi tetap dalam satu kesatuan Indonesia Raya dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Kebudayaan sebagai identitas nasinal menunjukkan betapa kebudayaan adalah aspek yang sangat penting bagi suatu bangsa karena jelaslah bahwa kebudayaan juga merupakan jati diri dari bangsa itu sendiri.
Kebudayaan nasional bersumber pada puncak-puncak kebudayaan lokal atau kebudayaan daerah di seluruh Indonesia yang selaras dengan norma-norma berbangsa dan bernegara. Kebudayaan nasional adalah gabungan dari kebudayaan daerah yang ada di negara tersebut. Kebudayaan daerah adalah kebudayaan dalam wilayah atau daerah tertentu yang diwariskan secara turun temurun oleh generasi terdahulu pada generasi berikutnya pada ruang lingkup daerah tersebut. Budaya daerah ini muncul saat penduduk suatu daerah telah memiliki pola pikir dan kehidupan sosial yang sama sehingga itu menjadi suatu kebiasaan yang membedakan mereka dengan penduduk-penduduk yang lain. Budaya daerah mulai terlihat berkembang di Indonesia pada zaman kerajaan-kerajaan terdahulu. Hal itu dapat dilihat dari cara hidup dan interaksi sosial yang dilakukan masing-masing masyarakat kerajaan di Indonesia yang berbeda satu sama lain.[7]
Kebudayaan nasional Indonesia secara hakiki terdiri dari semua budaya yang terdapat dalam wilayah Republik Indonesia. Tanpa budaya-budaya itu tak ada kebudayaan nasional. Itu tidak berarti kebudayaan nasional sekadar penjumlahan semua budaya lokal di seantero Nusantara. Kebudayan nasional merupakan realitas, karena kesatuan nasional merupakan realitas. Kebudayaan nasional akan mantap apabila di satu pihak budaya-budaya Nusantara asli tetap mantap, dan di lain pihak kehidupan nasional dapat dihayati sebagai bermakna oleh seluruh warga masyarakat Indonesia.[8]
Menyikapi perkembangan zaman, selanjutnya, kebudayaan nasional Indonesia perlu diisi oleh nilai-nilai dan norma-norma nasional sebagai  pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di antara seluruh rakyat Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai yang menjaga kedaulatan negara dan integritas teritorial yang menyiratkan kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air, serta kelestariannya, nilai-nilai tentang kebersamaan, saling menghormati, saling mencintai dan saling menolong antar sesama warganegara, untuk bersama-sama menjaga kedaulatan dan martabat bangsa.  Pembentukan identitas dan karakter bangsa sebagai sarana  bagi pembentukan pola pikir (mindset) dan  sikap mental, memajukan adab dan kemampuan bangsa, merupakan tugas utama dari pembangunan kebudayaan nasional. Singkatnya, kebudayaan nasional adalah sarana bagi kita untuk memberikan jawaban atas pertanyaan,  “Siapa kita (apa identitas kita)? Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita? Watak bangsa semacam apa yang kita inginkan? Bagaimana kita harus mengukir wujud masa depan bangsa dan tanah air kita?” [9]




C.     Ancaman Terhadap Kekayaan Budaya Jambi

Jambi memiliki potensi pariwisata cukup beragam, seperti wisata alam, budaya, dan sejarah. Wisata alam meliputi danau Kerinci, Taman Nasional Kerinci Seblat, Cagar Biosfir Bukit Dua Belas, taman nasional Berbak, air terjun Telun Berasap, Segirincing, dan Gua Tiangko. Untuk wisata budaya, Jambi memiliki tradisi dan seni budaya yang unik dan menarik. Sedangkan wisata sejarah antara lain berupa Candi Muara Jambi, Makam Orang Kayo Hitam, dan Museum Jambi. Semuanya itu hingga sekarang belum berkembang seperti diharapkan oleh banyak orang.
Posisi daerah Jambi sebenarnya strategis karena berdekatan dengan Riau, yang juga berarti dekat dengan pengembangan regional segitiga pertumbuhan Singapura-Johor-Riau (Sijori). Kerjasama regional ini masih dimungkinan bagi Jambi. Kerjasama ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan potensi pertanian, kehutanan, pertambangan, industri, pariwisata, perikanan, peternakan dan perdagangan internasional. Berdasarkan cerita rakyat setempat, nama Jambi berasal dari perkataan “jambe” yang berarti “pinang”. Nama ini ada hubungannya dengan sebuah legenda yang hidup dalam masyarakat, yaitu legenda mengenai Raja Putri Selaras Pinang Masak, yang ada kaitannya dengan asal-usul provinsi Jambi.
Penduduk asli Provinsi Jambi terdiri dari beberapa suku bangsa, antara lain Melayu Jambi, Batin, Kerin­ci, Penghulu, Pindah, Anak Dalam (Kubu), dan Bajau. Suku bangsa yang disebutkan pertama merupakan pen­duduk mayoritas dari keseluruhan penduduk Jambi, yang bermukim di sepanjang dan sekitar pinggiran sungai Batanghari.
Suku Kubu atau Anak Dalam dianggap sebagai suku tertua di Jambi, karena telah menetap terlebih dahulu sebelum kedatangan suku-suku yang lain. Mereka diperkirakan meru­pakan keturunan prajurit-prajurit Minangkabau yang bermaksud mem­perluas daerah ke Jambi. Ada sementara informasi yang menyatakan bahwa su­ku ini merupakan keturunan dari per­campuran suku Wedda dengan suku Negrito, yang kemudian disebut seba­gai suku Weddoid.
Orang Anak Dalam dibedakan atas suku yang jinak dan liar. Sebutan “ji­nak” diberikan kepada golongan yang telah dimasyarakatkan, memiliki tem­pat tinggal yang tetap, dan telah mengenal tata cara pertanian. Se­dangkan yang disebut “liar” adalah mereka yang masih berkeliaran di hutan-hutan dan tidak memiliki tempat tinggal tetap, belum mengenal sistem bercocok tanam, serta komunikasi dengan dunia luar sama sekali masih tertutup.
Suku-suku bangsa di Jambi pada umumnya bermukim di daerah pede­saan dengan pola yang mengelompok. Mereka yang hidup menetap tergabung dalam beberapa larik (kumpulan rumah panjang beserta pekarang­annya). Setiap desa dipimpin oleh seorang kepala desa (Rio), dibantu oleh mangku, canang, dan tua-tua tengganai (dewan desa). Mereka inilah yang bertugas mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan hidup ma­syarakat desa.
Strata Sosial masyarakat di Jambi tidak mempunyai suatu konsepsi yang jelas tentang sistem pelapisan sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu jarang bahkan tidak pernah terdengar istilah-­istilah atau gelar-gelar tertentu untuk menyebut lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Mereka hanya mengenal sebutan-sebutan yang “kabur” untuk menunjukkan status seseorang, seperti orang pintar, orang kaya, orang kam­pung dsb.
Pakaian Pada awalnya masyarakat pede­saan mengenal pakaian sehari-hari berupa kain dan baju tanpa lengan. Akan tetapi setelah mengalami proses akulturasi dengan berbagai kebu­dayaan, pakaian sehari-hari yang dikenakan kaum wanita berupa baju kurung dan selendang yang dililitkan di kepala sebagai penutup kepala. Sedangkan kaum pria mengenakan celana setengah ruas yang mengge­lembung pada bagian betisnya dan umumnya berwarna hitam, sehingga dapat leluasa bergerak dalam mela­kukan pekerjaan sehari-hari. Pakaian untuk kaum pria ini dilengkapi deng­an kopiah.
Kesenian di Provinsi Jambi yang terkenal antara lain Batanghari, Kipas perentak, Rangguk, Sekapur sirih, Selampit delapan, Serentak Satang. Upacara adat yang masih dilestarikan antara lain Upacara Lingkaran Hidup Manusia, Kelahiran, Masa Dewasa, Perkawinan, Berusik sirih bergurau pinang, Duduk bertuik, tegak betanyo, ikat buatan janji semayo, Ulur antar serah terimo pusako dan Kematian





D.    Candi Muaro Jambi

Komplek Candi Muaro Jambi terlupakan selama bertahun-tahun. Baru pada abad XIX pusat peribadatan umat Budha itu mendapat perhatian dan sekarang menjadi salah satu obyek wisata Jambi di kancah kepariwisataan dunia maupun nasional tidak sepopuler Bali ataupun tempat-tempat wisata di Jawa. Ia juga kalah bersaing dengan provinsi tetangganya, Sumatera Selatan, dalam hal jumlah wisatawan. Padahal, provinsi ini menyimpan potensi pariwisata yang tidak kalah unik dan menarik. Ia memiliki komplek candi yang diperkirakan menjadi tempat I-Tsing, rahib asal Tiongkok, memperdalam agama Budha pada abad VII. Komplek candi itu dinamakan Candi Muaro Jambi karena terletak di Kabupaten Muaro Jambi, tepatnya di desa Muaro Jambi. Disebut komplek karena lokasi itu tidak hanya menyimpan satu candi melainkan puluhan candi. Namun, dari puluhan candi itu hanya beberapa yang selesai dipugar, sisanya masih berupa reruntuhan. Adapula gundukan-gundukan tanah bekas reruntuhan (menapo). Candi-candi yang bisa diamati yakni Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Tinggi I, Candi Kembarbatu, Candi Kedaton, Candi Astano, Candi Gedong I, Candi Gedong II dan Candi Kotomahligai.
Cagar budaya ini bisa ditempuh dengan dua cara, jalan darat atau jalur sungai. Bila memilih jalan darat maka harus menyeberangi Jembatan Aur Duri. Sedangkan bila memilih jalur sungai, wisatawan terlebih dahulu menuju Pelabuhan Talang Duku, lalu menyeberangi Sungai Batanghari ke desa Muaro Jambi. Memasuki areal komplek, wisatawan akan disambut Candi Gumpung yang berdiri kokoh. Candi yang dipugar tahun ini 1982-1988 ini dikelilingi pagar tembok sepanjang 150 x 155 m, dengan gapura utama berada di sisi timur. Ketika candi itu dipugar, ditemukan arca Prajnaparamita yang kemudian disimpan di Museum Situs yang terletak berhadapan dengan Candi Gumpung.
Di sebelah timur laut Candi Gumpung terlihat candi yang menjulang lebih tinggi. FM Schnitger dalam laporannya pada tahun 1937 menyebut candi setinggi 7,6 meter itu dengan sebutan Candi Tinggi. Pada candi induk terdapat tangga naik menuju kedua teras candi dengan tubuh bangunan makin mengecil pada puncaknya. Di seberangnya berdiri, Candi Tinggi I yang masih dikelilingi pagar kawat. Menurut Samiun, pemandu wisata, candi itu belum selesai dipugar.
Semakin masuk ke dalam, pengunjung akan menjumpai Candi Kembarbatu. Saat pemugaran ditemukan gong kuno dari perunggu bertuliskan huruf Cina yang kini menjadi koleksi Museum Negeri Jambi. Selain itu juga ditemukan pula lempengan-lempengan emas, batu akik bertuliskan huruf Jawa kuno dan keramik Cina sekitar abad 10-12. Candi lainnya yang tidak boleh dilewatkan yaitu Candi Kedaton Candi itu paling besar ukurannya dan masih dianggap angker oleh penduduk setempat.
Yang menarik dikaji dari candi-candi ini yakni ukuran dan bahan penyusunnya. Dibandingkan candi-candi di Jawa, ukuran candi di situs ini tergolong tidak terlalu besar. Mereka juga menggunakan batu bata dan kerikil untuk menyusun candi, berbeda dengan candi-candi di Jawa yang menggunakan batu-batu berukuran besar.
Keberadaan komplek candi ini belakangan silam mulai populer. Ia menjadi pusat perayaan Waisak selain Candi Borobudur. Setiap tahunnya juga diadakan festival candi yang menarik banyak wisatawan. Selain wisatawan domestik banyak pula penganut agama Budha dari mancanegara yang berkunjung ke komplek candi ini. Ini tidak mengherankan. Pasalnya, ratusan tahun silam situs ini pernah menjadi pusat peribadatan agama Budha Tantrayana. Bukti ini terlihat dari candi dan sarana ritual seperti arca Prajnaparamita, tulisan mantra yang dipahatkan pada lempengan emas atau digoreskan pada bata dan arca gajah singha.

E.     Budaya Jambi Identik dengan Budaya Melayu

Budaya Melayu sebagai salah satu kebudayaan di Indonesia telah memberi sumbangan yang sangat luas bagi pembentukan karakter dan budaya masyarakat Indonesia secara umum. Meskipun demikian, dalam perjalanan sejarah panjang Indonesia, sumbangan budaya Melayu terasa dilupakan di tengah-tengah arus pembangunan yang dikembangkan oleh pemerintah Orde Baru. Pada masa itu Budaya Melayu mengalami peminggiran dan orang lebih terpesona pada budaya global yang kosmopolitan. Pada tahun 1998, Indonesia mengalami reformasi sistem pemerintahan, yaitu dari sistem pemerintahan sentralistik menjadi sistem pemerintahan desentralistik. Di era ini otonomi daerah merupakan solusi untuk menyelesaikan ketegangan antara pusat dan daerah pada masa pemerintahan Orde Baru. Reformasi politik ini juga memberikan peluang yang sangat luas kepada Melayu untuk berkembang dan menemukan ruang untuk merajut kembali berbagai budaya Melayu yang terserak di seluruh kepulauan di Indonesia.
Merajut kembali budaya Melayu yang terserak bukanlah hal yang mudah, hal ini disebabkan oleh posisi budaya Melayu yang terpinggirkan dalam perjalanan sejarah Indonesia, sehingga sumber daya Melayu menjadi relatif rendah dalam dunia global. Orang-orang Melayu kurang mempunyai kemampuan untuk bersaing dalam memanfaatkan peluang-peluang yang disediakan oleh reformasi. Terbukanya peluang untuk mengatur hidupnya sendiri tidak diimbangi oleh kemampuan untuk memanfatkan peluang tersebut, namun justru menjadikan masyarakat Melayu cenderung bersikap primordial (kedaerahan). Primordialisme ini sesungguhnya merupakan respon negatif terhadap kosmopolitanisme karena tidak adanya kemampuan orang Melayu untuk meletakkan dirinya dalam kancah global. Dalam konteks Indonesia, hal ini tampak dari penggunaan isu putra daerah dalam setiap suksesi kepemimpinan daerah. Berkembangnya sikap seperti ini, pada satu sisi dapat dilihat sebagai munculnya kesadaran orang Melayu untuk mengurus dirinya sendiri, tetapi pada sisi yang lain merupakan sikap yang bertentangan dengan karakter orang-orang Melayu yang inklusif. Masyarakat Melayu, dengan primordialismenya, tampak ragu untuk berhadapan dengan dunia global. Tentu saja jika hal ini berlarut-larut, maka berat sekali jika harus merajut kemelayuan nusantara.
Meningkatnya sikap primordial di kalangan masyarakat Melayu pasca-reformasi 1998, merupakan fenomena yang harus disikapi secara cerdas dan arif. Sikap primordial merupakan penghalang orang-orang Melayu untuk berhubungan dengan pihak-pihak lain. Padahal dalam era globalisasi seperti ini, tindakan mengisolasi diri (eksklusif) merupakan sikap- yang justru-merugikan budaya Melayu itu sendiri. Bukankah kejayaan budaya Melayu masa lalu tercapai oleh masyarakat Melayu yang senantiasa terbuka terhadap kebudayaan-kebudayaan lain di dunia? Di jaman dahulu, masyarakat dan budaya Melayu mampu bernegosiasi dan bersinergi dengan budaya Hindu Budha dari India, Budaya Cina, dan kemudian Budaya Timur Tengah yang membawa ajaran Islam yang diterima secara luas di kalangan melayu karena sesuai dengan karakter inklusif masyarakat Melayu.
F.      Tantangan Budaya Melayu Jambi

Zaman senantiasa mengalami perubahan Begitulah Sunatullah. Yang Kekal hanyalah Sunnatullah, aturan yang telah ditetapkan oleh Allah, Maha pencipta. Memasuki alaf ketiga atau abad dua puluh satu, ditemui suatu kenya­taan, terjadinya lonjakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pesat. Ditandai dengan lajunya teknologi komuni­kasi dan informasi (information techonology). Suatu gejala yang disebut‑sebut sebagai arus globalisasi, “perdagangan bebas, per­saingan yang tinggi dan tajam. Era globalisasi akan terjadi perubahan‑perubahan cepat. Dunia akan transparan, terasa sempit, dan seakan tanpa batas. Hubungan komunikasi, informasi, transportasi menjadikan satu sama lain menjadi dekat, sebagai akibat dari revolusi industri, hasil dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Setelah diamandemen, pasal 32 berubah menjadi 2 ayat. Ayat (1) berbunyi: "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kekebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya." 
Jika ayat (1) ini dirinci, ada 3 potongan makna yang terkandung di dalamnya. Pertama, "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia….". Potongan kalimat kedua berbunyi,"…di tengah peradaban dunia…", penegasan bahwa kebudayaan Indonesia adalah bagian dari kebudayaan dan perdaban dunia. Potongan kalimat ketiga, "….dengan menjamin kebebasan masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya"  merupakan cerminan pemenuhan kehendak tentang perlunya kebebasan dalam mengembangkan nilai budaya masing-masing suku bangsa. Ayat (2) berbunyi, "Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai  kekayaan budaya nasional", ini berarti bahwa masalah bahasa (daerah) sudah dengan sendirinya merupakan salah satu kekayaan (bagian) dari kebudayaan bangsa.[10] 
Jaminan seperti yang tertuang dalam kedua ayat tersebut sudah semestinya menjadi kekuatan dan semangat bagi anak bangsa, khususnya pemerintah secara institusional selaku pengambil kebijakan. Namun demikian, untuk menyelamatkan identitas budaya bangsaa kita memerlukan lebih dari sekadar pernyataan semata. Bangsa ini memerlukan suatu grand strategy, strategi besar berdimensi luas dan bervisi jauh ke depan, atas seluruh hajat hidup dan sumberdaya, termasuk manusia, budaya, bahasa dan sejarahnya.
Pemerintah semestinya melakukan inventarisasi, kodifikasi dan selanjutnya publikasi identitas kebudayaan secara serentak, terorganisir dan menyeluruh. Faktanya, Indonesia hingga saat ini tidak memiliki data lengkap mengenai identitas budaya yang tersebar di setiap daerah. Perlindungan hak cipta terhadap seni budaya juga sangat lemah, sedangkan publikasi multimedia secara internasional mengenai produk seni budaya masih sangat minim. Dan yang paling parah Indonesia juga menghadapi persoalan buruknya birokrasi pendataan hak cipta. Meskipun permohonan pendaftaran hak cipta mengenai seni budaya sudah disampaikan, misalnya, belum tentu permohonan tersebut segera diproses dan dipublikasikan. Sejak 2002 sampai Juni 2009,[11] misalnya, sudah ada 24.603 permohonan pendaftaran hak cipta bidang seni yang disampaikan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkum dan HAM). Namun, hingga saat ini, permohonan yang disetujui belum dipublikasikan. Hal ini juga terkait dengan belum adanya dasar hukum formal.
Strategi tersebut di atas dapat pula dijabarkan dan dilengkapi dalam bentuk langkah khusus-konkrit. Strategi yang dimaksud misalnya mendorong pemanfaatan teknologi informasi dan perangkat-perangkatnya untuk melakukan pendaftaran dan basis data bersama seluruh khazanah kebudayaan nasional. Itu dengan melibatkan  semua pihak se-nusantara, serta membiasakan generasi muda menggunakan berbagai fasilitas teknologi informasi untuk keperluan yang terkait dengan pelestarian dan apresiasi kebudayaan nasional Indonesia. Strategi lainnya dapat berupa mendorong daya kreasi pengembangan sains dan teknologi yang ber-inspirasi dari kekayaan yang bersumber pada berbagai aspek kebudayaan tradisional Indonesia atau warisan budaya bangsa (national heritage) yang sangat bhinneka bagi kemajuan peradaban dunia, menanamkan nilai-nilai budaya lokal/nasional yang positif dan konstruktif. Mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang terbuka maka strategi tersebut perlu dilengkapi dengan upaya menyaring budaya asing yang masuk melalui aktualisasi budaya.

Daftar Pustaka
Anonim. “Mungkinkah Pariwisata Budaya Indonesia Maju?”.  Sinar Harapan.  27 Mei 2004.

Chamim, A., Cipto, B., Nashir, H., Istianah, ZA., Bashori, K., Setiartiti, L., Azhar, M., Tuhuleley, S.  Civic Hukum: Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Diktilitbang PP Muhammadiyah dan LP3 UMY. 2003.

Dewantara, K.H.   Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. 1994.

Husamah. “Mengusung Multikulturalisme. Media Indonesia, 12 Juli 2008.

Joesoef, D. Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran” Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi. Jakarta: Penerbit Kompas. 2001.

Karim,M.R. “Arti Keberadaan Nasionalisme”. Analsis CSIS XXV (2). 1996.

Koentjaraningrat (ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.  2002.

Kompas,  31 Agustus 2009.

Mahayana, MS. Akar Melayu: Sistem Sastra dan Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia. Magelang: Indonesiatera. 2001.

Rahayu, A. Pariwisata: Konseptualisasi Kebudayaan. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2006.

Situmorang, S.  “Pentingnya Dokumentasi Toponimi untuk Mendukung Tata Pemerintahan yang Baik”. Makalah dalam The 13th Asia South East & Pacific South West Divisional Meeting.  2006.

Sugiarti, dan Trisakti Handayani.  Kajian Kontemporer Ilmu Budaya Dasar. Malang: UMM Press. 1999.

Supardi, N. Dalam Memajukan Kebudayaan Bangsa Kita Kehilangan Haluan. Jakarta: Depbudpar Suparlan,  Parsudi. 2005.  Suku bangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. 2006.

Suryo, J. 2002. Pembentukan Identitas Nasional, Makalah pada Seminar Terbatas Pengembangan Wawasan tentang Civic Education. Yogyakarta: LP3 UMY.

Suseno, FM.  Filsafat Kebudayaan Politik. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. 1992.

Swasono, MFH.  Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir. Bukittinggi: makalah Kongres Kebudayaan V, Bukittinggi, 20– 22 Oktober 2003.

Rochaeti, E. Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2006.

Ruskhan, AG.   “Pemanfaatan Keberagaman Budaya Indonesia Dalam Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (BIPA)”. Makalah yang disajikan dalam Seminar Pengajaran Bahasa Indonesia Pertemuan Asosiasi Jepang-Indonesia di Nanzan Gakuen Training Center, Nagoya, Jepang, 10-11 November 2007.

www.jambiindependent.co.id


[1] Sugiarti dan Trisakti Handayani Ibid. hal. 8.
[2] Ki Hajar Dewantara, Kebudayaan ,  Penerbit Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Yogyakarta, 1994.
[3] Asykuri Ibn Chamim et al., Civic Hukum: Pendidikan Kewarganegaraan, Diktilitbang PP Muhammadiyah dan LP3 UMY, Yogyakarta, 2003, hal. 209.
[4] Joko Suryo, Pembentukan Identitas Nasional, Makalah pada Seminar Terbatas Pengembangan Wawasan tentang Civic Education, LP3 UMY, Yogyakarta, 2002.
[5] Ibid.
[6] M.R. Karim. ”Arti Keberadaan Nasionalisme”, Analisis CSIS XXV/2/1996, hal. 103.
[7] Dari pola kegiatan ekonomi misalnya, kebudayaan daerah dikelompokan beberapa macam yaitu: ) kebudayaan pemburu dan peramu; 2) kebudayaan peternak; 3) kebudayaan peladang,; 4) kebudayaan nelayan.
[8] Franz Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,  1992.
[9] Meutia Farida Hatta Swasono, ”Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir”, diajukan pada Kongres Kebudayaan V di Bukittinggi, 20– 22 Oktober 2003.
[10] Nunus Supardi, Dalam Memajukan Kebudayaan Bangsa Kita Kehilangan Haluan,  Depbudpar, Jakarta, 2006.
[11]  Kompas,  31 Agustus 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar