Puisi sebagai Bait Lama yang Mendekam
Begitu jujurnya, sehingga saya menjadi bertanya-tanya kepada siswa ketika mereka mengumpulkan tugas membuat sebait puisi. Seringkali, saya setiap mengajar di bangku SMP selalu memberikan tugas atau pekerjaan rumah untuk menulis sebait puisi.
Ada beberapa hal yang menarik untuk
dibahas dalam dunia puisi, khususnya dikalangan pelajar SMP. Siswa
dibangku SMP adalah tergolong remaja. Remaja hanya mengenal puisi
sebagai bait-bait lama yang mendekam abadi dibuku-buku mata pelajaran
bahasa. Atau kalau tidak puisi hanya dijadikan ungkapan kerinduan
kepada kekasih dalam syair penyanyi dan idola band semata.
Banyak
orang yang tidak dapat membahasakan imajinasi. Padahal setiap orang
mempunyai imajinasi yang sangat kaya, dan beranekaragam tema atau
inspirasi. Mungkin saja imajinasi yang dimilikinya hanya menjadi
mimpi-mimpi kosong yang akan hilang begitu saja.
Mengapa?
Karena imaji yang dimilikinya tidak dituangkan dalam bentuk tulisan.
Pada prakteknya, setiap kali saya mengoreksi puisi-puisi yang ditulis
oleh siswa SMP di sekolah saya mengajar, rata-rata puisi yang
ditulisnya adalah merupakan ungkapan kerinduan kepada kekasih. Setiap
bait puisi yang digoreskannya mengandung bahasa-bahasa cinta dan
sebagian besar, ditulis dalam puisi yang cengeng.
Dalam tulisan ini saya akan meminjam istilah Salman Iskandar, bahwa ‘’ada gium ini laksana sebuah kompor yang memanasi setiap inci permukaan wajah hingga isinya matang dan layak dikonsumsi.’’
Jika
kita menginginkan sesuatu, maka sekuat apa niat dan motivasi kita untuk
mewujudkannya. Menulis puisi melalui syair lagu merupakan cara mudah
bagi siswa-siswi untuk menuangkan ide, dan gagasannya. Tema seputar
kerinduan kepada kekasih, mungkin merupakan hal yang paling mudah untuk
diungkapkan.
Perhatikan
salah satu bait puisi berikut ini; //angin malam mengelus daun
jendela// disaat-saat dirimu tidur// menatapi wajah dalam bingkaian
foto segitiga// yang terpampang di atas meja belajarmu// oh...senyummu
kian memikat hatiku// kasihku..aku rindu padamu.
Puisi-puisi
yang ditulis oleh siswa-siswi SMP ini sangat terpengaruh dengan
syair-syair lagu band masa kini. Group band yang berjamuran hampir
sebagian besar menyanyikan lagu-lagu tentang cinta. Cinta menjadi
masalah utama dalam lagu-lagu yang mereka nyanyikan. Termasuk
didalamnya patah hati. Maka tidak heran jika, banyak siswa yang
menuliskan puisinya mengilhami lagu-lagu band saat ini. Bagi mereka
yang kesulitan untuk berimajinasi, mereka akan meniru syair-syair
lagu-lagu band yang ia idolakan. Lalu apakah salah jika mereka
berimajinasi demikian?
Saya
sering menekankan kepada semua siswa untuk membuat puisi yang jujur dan
orisinil. Baik itu jujur dalam berinpirasi, dan orisinil dari pemikiran
sendiri, terlepas dari kisah nyata dalam hidupnya, khayalan atau
impian-impian, atau mungkin karena kegelisahan dalam hidupnya.
Berikut
kutipan bait puisi; //hari-hari bersamamu dalam suka dan duka// kuingin
candamu warnai hariku// dan kehadiran cinta sambut jiwa baru// meski
kerinduan ini hanya semu. Kalau kita pahami secara seksama dan teliti,
bahwa bait puisi tersebut beraromakan syair-syair lagu band sekarang.
Dalam artian siswa menulis bait puisi mengambil penggambaran imajinasi
dari syair-syair lagu band idolanya.
Mengapa
sebuah kejujuran penting. Karya cipta puisi, bukanlah sekedar syair
kerinduan, melainkan sebuah ungkapan imaji dari seorang penulis yang
jernih. Karenanya, karya puisi dapat diciptakan oleh siapa saja yang
mengenali dan mampu menuangkan ide, gagasan atau imajinasi secara
menarik, indah, dan mempunyai nilai estetis yang tinggi. Dengan
imajinasi yang jujur, ruang ciptanya atau karyanya akan menjelma
menjadi jendela sekaligus cermin bagi banyak orang. Saya percaya, jika
hal ini terlaksana, maka sebait puisi pun akan mudah diterima kalau ia
mampu menjadi cermin.
Sebenarnya
saya mengharapkan, bahwa siswa mampu menulis bait puisi yang bernilai
sastra. Mengapa? Karena puisi yang ‘enak’ adalah puisi yang hidup dan
berjiwa, yang tercipta dari imaji yang terjalin dalam diri seorang
penulis. Dengan demikian, siswa mampu menciptakan ruang baru. Karena
dari ragam sosok diri itulajh dapat ditemukan beragam kisah. Sehingga
bait puisi yang dibuatnya dapat dirasakan denyut imajinya,
mimpi-mimpinya, keluh-kesahnya, hingga aroma atau ciri khasnya dapat
dirasakan oleh setiap penikmat atau pembaca karyanya.
Salah
satu pertanyaan yang pernah saya lontarkan kepada siswa adalah;
“Bagaimana kamu bisa berbincang dengan dunia khayal dan kenyataan?”.
Beberapa siswa menjawab dengan “puisi”. Secara tidak langsung saya
menyimpulkan bahwa setiap siswa suka dengan puisi. Mengapa puisi?
Karena puisi membahasakan imaji. Perlu diketahui bahwa saat ini remaja
hanya mengenal puisi sebagai bait-bait lama yang mendekam abadi
dibuku-buku pelajaran bahasa.
Guna
merangsang siswa agar mau dan mampu menulis puisi dan mempunyai kemauan
untuk membaca puisi serta berapresiasi puisi adalah dengan cara
mengkoleksi puisi atau sajak yang diterbitkan di media massa. Saya
melakukan hal ini, karena pada usia remaja, siswa SMP sangat produktif,
gencar, dan semangat untuk berapresiasi. Dunia imaji mereka masih
segar, seperti aliran embun pagi hari. Yang perlu digaris bawahi adalah
bahwa menciptakan ruang yang baru tidak selalu identik dengan
menerbitkan suatu karya.
Sering
kali saya menekankan kepada siswa bahwa menulis bait puisi tidak selalu
identik dengan menerbitkan suatu karya di media massa. Maksusnya,
menulis tidak selalu identik dengan menerbitkan karya. Kadangkala
sebuah karya yang sudah finish hanya berakhir di hardisk komputer, atau
bahkan hanya sekedar diprint dan disimpan begitu saja. Beberapa
diantaranya bahkan dikembalikan oleh media massa. Namun, publikasi
karya menjadi prioritas kesekian, tetapi yang terpenting adalah
menciptakan sebuah kreativitas dan ruang baru atau menuangkan imajinasi
yang terpendam.
Namun,
dalam menulis sebait puisi ini pun ada beberapa siswa yang gagal
merangkai kata, mengolah diksi dan gagal menempatkan gaya bahasa. Entah
mengapa hal ini terjadi, terlihat dari kutipan berikut; //tiada yang
pernah mengerti// oh..adindaku// nasibku// kan kubuktikan mampu
penuhimu.//
Kutipan
puisi tersebut menjadi kalimat yang dangkal, sehingga tidak ada makna,
atau tidak ada getaran yang menuntunya, yang akhirnya maknanya kabur.
Maka dari itu, untuk menulis sebait puisi pun perlu teknik dan latihan.
Teknik dan latihan bertujuan untuk membiasakan imajinasi berkeliaran
dan tangan dapat meruap sebuah kreativitas yang mengandung banyak
inspirasi. Sehingga sebait puisi yang ditulisnya ‘enak’, yaitu sebait
puisi yang hidup dan berjiwa dan menakjubkan pembaca.***
Bambang Setiawan, SPd
Alumnus
PBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Jambi, saat
ini menjadi Waka Kesiswaan dan Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di
SMP/SMA/SMK Pelita Raya Jambi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar