Cafebahasa hadir sebagai sarana edukasi, pembelajaran, komunikasi serta sebagai media informasi bahasa, sastra, seni, opini-artikel, dan hasil mahakarya (proses kreatif). Kirimkan partisipasi Anda melalui email bbg_cla@yahoo.com

Senin, 28 November 2011

Puisi itu Ungkapan Jiwa

PUISI ITU UNGKAPAN JIWA
Tinjauan Psikologis Sosiologis Sastra
Oleh: Bambang Setiawan, S.Pd

“Sastra yang memiliki jiwa akan hidup. Dia bisa mengalir dalam tubuh, merasuk ke rasa. Urat nadi semakin menancap keras, kental imajinasinya” (Endraswara). Sastra adalah ungkapan jiwa. Jiwa itu indah. Benarkah jiwa bisa menghaluskan sastra? Atau berjiwa sastra? Banyak pendapat tentang sastra dan jiwa yang diungkapkan oleh para ahli. Lalu apa hubungan sastra dan ungkapan jiwa. Berjiwa sastra artinya jiwa yang penuh dengan keindahan. Jiwa selaras dengan psikologi seseorang.
Sastra dan ungkapan jiwa atau hasil sastra adalah ungkapan jiwa. Memaknai ungkapan jiwa merupakan proses penciptaan. Dalam sebuah konteks sastra ungkapan jiwa dipengaruhi oleh psikologi seorang penulis atau sastrawan. Proses yang dilakukan oleh penulis sastra merupakan ungkapan kebebasan individual yang kadang-kadang sakral. Sakralitas kejiwaan sastrawan satu dengan yang lain memang bisa berbeda. Perbedaan itu yang membuat menarik pembaca sastra. Artinya sastrawan atau penulis sastra dapat memberikan warna kehidupan batin tokoh. Hal ini dapat dijadikan sebagai acuan aspek mutu sastra. Ungkapan kejiwaan akan mengambarkan kemampuan sastrawan memoles watak tokoh yang benar-benar jitu dan sejalan dengan penalaran yang diinginkan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “jiwa” diartikan ruh manusia; roh yang ada di kehidupan batin manusia, kejiwaan, keseutuhnya yang terjadi dari perasaan batin, pikiran, angan-angan dan sebagainya. Sedangkan “psikologi” adalah ilmu yang berkaitan dengan proses-proses mental baik normal maupun abnormal dan perilaku ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa (2005:392). Siswanto dalam argumennya menyatakan bahwa kepribadian sastrawan adalah unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan tingkah laku atau tindakan dari setiap individu manusia. Unsur tersebut adalah pengetahuan, perasaan, dan dorongan naluri (2008:12). Setiap sastrawan mempunyai pengetahuan yang berbeda-beda karena realita dan kehidupan yang dijalini juga berbeda-beda. Pengetahuan merupakan unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Selain itu unsur pengetahuan sastrawan juga mempunyai perasaan. Melalui ungkapan jiwa inilah sastrawan juga mengungkapkan perasaannya. Perasaan adalah suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang karena pengaruh pengetahuannya dinilainya sebagai keadaan positif dan negatif. Perasaan dapat menimbulkan kehendak, yaitu keadaan untuk mendapatkan suatu kenikmatan.
Kesadaran untuk mengungkapkan kebebasan atas realitas kehidupan sosial umumnya menjadi visi-misi para sastrawan. Lacan (1901-1981) mengemukakan teori baru, bahwa kejiwaan yang akan mengantarkan sastrawan lebih piawi menerjemahkan kehidupan. Ketidakjelasan sastrawan meneropong keadaan sosial, menoropong dunia, semakin intens ketika alam bawah sadar dimainkan. Aroma kegilaan memang harus muncul, namun tetap dalam koridor estetika.
Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri, tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta (Semi, 1993:1). Sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat dan ilmu jiwa. Sastra adalah kekayaan rohani yang dapat memperkaya rohani. Sastrawan pada dasarnya dapat dikatakan sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan melalui tulisan sastra. Sastrawan mempunyai kepekaan yang dapat menembus kebenaran hakiki manusia yang tidak dapat diketahui oleh orang lain. Sastra yang telah dilahirkan oleh sastrawan diharapkan dapat memberi kepuasaan estettik dan intelektual bagi pembaca. Hal ini terjadi karena sebuah karya seni yang diciptakan memiliki budi dan dibangun dengan imajinasi dan emosi, sastra juga sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosi.
Dalam tinjauan psikologi sastra, dan teori sastra “sastra adalah fenomena cermin kepribadian pengarang”. Kata cermin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan “sesuatu yang menjadi teladan; bayangan batin (2008:108). Dalam sebuah sastra ‘cermin” dimaksudkan sastra merupakan gambaran pengarang. Gambaran dalam hal ini belum tentu seluruhnya miliki pribadi pengarang. Pribadi sastra tidak serta merta masuk secara kasar dalam karyanya. Wellek dan Warren (1989) beranggapan bahwa sastrawan adalah spesialis dalam membuat asosiasi (wit), disosiasi (penilaian) dan mengombinasikan kembali (menyatukan unsur-unsur yang dialami secara terpisah. Atas dasar ini kombinasi belajar dan bakat dari situasi itulah membentuk kepribadian yang khas. Yang lebih menarik ketika sastrawan dan ungkapan jiwanya berkombinasi dengan relegiusitas. Artinya sastra memberikan cerminan dalam karyanya sebagai ungkapan kerohanian pribadinya. Dalam tulisan ini penulis mengkutip puisi karya Utomo Soconingrat dengan judul “Subuh” dalam kumpulan Himpunan Puisi Dua Pintu Kita. //Allahuakbar Allahuakbar//suara itu terdengar merdu//menjanjikan harapan dan muara// bagi mereka yang tergerak hati tuk sujud syukur//
//Niat terkalahkan nikmati pembaringan// sempurnakah warna mimpi//angin dingin bekukan hati//mengikat jiwa kalahkan benteng iman//Allahuakbar Allahuakbar//suara itu terdengar merdu//niat tulus tepat waktu//tak jua singkirkan bisikan setan//tuk mencapai kesempurnaan Illahi// pedih perih mengiris hati//sempurnakan bisikan setan//mengikat raga kalahkan waktu//Allahuakbar Allahuakbar//menjanjikan harapan dan .....//bagi mereka yang sujud syukur//di subuh itu.
Sastra mengumpulkan kata-kata. Bagi sastrawan kata-kata bukan tanda suatu pasangan yang transparan, melainkan “simbol”, yang mempunyai nilai dirinya sendiri disamping sebagai alat untuk mewakili hal lain. Tapi pada kenyataannya semua karya kreatif yang ditulis penulis dalam bentuk sastra mempunyai struktur kejiwaan. Dalam kutipan puisi karya Soconingrat berjudul “Subuh” terdapat konasi dan koginisi. Konasi adalah aspeh kehendak dalam struktur jiwa manusia. Kehendap meluap ketika menginginkan sesuatu. Kognisi adalah akal sehat dalam jiwa. Koginisi merupakan pemikiran jernih. Dalam beberapa puisi karya Soconingrat konasi dan koginisi hadir berjalan seiring, dan getaran jiwa hadir dalam karyanya. Artinya karya yang diciptakannya selalu bersentuhan dengan psikis. Pentas kejujuran, emosi, imajinasi dan bagaimana penulis karya sastra menyapa dunia adalah sebuah getaran kejiwaan (Endraswara2008:32).
Kejujuran penting dalam mengungkapkan jiwa. Pengarang, sastrawan harus memiliki kejujuran yang tinggi dalam mengungkapkan kebebasan secara individualis. Artinya sastrawan yang dituntut jujur. Jujur adalah refleksi batin. Jika yang dituntut oleh puisi dari kita dalah diri kita, kejujuran kita, keringat kita. Berarti jujur adalah penting sekali bagi seorang sastrawan dalam mengungkapkan jiwa. Kejujuran dalam karyanya akan membawa nilai estetis. Estetis dibangun dari sebuah emosi. Emosi juga dapat dikaitkan dengan unsur bentuk formal dalam proses karya kreatif (puisi). Puisi adalah karya seni yang puitis dan mengutamakan aspek estetis. Kepuitisan puisi diciptakan dengan pendayagunaan unsur-unsur bahasa yang dapat membangkitkan emosionanalitas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, puisi diartikan sebagai ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait (1984:175). Luxemburg mengemukakan puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya.
Karya puisi juga mentransformasikan pengalaman dan menyajikan secara menyeluruh pengalaman. Dalam sajian tersebut kita mendapat emosi dan pikiran yang dipadu sedemikian rupa sehingga kita mendapatkan pengalaman imajinatif. Emosi itu sangat beragam. Ada emosi yang mengembirakan, menyedihkan, mengerikan, menakutkan dan sebagainya. Emosi harus cocok dan seimbang dengan situasi yang dikemukakan. Setiap emosi sastrawan tentu berbeda-beda. Sarumpet (2002), pembicaraan emosi cenderung bersifat apresiatif, penuh sensasi, dan karya emosi. Emosi memiliki peran penting dalam penciptaan puisi. Dalam bahasa latin emosi disebut emovere atau artinya ‘mencerca’ yaitu sesuatu yang mendorong kesuasana hati seseorang atau emotion (dalam bahasa Inggris) yang artinya hasutan perasaan atau kesanggupan merasakan dengan kelembutan sedikit emosi.
Dalam setiap karya sastra khususnya puisi seorang penulis puisi akan membangun karyanya melalui perawajahan puisi (tipografi), diksi, pengimajian, kata konkret, majas atau bahasa figuratif, dan verifikasi. Perwajahan merupakan pengaturan dan penulisan kata, larik dan bait puisi. Pada puisi konvensional, kata-kata diatur dalam deret yang disebut larik atau baris. Setiap satu larik tidak tentu mencerminkan satu pernyataan. Penyair dalam karyanya tidak selalu memulai tulisannya dengan menggunakan huruf besar dan diakhiri tanda titik (.). Kumpulan puisinya tidak membentuk paragraf melainkan membetuk bait.
Pengaturan baris dalam puisi sangat berpengaruh terhdap pemaknaan puisi, karena menentukan kesatuan makna, dan juga berfungsi untuk memunculkan ketaksaan makna (ambiguitas). Perwajahan puisi dapat menggambarkan atau mencerminkan maksud dan jiwa pengarangnya. Selain perwajahan, sastrawan juga membangun karyanya dengan pilihan kata (diksi). Diksi adalah pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang dengan sedikit kata-kata, namun mengungkapkan banyak hal. Maka dari itu, penyair, sastrawan harus selektif untuk memilih kata secermat mungkin. Pemilihan kata ini berhubungan erat dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Karena pilihan kata akan mempengaruhi kecermatan makna dan keselarasan bunyi. Latar belakang penyair juga turut mempengaruhi pemilihan kata. Semakin luas pandangan penyair, semakin kaya kata-kata, dan semakin berbobot kata-kata yang digunakan  dalam karyanya.
Tentu saja penyair yang berasal dari Jambi akan berbeda dengan penyair yang berasal dari Sumatra Barat, Jawa, begitu seterusnya. Kata dalam puisi sudah mengandung pandangan pengarang. Contohnya adalah penyair yang relegius akan menggunakan kosa kata atau pilihan kata yang berbeda dengan pengarang yang sosialis. Selain itu keberadaan bahasa dalam pemilihan kata sangat penting bagi penyair dan sastrawan, karena hal ini akan menunjukkan tingkat wawasan penyair. Artinya penyair dalam berkarya mencoba menggali, melakukan pengurangan, penambahan makna terhadap kata-kata pilihannya. Sehingga karyanya akan mempunyai bobot yang dihadapan penikmat sastra dan sebagainya.
Untuk menciptakan dan menuangkan jiwa pengarang dalam karya puisi, penulis puisi perlu membangun imaji yang kuat. Imaji adalah kata atau kelompok kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan (Siswanto, 208:118). Imaji dapat dibagi menjadi tiga yaitu; imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji ini akan berpengaruh besar terhadap penikmat sastra. Artinya dengan dibangun imaji yang kuat oleh penulis, pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti yang dialami oleh penulis puisi. Imaji dalam karya puisi berhubungan dengan kata kongkrit. Imaji suara misalnya tampak pada kutipan puisi”Subuh” karya Soconingrat. //Allahuakbar Allahuakbar//suara itu terdengar merdu//menjanjikan harapan dan muara//bagi mereka yang tegerak hati//tuk sujud syukur//. Sedangkan imaji penglihatan (imaji visual) misalnya tampak pada kutipan puisi “Tetesan Air Lebat” karya Soconingrat. //Tik tik tik// perlahan lahan air itu jatuh dari langit//diiringi petir yang seakan ingin membelah bumi//lalu tetesan air itu jatuh begitu kuat//membasahi tubuh anak-anak yang bercanda//di luar rumah// (Himpunan Puisi duapintukita).
Seorang penyair dalam mengupas pilihan kata sebagai ungkapan jiwa dalam bentuk puisi sangat berhubungan dengan kata konkret. Kata konkret adalah kata-kata yang dapat ditangkap dengan indra (Siswanto, 2008:119). Dengan adanya pilihan kata yang konkret akan membangun imaji pembaca. Perhatikan kutipan puisi “Capung” Soconingrat berikut ini. //Melihat capung terbang//tubuhnya elok//menyambut matahari// melihat capung terbang//melesat bagai merpati putih//sesekali menghisap bunga// tiada henti// (Himpunan puisi duapintukita). Pada kutipan puisi tersebut kata konkret ditunjukkan oleh kata //capung//matahari//tubuhnya elok.
Selain penyair membangun kata konkret dalam karyanya, penyair juga menggunakan bahasa figuratif (majas). Majas adalah bahasa berkias yang harus dapat menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Sudjito, 1986:128). Dengan kehadiran bahasa figuratif puisi akan menjadi prismatis. Prismastis adalah memancarkan banyak makna atau kaya makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif dipandang lebih efektif untuk menyampaikan ungkapan jiwa dalam bentuk puisi. Perrine memberikan alasan mengapa penyair menggunakan bahasa figuratif; (1) bahasa figuratif mampu menghasilkan kesenangan imajinatif, (2) bahasa figuratif adalah cara untuk menghasilkan imaji tambahan dalam puisi sehingga yang abstrak jadi konkret dan menjadikan puisi lebih nikmat dibaca, (3) bahasa figuratif dapat menambah intensitas perasaan penyair untuk puisinya dan menyampaikan sikap penyair, (4) bahasa figuratif cara untuk mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu itu menjadi banyak dan luas dengan bahasa yang singkat (Waluyo, 1987:83). Ungkapan jiwa oleh sastrawan dalam bentuk puisi juga menggunakan verifikasi. Verifikasi dalam puisi terdiri atas rima, ritme, dan metrum. Rima diartikan adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Sajak adalah persamaan bunyi pada akhir baris puisi (Siswanto, 2008). Sedangkan ritma dan metrum merupakan  tinggi-rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol jika puisi itu dibacakan.
Maka dari itu ungkapan jiwa sangat dipengaruhi oleh kekuatan emosi. Pembangunan imaji pengarang yang kuat. Bagi Coleridge menyatakan bahwa kualitas ungkapan jiwa ditentukan oleh beberapa aspek, yaitu; daya spontanitas, kekuatan emosi, orisinilitas, daya kontemplasi, kedalaman nilai kehidupan, dan harmoni. Hal ini yang menyebabkan pentingnya peranan sastrawan dalam mengemas ungkapan jiwa. Apa yang ada dalam jiwa pengarang merupakan ungkapan jiwa dan proses kreatif yang mencerminkan kehidupan seoarang sastrawan melalui kata-kata, atau permainan kata yang mempunyai nilai estetika. Dengan ungkapan jiwa inilah pembaca diajak untuk melihat realitas yang diangkatnya secara harfiah. Pengarang yang baik akan mengugkapkan jiwanya dengan kejujuran.

Penulis adalah staf pengajar di SMP-SMA-SMK Pelita Raya Jambi
Alumnus PBS FKIP Universitas Jambi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar