PUISI ITU UNGKAPAN JIWA
Tinjauan Psikologis
Sosiologis Sastra
Oleh: Bambang Setiawan,
S.Pd
“Sastra yang memiliki jiwa akan hidup. Dia bisa
mengalir dalam tubuh, merasuk ke rasa. Urat nadi semakin menancap keras, kental
imajinasinya” (Endraswara). Sastra adalah ungkapan jiwa. Jiwa itu indah.
Benarkah jiwa bisa menghaluskan sastra? Atau berjiwa sastra? Banyak pendapat
tentang sastra dan jiwa yang diungkapkan oleh para ahli. Lalu apa hubungan
sastra dan ungkapan jiwa. Berjiwa sastra artinya jiwa yang penuh dengan
keindahan. Jiwa selaras dengan psikologi seseorang.
Sastra dan ungkapan jiwa atau hasil sastra adalah
ungkapan jiwa. Memaknai ungkapan jiwa merupakan proses penciptaan. Dalam sebuah
konteks sastra ungkapan jiwa dipengaruhi oleh psikologi seorang penulis atau sastrawan.
Proses yang dilakukan oleh penulis sastra merupakan ungkapan kebebasan
individual yang kadang-kadang sakral. Sakralitas kejiwaan sastrawan satu dengan
yang lain memang bisa berbeda. Perbedaan itu yang membuat menarik pembaca
sastra. Artinya sastrawan atau penulis sastra dapat memberikan warna kehidupan
batin tokoh. Hal ini dapat dijadikan sebagai acuan aspek mutu sastra. Ungkapan
kejiwaan akan mengambarkan kemampuan sastrawan memoles watak tokoh yang
benar-benar jitu dan sejalan dengan penalaran yang diinginkan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “jiwa”
diartikan ruh manusia; roh yang ada
di kehidupan batin manusia, kejiwaan, keseutuhnya yang terjadi dari perasaan
batin, pikiran, angan-angan dan sebagainya. Sedangkan “psikologi” adalah ilmu
yang berkaitan dengan proses-proses mental baik normal maupun abnormal dan
perilaku ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa (2005:392).
Siswanto dalam argumennya menyatakan bahwa kepribadian sastrawan adalah
unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan tingkah laku atau tindakan dari
setiap individu manusia. Unsur tersebut adalah pengetahuan, perasaan, dan
dorongan naluri (2008:12). Setiap sastrawan mempunyai pengetahuan yang
berbeda-beda karena realita dan kehidupan yang dijalini juga berbeda-beda.
Pengetahuan merupakan unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seorang manusia
yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Selain itu unsur pengetahuan
sastrawan juga mempunyai perasaan. Melalui ungkapan jiwa inilah sastrawan juga
mengungkapkan perasaannya. Perasaan adalah suatu keadaan dalam kesadaran
manusia yang karena pengaruh pengetahuannya dinilainya sebagai keadaan positif
dan negatif. Perasaan dapat menimbulkan kehendak, yaitu keadaan untuk
mendapatkan suatu kenikmatan.
Kesadaran untuk mengungkapkan kebebasan atas
realitas kehidupan sosial umumnya menjadi visi-misi para sastrawan. Lacan
(1901-1981) mengemukakan teori baru, bahwa kejiwaan yang akan mengantarkan
sastrawan lebih piawi menerjemahkan kehidupan. Ketidakjelasan sastrawan meneropong
keadaan sosial, menoropong dunia, semakin intens ketika alam bawah sadar
dimainkan. Aroma kegilaan memang harus muncul, namun tetap dalam koridor
estetika.
Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk
mengungkapkan diri, tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta (Semi,
1993:1). Sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat dan ilmu jiwa.
Sastra adalah kekayaan rohani yang dapat memperkaya rohani. Sastrawan pada
dasarnya dapat dikatakan sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan
masalah hidup, kejiwaan melalui tulisan sastra. Sastrawan mempunyai kepekaan
yang dapat menembus kebenaran hakiki manusia yang tidak dapat diketahui oleh
orang lain. Sastra yang telah dilahirkan oleh sastrawan diharapkan dapat
memberi kepuasaan estettik dan intelektual bagi pembaca. Hal ini terjadi karena
sebuah karya seni yang diciptakan memiliki budi dan dibangun dengan imajinasi
dan emosi, sastra juga sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi
intelektual dan emosi.
Dalam tinjauan psikologi sastra, dan teori sastra
“sastra adalah fenomena cermin kepribadian pengarang”. Kata cermin dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia diartikan “sesuatu yang menjadi teladan; bayangan batin
(2008:108). Dalam sebuah sastra ‘cermin” dimaksudkan sastra merupakan gambaran
pengarang. Gambaran dalam hal ini belum tentu seluruhnya miliki pribadi
pengarang. Pribadi sastra tidak serta merta masuk secara kasar dalam karyanya.
Wellek dan Warren (1989) beranggapan bahwa sastrawan adalah spesialis dalam
membuat asosiasi (wit), disosiasi
(penilaian) dan mengombinasikan kembali (menyatukan unsur-unsur yang dialami
secara terpisah. Atas dasar ini kombinasi belajar dan bakat dari situasi itulah
membentuk kepribadian yang khas. Yang lebih menarik ketika sastrawan dan
ungkapan jiwanya berkombinasi dengan relegiusitas. Artinya sastra memberikan
cerminan dalam karyanya sebagai ungkapan kerohanian pribadinya. Dalam tulisan
ini penulis mengkutip puisi karya Utomo Soconingrat dengan judul “Subuh” dalam
kumpulan Himpunan Puisi Dua Pintu Kita. //Allahuakbar Allahuakbar//suara itu
terdengar merdu//menjanjikan harapan dan muara// bagi mereka yang tergerak hati
tuk sujud syukur//
//Niat terkalahkan nikmati pembaringan//
sempurnakah warna mimpi//angin dingin bekukan hati//mengikat jiwa kalahkan
benteng iman//Allahuakbar Allahuakbar//suara itu terdengar merdu//niat tulus
tepat waktu//tak jua singkirkan bisikan setan//tuk mencapai kesempurnaan
Illahi// pedih perih mengiris hati//sempurnakan bisikan setan//mengikat raga
kalahkan waktu//Allahuakbar Allahuakbar//menjanjikan harapan dan .....//bagi
mereka yang sujud syukur//di subuh itu.
Sastra mengumpulkan kata-kata. Bagi sastrawan
kata-kata bukan tanda suatu pasangan yang transparan, melainkan “simbol”, yang
mempunyai nilai dirinya sendiri disamping sebagai alat untuk mewakili hal lain.
Tapi pada kenyataannya semua karya kreatif yang ditulis penulis dalam bentuk
sastra mempunyai struktur kejiwaan. Dalam kutipan puisi karya Soconingrat
berjudul “Subuh” terdapat konasi dan koginisi. Konasi adalah aspeh kehendak
dalam struktur jiwa manusia. Kehendap meluap ketika menginginkan sesuatu.
Kognisi adalah akal sehat dalam jiwa. Koginisi merupakan pemikiran jernih.
Dalam beberapa puisi karya Soconingrat konasi dan koginisi hadir berjalan
seiring, dan getaran jiwa hadir dalam karyanya. Artinya karya yang
diciptakannya selalu bersentuhan dengan psikis. Pentas kejujuran, emosi,
imajinasi dan bagaimana penulis karya sastra menyapa dunia adalah sebuah
getaran kejiwaan (Endraswara2008:32).
Kejujuran penting dalam mengungkapkan jiwa.
Pengarang, sastrawan harus memiliki kejujuran yang tinggi dalam mengungkapkan
kebebasan secara individualis. Artinya sastrawan yang dituntut jujur. Jujur
adalah refleksi batin. Jika yang dituntut oleh puisi dari kita dalah diri kita,
kejujuran kita, keringat kita. Berarti jujur adalah penting sekali bagi seorang
sastrawan dalam mengungkapkan jiwa. Kejujuran dalam karyanya akan membawa nilai
estetis. Estetis dibangun dari sebuah emosi. Emosi juga dapat dikaitkan dengan
unsur bentuk formal dalam proses karya kreatif (puisi). Puisi adalah karya seni
yang puitis dan mengutamakan aspek estetis. Kepuitisan puisi diciptakan dengan
pendayagunaan unsur-unsur bahasa yang dapat membangkitkan emosionanalitas. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, puisi diartikan sebagai ragam sastra yang
bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait
(1984:175). Luxemburg mengemukakan puisi adalah bentuk karya sastra yang
mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan
mengonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya.
Karya puisi juga mentransformasikan pengalaman dan
menyajikan secara menyeluruh pengalaman. Dalam sajian tersebut kita mendapat
emosi dan pikiran yang dipadu sedemikian rupa sehingga kita mendapatkan
pengalaman imajinatif. Emosi itu sangat beragam. Ada emosi yang mengembirakan,
menyedihkan, mengerikan, menakutkan dan sebagainya. Emosi harus cocok dan
seimbang dengan situasi yang dikemukakan. Setiap emosi sastrawan tentu
berbeda-beda. Sarumpet (2002), pembicaraan emosi cenderung bersifat apresiatif,
penuh sensasi, dan karya emosi. Emosi memiliki peran penting dalam penciptaan
puisi. Dalam bahasa latin emosi disebut emovere
atau artinya ‘mencerca’ yaitu sesuatu yang mendorong kesuasana hati
seseorang atau emotion (dalam bahasa
Inggris) yang artinya hasutan perasaan atau kesanggupan merasakan dengan
kelembutan sedikit emosi.
Dalam setiap karya sastra khususnya puisi seorang
penulis puisi akan membangun karyanya melalui perawajahan puisi (tipografi), diksi,
pengimajian, kata konkret, majas atau bahasa figuratif, dan verifikasi.
Perwajahan merupakan pengaturan dan penulisan kata, larik dan bait puisi. Pada
puisi konvensional, kata-kata diatur dalam deret yang disebut larik atau baris.
Setiap satu larik tidak tentu mencerminkan satu pernyataan. Penyair dalam
karyanya tidak selalu memulai tulisannya dengan menggunakan huruf besar dan
diakhiri tanda titik (.). Kumpulan puisinya tidak membentuk paragraf melainkan
membetuk bait.
Pengaturan baris dalam puisi sangat berpengaruh
terhdap pemaknaan puisi, karena menentukan kesatuan makna, dan juga berfungsi
untuk memunculkan ketaksaan makna (ambiguitas). Perwajahan puisi dapat
menggambarkan atau mencerminkan maksud dan jiwa pengarangnya. Selain
perwajahan, sastrawan juga membangun karyanya dengan pilihan kata (diksi).
Diksi adalah pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya.
Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang dengan sedikit kata-kata, namun
mengungkapkan banyak hal. Maka dari itu, penyair, sastrawan harus selektif
untuk memilih kata secermat mungkin. Pemilihan kata ini berhubungan erat dengan
makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Karena pilihan kata akan
mempengaruhi kecermatan makna dan keselarasan bunyi. Latar belakang penyair juga
turut mempengaruhi pemilihan kata. Semakin luas pandangan penyair, semakin kaya
kata-kata, dan semakin berbobot kata-kata yang digunakan dalam karyanya.
Tentu saja penyair yang berasal dari Jambi akan
berbeda dengan penyair yang berasal dari Sumatra Barat, Jawa, begitu
seterusnya. Kata dalam puisi sudah mengandung pandangan pengarang. Contohnya
adalah penyair yang relegius akan menggunakan kosa kata atau pilihan kata yang
berbeda dengan pengarang yang sosialis. Selain itu keberadaan bahasa dalam
pemilihan kata sangat penting bagi penyair dan sastrawan, karena hal ini akan
menunjukkan tingkat wawasan penyair. Artinya penyair dalam berkarya mencoba
menggali, melakukan pengurangan, penambahan makna terhadap kata-kata
pilihannya. Sehingga karyanya akan mempunyai bobot yang dihadapan penikmat
sastra dan sebagainya.
Untuk menciptakan dan menuangkan jiwa pengarang
dalam karya puisi, penulis puisi perlu membangun imaji yang kuat. Imaji adalah
kata atau kelompok kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti
penglihatan, pendengaran, dan perasaan (Siswanto, 208:118). Imaji dapat dibagi
menjadi tiga yaitu; imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan
imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji ini akan berpengaruh besar
terhadap penikmat sastra. Artinya dengan dibangun imaji yang kuat oleh penulis,
pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti yang dialami oleh
penulis puisi. Imaji dalam karya puisi berhubungan dengan kata kongkrit. Imaji
suara misalnya tampak pada kutipan puisi”Subuh” karya Soconingrat.
//Allahuakbar Allahuakbar//suara itu terdengar merdu//menjanjikan harapan dan
muara//bagi mereka yang tegerak hati//tuk sujud syukur//. Sedangkan imaji
penglihatan (imaji visual) misalnya tampak pada kutipan puisi “Tetesan Air Lebat”
karya Soconingrat. //Tik tik tik// perlahan lahan air itu jatuh dari
langit//diiringi petir yang seakan ingin membelah bumi//lalu tetesan air itu
jatuh begitu kuat//membasahi tubuh anak-anak yang bercanda//di luar rumah//
(Himpunan Puisi duapintukita).
Seorang penyair dalam mengupas pilihan kata
sebagai ungkapan jiwa dalam bentuk puisi sangat berhubungan dengan kata
konkret. Kata konkret adalah kata-kata yang dapat ditangkap dengan indra
(Siswanto, 2008:119). Dengan adanya pilihan kata yang konkret akan membangun
imaji pembaca. Perhatikan kutipan puisi “Capung” Soconingrat berikut ini.
//Melihat capung terbang//tubuhnya elok//menyambut matahari// melihat capung
terbang//melesat bagai merpati putih//sesekali menghisap bunga// tiada henti//
(Himpunan puisi duapintukita). Pada kutipan puisi tersebut kata konkret
ditunjukkan oleh kata //capung//matahari//tubuhnya elok.
Selain penyair membangun kata konkret dalam
karyanya, penyair juga menggunakan bahasa figuratif (majas). Majas adalah
bahasa berkias yang harus dapat menghidupkan atau meningkatkan efek dan
menimbulkan konotasi tertentu (Sudjito, 1986:128). Dengan kehadiran bahasa
figuratif puisi akan menjadi prismatis. Prismastis adalah memancarkan banyak
makna atau kaya makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif dipandang lebih
efektif untuk menyampaikan ungkapan jiwa dalam bentuk puisi. Perrine memberikan
alasan mengapa penyair menggunakan bahasa figuratif; (1) bahasa figuratif mampu
menghasilkan kesenangan imajinatif, (2) bahasa figuratif adalah cara untuk menghasilkan
imaji tambahan dalam puisi sehingga yang abstrak jadi konkret dan menjadikan
puisi lebih nikmat dibaca, (3) bahasa figuratif dapat menambah intensitas
perasaan penyair untuk puisinya dan menyampaikan sikap penyair, (4) bahasa
figuratif cara untuk mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara
menyampaikan sesuatu itu menjadi banyak dan luas dengan bahasa yang singkat
(Waluyo, 1987:83). Ungkapan jiwa oleh sastrawan dalam bentuk puisi juga
menggunakan verifikasi. Verifikasi dalam puisi terdiri atas rima, ritme, dan
metrum. Rima diartikan adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah,
maupun akhir baris puisi. Sajak adalah persamaan bunyi pada akhir baris puisi
(Siswanto, 2008). Sedangkan ritma dan metrum merupakan tinggi-rendah, panjang pendek, keras lemahnya
bunyi. Ritma sangat menonjol jika puisi itu dibacakan.
Maka dari itu ungkapan jiwa sangat dipengaruhi
oleh kekuatan emosi. Pembangunan imaji pengarang yang kuat. Bagi Coleridge
menyatakan bahwa kualitas ungkapan jiwa ditentukan oleh beberapa aspek, yaitu;
daya spontanitas, kekuatan emosi, orisinilitas, daya kontemplasi, kedalaman
nilai kehidupan, dan harmoni. Hal ini yang menyebabkan pentingnya peranan
sastrawan dalam mengemas ungkapan jiwa. Apa yang ada dalam jiwa pengarang
merupakan ungkapan jiwa dan proses kreatif yang mencerminkan kehidupan seoarang
sastrawan melalui kata-kata, atau permainan kata yang mempunyai nilai estetika.
Dengan ungkapan jiwa inilah pembaca diajak untuk melihat realitas yang
diangkatnya secara harfiah. Pengarang yang baik akan mengugkapkan jiwanya
dengan kejujuran.
Penulis adalah staf pengajar
di SMP-SMA-SMK Pelita Raya Jambi
Alumnus PBS FKIP Universitas
Jambi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar