BUDAYA MELAYU JAMBI DAN TANTANGANNYA DI ERA GLOBALISASI
Oleh: Larlen, M.Pd
A.
Pengantar
Budaya atau kebudayaan
berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa
Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin
Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai
mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan
sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Budaya adalah suatu
cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan
diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari
banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian,
bangunan,
dan karya seni.
Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari
diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara
genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi
dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya,
membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat
kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku
komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan
sosial manusia.Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika
berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya
adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra
yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang
memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti
"individualisme kasar" di Amerika,
"keselarasan individu dengan alam" d Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina. Citra budaya yang
bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai
perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling
bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.
Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala
sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki
oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu
generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan
pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala
pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks,
yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai
anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan
adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Menurut Djojodigoena dalam
bukunya Asas-asas Sosiologi (1985)
mengatakan bahwa budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan
rasa.[1]
Cipta adalah kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada
dalam pengalaman lahir dan batin. Hasil cipta berupa berbagai ilmu pengetahuan
bersumber pada kenyataan yang ada. Karsa adalah kerinduan manusia untuk
menginsyafi sangkan paran, yakni dari
mana manusia sebelum lahir (sangkan),
dan kemana manusia sesudah mati (paran).
Lalu muncullah berbagai sistem kepercayaan dan agama. Rasa adalah kerinduan
manusia akan keindahan, sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati
keindahan. Manusia merindukan keindahan dan menolak sesuatu yang buruk. Buah
perkembangan rasa terjelma dalam berbagai bentuk norma keindahan yang kemudian
menghasilkan berbagai macam kesenian.
B.
Kebudayaan Identitas Bangsa
Kebudayaan dapat dibagi menjadi 3 macam dilihat dari keadaan
jenis-jenisnya, yaitu: 1) hidup-kebatinan manusia, yaitu yang menimbulkan
tertib damainya hidup masyarakat dengan adat-istiadatnya yang halus dan indah;
tertib damainya pemerintahan negeri; tertib damainya agama atau ilmu kebatinan
dan kesusilaan; 2) angan-angan manusia, yaitu yang dapat menimbulkan keluhuran
bahasa, kesusasteraan dan kesusilaan; 3) kepandaian manusia, yaitu yang
menimbulkan macam-macam kepandaian tentang perusahaan tanah, perniagaan, kerajinan,
pelayaran, hubungan lalu-lintas, kesenian yang berjenis-jenis; semuanya
bersifat indah.[2]
Sementara itu, sebagai suatu istilah, “identitas nasional” dibentuk
oleh dua kata, yaitu “identitas” dan “nasional”. Identitas dapat diartikan
sebagai ciri, tanda atau jatidiri,
sedangkan “nasional” dalam konteks ini berarti kebangsaan. Dengan
demikian, identitas nasional dapat diartikan sebagai jatidiri nasional atau
kepribadian nasional. Jatidiri nasional suatu bangsa tentu berbeda dengan
jatidiri bangsa lain. Ini disebabkan oleh perbedaan latar belakang sejarah,
kebudayaan, maupun geografi. Jatidiri nasional bangsa Indonesia terbentuk
karena rakyat Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang sama. Pengalaman
sejarah yang sama itu dapat menumbuhkan kesadaran kebangsaan yang kemudian pada ujungnya melahirkan identitas
nasional.[3]
Lahirnya identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari
dukungan faktor objektif, yaitu faktor-faktor yang berkaitan dengan
geografis-ekologis dan demografis; dan faktor subjektif, yaitu faktor-faktor
historis, politik, sosial dan kebudayaan yang dimiliki bangsa itu.[4]
Robert de Ventos, sebagaimana dikutip Manuel Castells mengemukaan teori tentang
munculnya identitas nasional sebagai hasil interaksi historis antara empat
faktor penting, yaitu faktor primer, faktor pendorong, faktor penarik dan
faktor reaktif.
Faktor pertama mencakup etnisitas, teritorial, bahasa, agama dan yang
sejenisnya. Faktor kedua meliputi pembangunan komunikasi dan teknologi,
lahirnya angkatan bersenjata modern dan sentraliasi monarkis. Faktor ketiga
mencakup kodifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi, dan
pemantapan sistem pendidikan nasional. Faktor keempat meliputi penindasan,
dominasi, dan pencarian identitas alternatif melalui memori kolektif rakyat.
Keempat faktor tersebut pada dasarnya tercakup dalam proses pembentukan
identitas nasional bangsa Indoensia, yang telah berkembang dari masa sebelum
Indonesia mencapai kemerdekaan.[5]
Munculnya Sumpah Pemuda Oktober 1928, setidaknya sangat mendukung upaya
pencarian nasionalisme Indonesia sekaligus penemuan identitas nasional bangsa
Indonesia.[6]
Gagasan kebudayaan nasional sebagai identitas nasional sudah dicetuskan
sejak Sumpah Pemuda tahun 1928. Gagasan itu kemudian diikuti oleh seluruh pemuda
berbagai daerah di Indonesia yang membulatkan tekad untuk menyatukan Indonesia
dengan menyamakan pola pikir bahwa Indonesia memang berbeda budaya tiap
daerahnya tetapi tetap dalam satu kesatuan Indonesia Raya dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Kebudayaan sebagai identitas nasinal menunjukkan betapa kebudayaan adalah aspek
yang sangat penting bagi suatu bangsa karena jelaslah bahwa kebudayaan juga
merupakan jati diri dari bangsa itu sendiri.
Kebudayaan nasional bersumber pada puncak-puncak kebudayaan lokal atau
kebudayaan daerah di seluruh Indonesia yang selaras dengan norma-norma
berbangsa dan bernegara. Kebudayaan nasional adalah gabungan dari kebudayaan
daerah yang ada di negara tersebut. Kebudayaan daerah adalah
kebudayaan dalam wilayah atau daerah tertentu yang diwariskan secara turun
temurun oleh generasi terdahulu pada generasi berikutnya pada ruang lingkup
daerah tersebut. Budaya daerah ini muncul saat penduduk suatu daerah telah
memiliki pola pikir dan kehidupan sosial yang sama sehingga itu menjadi suatu
kebiasaan yang membedakan mereka dengan penduduk-penduduk yang lain. Budaya
daerah mulai terlihat berkembang di Indonesia pada zaman kerajaan-kerajaan
terdahulu. Hal itu dapat dilihat dari cara hidup dan interaksi sosial yang
dilakukan masing-masing masyarakat kerajaan di Indonesia yang berbeda satu sama
lain.[7]
Kebudayaan nasional Indonesia secara hakiki terdiri dari semua budaya
yang terdapat dalam wilayah Republik Indonesia. Tanpa budaya-budaya itu tak ada
kebudayaan nasional. Itu tidak berarti kebudayaan nasional sekadar penjumlahan
semua budaya lokal di seantero Nusantara. Kebudayan nasional merupakan
realitas, karena kesatuan nasional merupakan realitas. Kebudayaan nasional akan
mantap apabila di satu pihak budaya-budaya Nusantara asli tetap mantap, dan di
lain pihak kehidupan nasional dapat dihayati sebagai bermakna oleh seluruh
warga masyarakat Indonesia.[8]
Menyikapi perkembangan zaman, selanjutnya, kebudayaan nasional
Indonesia perlu diisi oleh nilai-nilai dan norma-norma nasional sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara di antara seluruh rakyat Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah
nilai-nilai yang menjaga kedaulatan negara dan integritas teritorial yang
menyiratkan kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air, serta kelestariannya,
nilai-nilai tentang kebersamaan, saling menghormati, saling mencintai dan
saling menolong antar sesama warganegara, untuk bersama-sama menjaga kedaulatan
dan martabat bangsa. Pembentukan
identitas dan karakter bangsa sebagai sarana
bagi pembentukan pola pikir (mindset) dan sikap mental, memajukan adab dan kemampuan
bangsa, merupakan tugas utama dari pembangunan kebudayaan nasional. Singkatnya,
kebudayaan nasional adalah sarana bagi kita untuk memberikan jawaban atas
pertanyaan, “Siapa kita (apa identitas
kita)? Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita? Watak bangsa semacam apa yang
kita inginkan? Bagaimana kita harus mengukir wujud masa depan bangsa dan tanah
air kita?” [9]
C.
Ancaman Terhadap Kekayaan Budaya Jambi
Jambi
memiliki potensi pariwisata cukup beragam, seperti wisata alam, budaya, dan
sejarah. Wisata alam meliputi danau Kerinci, Taman Nasional Kerinci Seblat,
Cagar Biosfir Bukit Dua Belas, taman nasional Berbak, air terjun Telun Berasap,
Segirincing, dan Gua Tiangko. Untuk wisata budaya, Jambi memiliki tradisi dan
seni budaya yang unik dan menarik. Sedangkan wisata sejarah antara lain berupa
Candi Muara Jambi, Makam Orang Kayo Hitam, dan Museum Jambi. Semuanya itu
hingga sekarang belum berkembang seperti diharapkan oleh banyak orang.
Posisi
daerah Jambi sebenarnya strategis karena berdekatan dengan Riau, yang juga
berarti dekat dengan pengembangan regional segitiga pertumbuhan
Singapura-Johor-Riau (Sijori). Kerjasama regional ini masih dimungkinan bagi
Jambi. Kerjasama ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan potensi pertanian,
kehutanan, pertambangan, industri, pariwisata, perikanan, peternakan dan
perdagangan internasional. Berdasarkan cerita rakyat setempat, nama Jambi
berasal dari perkataan “jambe” yang berarti “pinang”. Nama ini ada hubungannya
dengan sebuah legenda yang hidup dalam masyarakat, yaitu legenda mengenai Raja
Putri Selaras Pinang Masak, yang ada kaitannya dengan asal-usul provinsi Jambi.
Penduduk
asli Provinsi Jambi terdiri dari beberapa suku bangsa, antara lain Melayu Jambi,
Batin, Kerinci, Penghulu, Pindah, Anak Dalam (Kubu), dan Bajau. Suku bangsa
yang disebutkan pertama merupakan penduduk mayoritas dari keseluruhan penduduk
Jambi, yang bermukim di sepanjang dan sekitar pinggiran sungai Batanghari.
Suku Kubu
atau Anak Dalam dianggap sebagai suku tertua di Jambi, karena telah menetap
terlebih dahulu sebelum kedatangan suku-suku yang lain. Mereka diperkirakan
merupakan keturunan prajurit-prajurit Minangkabau yang bermaksud memperluas
daerah ke Jambi. Ada sementara informasi yang menyatakan bahwa suku ini
merupakan keturunan dari percampuran suku Wedda dengan suku Negrito, yang
kemudian disebut sebagai suku Weddoid.
Orang Anak
Dalam dibedakan atas suku yang jinak dan liar. Sebutan “jinak” diberikan
kepada golongan yang telah dimasyarakatkan, memiliki tempat tinggal yang
tetap, dan telah mengenal tata cara pertanian. Sedangkan yang disebut “liar”
adalah mereka yang masih berkeliaran di hutan-hutan dan tidak memiliki tempat
tinggal tetap, belum mengenal sistem bercocok tanam, serta komunikasi dengan
dunia luar sama sekali masih tertutup.
Suku-suku
bangsa di Jambi pada umumnya bermukim di daerah pedesaan dengan pola yang
mengelompok. Mereka yang hidup menetap tergabung dalam beberapa larik (kumpulan
rumah panjang beserta pekarangannya). Setiap desa dipimpin oleh seorang kepala
desa (Rio), dibantu oleh mangku, canang, dan tua-tua tengganai (dewan desa).
Mereka inilah yang bertugas mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan
hidup masyarakat desa.
Strata
Sosial masyarakat di Jambi tidak mempunyai suatu konsepsi yang jelas tentang
sistem pelapisan sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu jarang bahkan tidak
pernah terdengar istilah-istilah atau gelar-gelar tertentu untuk menyebut
lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Mereka hanya mengenal sebutan-sebutan
yang “kabur” untuk menunjukkan status seseorang, seperti orang pintar, orang
kaya, orang kampung dsb.
Pakaian
Pada awalnya masyarakat pedesaan mengenal pakaian sehari-hari berupa kain dan
baju tanpa lengan. Akan tetapi setelah mengalami proses akulturasi dengan
berbagai kebudayaan, pakaian sehari-hari yang dikenakan kaum wanita berupa
baju kurung dan selendang yang dililitkan di kepala sebagai penutup kepala.
Sedangkan kaum pria mengenakan celana setengah ruas yang menggelembung pada
bagian betisnya dan umumnya berwarna hitam, sehingga dapat leluasa bergerak
dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Pakaian untuk kaum pria ini dilengkapi
dengan kopiah.
Kesenian di
Provinsi Jambi yang terkenal antara lain Batanghari, Kipas perentak, Rangguk,
Sekapur sirih, Selampit delapan, Serentak Satang. Upacara adat yang masih
dilestarikan antara lain Upacara Lingkaran Hidup Manusia, Kelahiran, Masa
Dewasa, Perkawinan, Berusik sirih bergurau pinang, Duduk bertuik, tegak betanyo,
ikat buatan janji semayo, Ulur antar serah terimo pusako dan Kematian
D.
Candi Muaro Jambi
Komplek
Candi Muaro Jambi terlupakan selama bertahun-tahun. Baru pada abad XIX pusat
peribadatan umat Budha itu mendapat perhatian dan sekarang menjadi salah satu
obyek wisata Jambi di kancah kepariwisataan dunia maupun nasional tidak
sepopuler Bali ataupun tempat-tempat wisata di Jawa. Ia juga kalah bersaing
dengan provinsi tetangganya, Sumatera Selatan, dalam hal jumlah wisatawan.
Padahal, provinsi ini menyimpan potensi pariwisata yang tidak kalah unik dan
menarik. Ia memiliki komplek candi yang diperkirakan menjadi tempat I-Tsing,
rahib asal Tiongkok, memperdalam agama Budha pada abad VII. Komplek candi itu
dinamakan Candi Muaro Jambi karena terletak di Kabupaten Muaro Jambi, tepatnya
di desa Muaro Jambi. Disebut komplek karena lokasi itu tidak hanya menyimpan
satu candi melainkan puluhan candi. Namun, dari puluhan candi itu hanya
beberapa yang selesai dipugar, sisanya masih berupa reruntuhan. Adapula
gundukan-gundukan tanah bekas reruntuhan (menapo). Candi-candi yang bisa
diamati yakni Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Tinggi I, Candi Kembarbatu,
Candi Kedaton, Candi Astano, Candi Gedong I, Candi Gedong II dan Candi
Kotomahligai.
Cagar
budaya ini bisa ditempuh dengan dua cara, jalan darat atau jalur sungai. Bila
memilih jalan darat maka harus menyeberangi Jembatan Aur Duri. Sedangkan bila
memilih jalur sungai, wisatawan terlebih dahulu menuju Pelabuhan Talang Duku,
lalu menyeberangi Sungai Batanghari ke desa Muaro Jambi. Memasuki areal
komplek, wisatawan akan disambut Candi Gumpung yang berdiri kokoh. Candi yang
dipugar tahun ini 1982-1988 ini dikelilingi pagar tembok sepanjang 150 x 155 m,
dengan gapura utama berada di sisi timur. Ketika candi itu dipugar, ditemukan
arca Prajnaparamita yang kemudian disimpan di Museum Situs yang terletak
berhadapan dengan Candi Gumpung.
Di sebelah
timur laut Candi Gumpung terlihat candi yang menjulang lebih tinggi. FM
Schnitger dalam laporannya pada tahun 1937 menyebut candi setinggi 7,6 meter
itu dengan sebutan Candi Tinggi. Pada candi induk terdapat tangga naik menuju
kedua teras candi dengan tubuh bangunan makin mengecil pada puncaknya. Di
seberangnya berdiri, Candi Tinggi I yang masih dikelilingi pagar kawat. Menurut
Samiun, pemandu wisata, candi itu belum selesai dipugar.
Semakin
masuk ke dalam, pengunjung akan menjumpai Candi Kembarbatu. Saat pemugaran
ditemukan gong kuno dari perunggu bertuliskan huruf Cina yang kini menjadi
koleksi Museum Negeri Jambi. Selain itu juga ditemukan pula lempengan-lempengan
emas, batu akik bertuliskan huruf Jawa kuno dan keramik Cina sekitar abad
10-12. Candi lainnya yang tidak boleh dilewatkan yaitu Candi Kedaton Candi itu
paling besar ukurannya dan masih dianggap angker oleh penduduk setempat.
Yang
menarik dikaji dari candi-candi ini yakni ukuran dan bahan penyusunnya.
Dibandingkan candi-candi di Jawa, ukuran candi di situs ini tergolong tidak
terlalu besar. Mereka juga menggunakan batu bata dan kerikil untuk menyusun
candi, berbeda dengan candi-candi di Jawa yang menggunakan batu-batu berukuran
besar.
Keberadaan
komplek candi ini belakangan silam mulai populer. Ia menjadi pusat perayaan
Waisak selain Candi Borobudur. Setiap tahunnya juga diadakan festival candi
yang menarik banyak wisatawan. Selain wisatawan domestik banyak pula penganut
agama Budha dari mancanegara yang berkunjung ke komplek candi ini. Ini tidak
mengherankan. Pasalnya, ratusan tahun silam situs ini pernah menjadi pusat
peribadatan agama Budha Tantrayana. Bukti ini terlihat dari candi dan sarana
ritual seperti arca Prajnaparamita, tulisan mantra yang dipahatkan pada
lempengan emas atau digoreskan pada bata dan arca gajah singha.
E.
Budaya Jambi Identik dengan Budaya Melayu
Budaya
Melayu sebagai salah satu kebudayaan di Indonesia telah memberi sumbangan yang
sangat luas bagi pembentukan karakter dan budaya masyarakat Indonesia secara
umum. Meskipun demikian, dalam perjalanan sejarah panjang Indonesia, sumbangan
budaya Melayu terasa dilupakan di tengah-tengah arus pembangunan yang dikembangkan
oleh pemerintah Orde Baru. Pada masa itu Budaya Melayu mengalami peminggiran
dan orang lebih terpesona pada budaya global yang kosmopolitan. Pada tahun
1998, Indonesia mengalami reformasi sistem pemerintahan, yaitu dari sistem
pemerintahan sentralistik menjadi sistem pemerintahan desentralistik. Di era
ini otonomi daerah merupakan solusi untuk menyelesaikan ketegangan antara pusat
dan daerah pada masa pemerintahan Orde Baru. Reformasi politik ini juga
memberikan peluang yang sangat luas kepada Melayu untuk berkembang dan
menemukan ruang untuk merajut kembali berbagai budaya Melayu yang terserak di
seluruh kepulauan di Indonesia.
Merajut
kembali budaya Melayu yang terserak bukanlah hal yang mudah, hal ini disebabkan
oleh posisi budaya Melayu yang terpinggirkan dalam perjalanan sejarah
Indonesia, sehingga sumber daya Melayu menjadi relatif rendah dalam dunia
global. Orang-orang Melayu kurang mempunyai kemampuan untuk bersaing dalam
memanfaatkan peluang-peluang yang disediakan oleh reformasi. Terbukanya peluang
untuk mengatur hidupnya sendiri tidak diimbangi oleh kemampuan untuk
memanfatkan peluang tersebut, namun justru menjadikan masyarakat Melayu
cenderung bersikap primordial (kedaerahan). Primordialisme ini sesungguhnya
merupakan respon negatif terhadap kosmopolitanisme karena tidak adanya
kemampuan orang Melayu untuk meletakkan dirinya dalam kancah global. Dalam
konteks Indonesia, hal ini tampak dari penggunaan isu putra daerah dalam setiap
suksesi kepemimpinan daerah. Berkembangnya sikap seperti ini, pada satu sisi
dapat dilihat sebagai munculnya kesadaran orang Melayu untuk mengurus dirinya
sendiri, tetapi pada sisi yang lain merupakan sikap yang bertentangan dengan
karakter orang-orang Melayu yang inklusif. Masyarakat Melayu, dengan
primordialismenya, tampak ragu untuk berhadapan dengan dunia global. Tentu saja
jika hal ini berlarut-larut, maka berat sekali jika harus merajut kemelayuan
nusantara.
Meningkatnya
sikap primordial di kalangan masyarakat Melayu pasca-reformasi 1998, merupakan
fenomena yang harus disikapi secara cerdas dan arif. Sikap primordial merupakan
penghalang orang-orang Melayu untuk berhubungan dengan pihak-pihak lain.
Padahal dalam era globalisasi seperti ini, tindakan mengisolasi diri
(eksklusif) merupakan sikap- yang justru-merugikan budaya Melayu itu sendiri.
Bukankah kejayaan budaya Melayu masa lalu tercapai oleh masyarakat Melayu yang
senantiasa terbuka terhadap kebudayaan-kebudayaan lain di dunia? Di jaman
dahulu, masyarakat dan budaya Melayu mampu bernegosiasi dan bersinergi dengan
budaya Hindu Budha dari India, Budaya Cina, dan kemudian Budaya Timur Tengah
yang membawa ajaran Islam yang diterima secara luas di kalangan melayu karena
sesuai dengan karakter inklusif masyarakat Melayu.
F.
Tantangan Budaya Melayu Jambi
Zaman senantiasa mengalami perubahan
Begitulah Sunatullah. Yang Kekal hanyalah Sunnatullah, aturan yang telah
ditetapkan oleh Allah, Maha pencipta. Memasuki alaf ketiga atau abad dua
puluh satu, ditemui suatu kenyataan, terjadinya lonjakan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan pesat. Ditandai dengan lajunya teknologi
komunikasi dan informasi (information techonology). Suatu gejala yang disebut‑sebut sebagai arus globalisasi,
“perdagangan bebas, persaingan yang tinggi dan tajam. Era globalisasi akan terjadi
perubahan‑perubahan cepat. Dunia akan transparan, terasa sempit, dan seakan
tanpa batas. Hubungan komunikasi, informasi, transportasi menjadikan satu sama
lain menjadi dekat, sebagai akibat dari revolusi industri, hasil dari
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Setelah diamandemen, pasal 32 berubah
menjadi 2 ayat. Ayat (1) berbunyi: "Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kekebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya."
Jika ayat (1) ini dirinci, ada 3 potongan makna yang terkandung di
dalamnya. Pertama, "Negara
memajukan kebudayaan nasional Indonesia….". Potongan kalimat kedua
berbunyi,"…di tengah peradaban dunia…", penegasan bahwa kebudayaan
Indonesia adalah bagian dari kebudayaan dan perdaban dunia. Potongan kalimat
ketiga, "….dengan menjamin kebebasan masyarakat untuk memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya" merupakan cerminan pemenuhan
kehendak tentang perlunya kebebasan dalam mengembangkan nilai budaya
masing-masing suku bangsa. Ayat (2) berbunyi, "Negara menghormati dan
memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional", ini
berarti bahwa masalah bahasa (daerah) sudah dengan sendirinya merupakan salah
satu kekayaan (bagian) dari kebudayaan bangsa.[10]
Jaminan seperti yang tertuang dalam kedua ayat tersebut sudah
semestinya menjadi kekuatan dan semangat bagi anak bangsa, khususnya pemerintah
secara institusional selaku pengambil kebijakan. Namun demikian, untuk
menyelamatkan identitas budaya bangsaa kita memerlukan lebih dari sekadar
pernyataan semata. Bangsa ini memerlukan suatu grand strategy, strategi
besar berdimensi luas dan bervisi jauh ke depan, atas seluruh hajat hidup dan
sumberdaya, termasuk manusia, budaya, bahasa dan sejarahnya.
Pemerintah semestinya melakukan inventarisasi, kodifikasi dan
selanjutnya publikasi identitas kebudayaan secara serentak, terorganisir dan
menyeluruh. Faktanya, Indonesia hingga saat ini tidak memiliki data lengkap
mengenai identitas budaya yang tersebar di setiap daerah. Perlindungan hak
cipta terhadap seni budaya juga sangat lemah, sedangkan publikasi multimedia
secara internasional mengenai produk seni budaya masih sangat minim. Dan yang
paling parah Indonesia juga menghadapi persoalan buruknya birokrasi pendataan
hak cipta. Meskipun permohonan pendaftaran hak cipta mengenai seni budaya sudah
disampaikan, misalnya, belum tentu permohonan tersebut segera diproses dan
dipublikasikan. Sejak 2002 sampai Juni 2009,[11]
misalnya, sudah ada 24.603 permohonan pendaftaran hak cipta bidang seni yang
disampaikan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia (Depkum dan HAM). Namun, hingga saat ini, permohonan yang
disetujui belum dipublikasikan. Hal ini juga terkait dengan belum adanya dasar
hukum formal.
Strategi tersebut di atas dapat pula dijabarkan dan dilengkapi dalam
bentuk langkah khusus-konkrit. Strategi yang dimaksud misalnya mendorong
pemanfaatan teknologi informasi dan perangkat-perangkatnya untuk melakukan
pendaftaran dan basis data bersama seluruh khazanah kebudayaan nasional. Itu
dengan melibatkan semua pihak
se-nusantara, serta membiasakan generasi muda menggunakan berbagai fasilitas
teknologi informasi untuk keperluan yang terkait dengan pelestarian dan
apresiasi kebudayaan nasional Indonesia. Strategi lainnya dapat berupa
mendorong daya kreasi pengembangan sains dan teknologi yang ber-inspirasi dari
kekayaan yang bersumber pada berbagai aspek kebudayaan tradisional Indonesia
atau warisan budaya bangsa (national heritage) yang sangat bhinneka bagi
kemajuan peradaban dunia, menanamkan nilai-nilai budaya lokal/nasional yang
positif dan konstruktif. Mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang terbuka
maka strategi tersebut perlu dilengkapi dengan upaya menyaring budaya asing
yang masuk melalui aktualisasi budaya.
Daftar Pustaka
Anonim. “Mungkinkah Pariwisata Budaya Indonesia Maju?”. Sinar
Harapan. 27 Mei 2004.
Chamim, A., Cipto, B., Nashir, H., Istianah, ZA., Bashori, K., Setiartiti,
L., Azhar, M., Tuhuleley, S. Civic Hukum: Pendidikan Kewarganegaraan.
Yogyakarta: Diktilitbang PP Muhammadiyah dan LP3 UMY. 2003.
Dewantara, K.H. Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Majelis
Luhur Persatuan Tamansiswa. 1994.
Husamah. “Mengusung
Multikulturalisme. Media
Indonesia, 12 Juli 2008.
Joesoef, D. Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran” Masyarakat Warga dan
Pergulatan Demokrasi. Jakarta: Penerbit Kompas. 2001.
Karim,M.R. “Arti Keberadaan Nasionalisme”. Analsis CSIS XXV (2). 1996.
Koentjaraningrat (ed.). Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. 2002.
Kompas, 31 Agustus 2009.
Mahayana, MS. Akar Melayu: Sistem
Sastra dan Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia. Magelang:
Indonesiatera. 2001.
Rahayu, A. Pariwisata:
Konseptualisasi Kebudayaan. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
2006.
Situmorang, S. “Pentingnya
Dokumentasi Toponimi untuk Mendukung Tata Pemerintahan yang Baik”. Makalah dalam The 13th Asia South East
& Pacific South West Divisional Meeting.
2006.
Sugiarti, dan Trisakti Handayani. Kajian
Kontemporer Ilmu Budaya Dasar. Malang: UMM Press. 1999.
Supardi, N. Dalam
Memajukan Kebudayaan Bangsa Kita Kehilangan Haluan. Jakarta:
Depbudpar Suparlan, Parsudi. 2005. Suku bangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa.
Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. 2006.
Suryo, J. 2002. Pembentukan Identitas
Nasional, Makalah pada Seminar Terbatas Pengembangan Wawasan tentang Civic
Education. Yogyakarta: LP3 UMY.
Suseno, FM. Filsafat Kebudayaan Politik. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka
Utama. 1992.
Swasono, MFH. Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola
Pikir. Bukittinggi: makalah Kongres Kebudayaan V, Bukittinggi, 20– 22
Oktober 2003.
Rochaeti, E. Sistem Informasi
Manajemen Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2006.
Ruskhan, AG. “Pemanfaatan Keberagaman Budaya Indonesia
Dalam Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (BIPA)”. Makalah
yang disajikan dalam Seminar Pengajaran Bahasa Indonesia Pertemuan Asosiasi
Jepang-Indonesia di Nanzan Gakuen Training Center, Nagoya, Jepang, 10-11 November
2007.
www.jambiindependent.co.id
[1] Sugiarti dan Trisakti Handayani Ibid. hal. 8.
[2] Ki Hajar Dewantara, Kebudayaan , Penerbit
Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Yogyakarta,
1994.
[3]
Asykuri Ibn Chamim et al., Civic Hukum: Pendidikan Kewarganegaraan, Diktilitbang
PP Muhammadiyah dan LP3 UMY, Yogyakarta, 2003,
hal. 209.
[4]
Joko Suryo, Pembentukan Identitas
Nasional, Makalah pada Seminar Terbatas Pengembangan Wawasan tentang Civic
Education, LP3 UMY, Yogyakarta, 2002.
[5]
Ibid.
[6] M.R. Karim. ”Arti Keberadaan Nasionalisme”,
Analisis CSIS XXV/2/1996, hal. 103.
[7] Dari pola kegiatan ekonomi
misalnya, kebudayaan daerah dikelompokan beberapa macam yaitu: ) kebudayaan
pemburu dan peramu; 2) kebudayaan peternak; 3) kebudayaan peladang,; 4) kebudayaan
nelayan.
[8] Franz Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.
[9] Meutia Farida Hatta Swasono, ”Kebudayaan Nasional
Indonesia: Penataan Pola Pikir”, diajukan pada Kongres Kebudayaan V di
Bukittinggi, 20– 22 Oktober 2003.
[10]
Nunus Supardi, Dalam Memajukan Kebudayaan Bangsa Kita
Kehilangan Haluan, Depbudpar, Jakarta, 2006.
[11] Kompas, 31 Agustus 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar