Menciptakan Pembelajaran Sehat
dan Pendidikan Inovatif
Oleh:
Bambang Setiawan, S.Pd
Banyak orang memandang
pendidikan saat ini semakin merosot keberadaannya, kering, rumit, penuh dengan
aturan-aturan yang tidak dimengerti oleh masyrakat secara umum.
Ada pepatah yang mengatakan “Tak kenal
maka tak sayang”. Pepatah ini juga berlaku dalam dunia pendidikan masa kini.
Pendidikan pada umumnya, memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan
kepribadian dan perkembangan intelektual anak. Dengan berbagai upaya yang
dilakukan, pendidikan senantiasa mengalami pengkajian ulang dan pembaruan untuk
mencari bentuknya yang paling sesuai.
Pendidikan saat ini juga tidak
terlepas dari budaya atau ‘kebudayaan’. Istilah ‘kebudayaan’ diartikan sebagai
bentuk atau kumpulan kebiasaan, sikap, perilaku, tata cara, keyakinan, alam
pikiran, upacara, nilai-nilai, bahasa, alat-alat, dan sebagainya yang dihayati,
dipakai, dilaksanakan oleh sekelompok orang tertentu (Susilo, 2003:225).
Kebudayaan diyakini sebagai metode gampang dalam menciptakan pembelajaran.
Kebudayaan itu membuat manusia menjadi
manusiawi, yaitu memiliki ciri-ciri khas seseorang manusia. Setiap orang
dilahirkan dan tumbuh berkembang dalam kebudayaan tertentu. Dalam interaksi
dengan lingkungan kebudayaan itulah sebagian besar unsur kepribadian seseorang
terbentuk. Dengan demikian, jika pendidikan juga melibatkan budaya dalam
berinteraksi, tentu pendidikan secara inovatif akan terwujud.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan
yang melibatkan semua elemen, baik itu keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Cara berpikir masyarakat atau seseorang ditentukan juga oleh lingkungan.
Lingkungan (dalam hal ini) dapat berarti lingkungan georgrafis, lingkungan
sosial, maupun lingkungan kultural. Maka tidak heran jika dalam suatu intansi
penyelenggara pendidikan itu terdapat bermacam-macam budaya.
Cara berpikir orang yang hidup di
pedesaan berbeda dengan cara berpikir orang yang hidup di kota. Dalam
lingkungan yang kecil, misalnya; keluarga sangat berperan dalam penentuan cara
berpikir seseorang. Pendidikan yang baik tidak terlepas dari pendidikan
keluarga. Dalam keluarga seseorang dididik untuk berkomunikasi, memperoleh
informasi secara terus-menerus dan berulang-ulang, kadang intens karena diberi
tekanan-tekanan, melalui nasihat, teguran, sapaan, sapaan-sapaan halus, dans
sebagainya sehingga informasi itu terekam di dalam pikirannya. Dnegan demikian,
akan ada wujud atau pendidikan yang terstruktur.
Budaya
Sopan Santun dalam Pendidikan
Pendidikan informal di rumah,
komunikasi sosial dalam lingkungan masyarakat di mana seseorang hidup
dibutuhkan sopan-santun. Indonesia terkenal dengan sebutan ‘budaya timurnya’.
Secara tidak langsung dari zaman ke zaman, dan secara turun temurun anak-anak
Indonesia telah diwarisi dan diajarkan hidup ber-etika.
Memang benar bahwa di Indonesia
anak-anak mempunyai keterikatan sosial, dan kurang mendapat kesempatan untuk
mengekspresikan dirinya sejak dini. Dalam pendidikan formal, informal (keluarga
dan masyarakat) sopan santun merupakan nilai yang tinggi. Sopan santun
berkaitan dengan acara seseorang berkomunikasi dan bertingkah laku, dan itu
berarti berkaitan dengan perasaan. Pendidikan yang ideal tentu ada keseimbangan
antara guru dan murid.
Dalam dunia pendidikan sebaiknya
menerapkan rasa hormat menghormati antar warga di sekolah. Patuh pada guru
merupakan suatu nilai yang tinggi. Itu berarti anak tidak boleh membantah.
Hormat pada guru adalah tidak membantah, tidak boleh berbicara yang keras
dengan nada yang tinggi, tidak boleh melawan guru, dan sebagainya. Semua yang
dikatakan guru adalah sesuatu yang baik, yang perlu dipelajari, dan dituruti.
Dalam pendidikan formal, baik Sekolah
Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTsN), Sekolah Menengah Atas/Kejuruan
(SMA/SMK), bahkan perguruan tinggi sekalipun dalam proses pembelajaran
dibutuhkan buku ajar.
Buku
Ajar dan pembelajaran
Bagaimanapun juga buku sangat
diperlukan sebagai bahan untuk mengajar. Banyaknya buku penerbit yang beredar
di pasaran atau di toko-toko buku, membuat masyarakat binggung memilih buku
ajar yang cocok untuk anaknya. Persoalan buku ajar sering kali dibicarakan
orang tua murid saat ajaran baru secara lantang. Persoalan buku ajar merupakan
persoalan lama yang tak ubahnya duri dalam dagingnya pendidikan.
Banyak pandangan tentang buku ajar
yang tidak relevan, dan harganya telalu mahal untuk kalangan masyarkat
menengah. Bahkan dikalangan pendidik pun terasa mengganjal dalam pikiran
tentang mahalnya buku dari penerbit. Maka dari itu untuk menciptkan pendidikan
yang inovatif guru seharusnya mempunyai kreativitas untuk membuat bahan ajar
sendiri (tentu berdasarkan standar isi dan standar kelulusan yang sudah
ditentukan).
Bagaimanakah pembelajaran yang hakiki
saat ini? Ada pepatahj “Buruk Muka Cermin Dibelah”. Kiranya semua orang tahu
tentang pepatah tersebut. Buku ajar yang dibawa ke sekolah-sekolah dari banyak
penerbit, sebenarnya banyak membawa unsur kesamaan bagi semua sekolah. Padahal
pembelajaran yang hakiki saat ini adalah keragaman, saling berbeda, dan
menciptakan sendiri sesuai situasi dan kondisi sekolah sejauh tetap berada pada
koridor yang ditentukan Depdiknas.
Bagaimana dengan implementasi KTSP?
Belajar tuntas merupakan proses pembelajaran yang dilakukan dengan sistematis
dan terstruktur, bertujuan untuk mengadaptasikan pembelajaran pada siswa
kelompok besar (pengajaran klasikal) dan membantu mengatasi perbedaan-perbedaan
pada siswa, dan berguna untuk menciptakan kecepatan (Yamin, 2007:121).
Belajar tuntas bilamana dilakukan
dalam kondisi yang tepat dnegan semua peserta didik mampu belajar dengan baik,
dan memperoleh hasil yang maksimal terhadap seluruh materi yang dipelajari.
Maka dari itu pembelajaran harus dilakukan secara sistematis.
Sebagaimana disadari, KTSP sebagai
kurikulum yang paling lengkap dalam pembelajaran di sekolah, mestinya hanya
materi ajar yang sesuai dan pas serta selaras dengan kondisi lingkungan
setempat, tingkat potensi akademik siswa, tuntutan materi ajar dari orang tua
dan siswa bagi bekal hidup, serta pesan-pesan khusus yang dirumuskan bersama
antar komite sekolah, kepala sekolah, guru dan orang tua siswa tentang ke arah
mana siswa akan dibawa.
Melihat hal yang demikian penulis
berharap kepada seluruh guru yang ada di Jambi khususnya dan umumnya di
Indonesia, untuk dapat menciptakan pendidikan dan pembelajaran yang sehat serta inovatif.
Sehingga tujuan daripada pendidikan akan tercapai secara maksimal. Sangat
disayangkan jika guru kurang inovatif dan kreatif dalam pembelajaran, apalagi
saat ini kurikulum yang digunakan adalah KTSP.
Namun demikian, penulis berharap
adanya kerjasama antara guru dan pemerintah. Maka dari itu demi hari depan
bangsa, agar pembelajaran lebih sehat dan pendidikan lebih inovatif, selayaknya
guru ikut ambil bagian dalam pencerahan dunia pendidikan. Salah satu cara guru
mulai menyusun diktat buku ajar yang sesuai dengan SI (Standar Isi), SKL
(Standar Kelulusan), Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, menyusun silabus
sendiri, menyiapkan RPP dengan baik.
Kalau hal ini dapat tercapai, tentunya
kondisi buruk yang selama ini dialami oleh pendidikan kita saat ini akan cerah
dan berubah, maju dan mandiri. Penulis merasa prihatin jika guru menyuruh
membeli buku tertentu. Akibatnya guru beralun dalam kebijakan yang lacur-lacur
mengalir, cair, dan langgeng dari tahun ke tahun, melanggam alir yang
sepertinya sudah mapan. Dan hal ini jelas membunuh kreativitas guru dan siswa.
Penulis adalah Alumni PBS FKIP Universitas Jambi.
Waka kesiswaan SMP/SMA/SMK Pelita Raya Jambi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar