Cafebahasa hadir sebagai sarana edukasi, pembelajaran, komunikasi serta sebagai media informasi bahasa, sastra, seni, opini-artikel, dan hasil mahakarya (proses kreatif). Kirimkan partisipasi Anda melalui email bbg_cla@yahoo.com

Jumat, 18 November 2011

Opini "Menciptakan Pembelajaran Sehat dan Pendidikan Inovatif"


Menciptakan Pembelajaran Sehat dan Pendidikan Inovatif
Oleh: Bambang Setiawan, S.Pd

Banyak orang memandang pendidikan saat ini semakin merosot keberadaannya, kering, rumit, penuh dengan aturan-aturan yang tidak dimengerti oleh masyrakat secara umum.

Ada pepatah yang mengatakan “Tak kenal maka tak sayang”. Pepatah ini juga berlaku dalam dunia pendidikan masa kini. Pendidikan pada umumnya, memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian dan perkembangan intelektual anak. Dengan berbagai upaya yang dilakukan, pendidikan senantiasa mengalami pengkajian ulang dan pembaruan untuk mencari bentuknya yang paling sesuai.
Pendidikan saat ini juga tidak terlepas dari budaya atau ‘kebudayaan’. Istilah ‘kebudayaan’ diartikan sebagai bentuk atau kumpulan kebiasaan, sikap, perilaku, tata cara, keyakinan, alam pikiran, upacara, nilai-nilai, bahasa, alat-alat, dan sebagainya yang dihayati, dipakai, dilaksanakan oleh sekelompok orang tertentu (Susilo, 2003:225). Kebudayaan diyakini sebagai metode gampang dalam menciptakan pembelajaran.
Kebudayaan itu membuat manusia menjadi manusiawi, yaitu memiliki ciri-ciri khas seseorang manusia. Setiap orang dilahirkan dan tumbuh berkembang dalam kebudayaan tertentu. Dalam interaksi dengan lingkungan kebudayaan itulah sebagian besar unsur kepribadian seseorang terbentuk. Dengan demikian, jika pendidikan juga melibatkan budaya dalam berinteraksi, tentu pendidikan secara inovatif akan terwujud.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang melibatkan semua elemen, baik itu keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Cara berpikir masyarakat atau seseorang ditentukan juga oleh lingkungan. Lingkungan (dalam hal ini) dapat berarti lingkungan georgrafis, lingkungan sosial, maupun lingkungan kultural. Maka tidak heran jika dalam suatu intansi penyelenggara pendidikan itu terdapat bermacam-macam budaya.
Cara berpikir orang yang hidup di pedesaan berbeda dengan cara berpikir orang yang hidup di kota. Dalam lingkungan yang kecil, misalnya; keluarga sangat berperan dalam penentuan cara berpikir seseorang. Pendidikan yang baik tidak terlepas dari pendidikan keluarga. Dalam keluarga seseorang dididik untuk berkomunikasi, memperoleh informasi secara terus-menerus dan berulang-ulang, kadang intens karena diberi tekanan-tekanan, melalui nasihat, teguran, sapaan, sapaan-sapaan halus, dans sebagainya sehingga informasi itu terekam di dalam pikirannya. Dnegan demikian, akan ada wujud atau pendidikan yang terstruktur.

Budaya Sopan Santun dalam Pendidikan
Pendidikan informal di rumah, komunikasi sosial dalam lingkungan masyarakat di mana seseorang hidup dibutuhkan sopan-santun. Indonesia terkenal dengan sebutan ‘budaya timurnya’. Secara tidak langsung dari zaman ke zaman, dan secara turun temurun anak-anak Indonesia telah diwarisi dan diajarkan hidup ber-etika.
Memang benar bahwa di Indonesia anak-anak mempunyai keterikatan sosial, dan kurang mendapat kesempatan untuk mengekspresikan dirinya sejak dini. Dalam pendidikan formal, informal (keluarga dan masyarakat) sopan santun merupakan nilai yang tinggi. Sopan santun berkaitan dengan acara seseorang berkomunikasi dan bertingkah laku, dan itu berarti berkaitan dengan perasaan. Pendidikan yang ideal tentu ada keseimbangan antara guru dan murid.
Dalam dunia pendidikan sebaiknya menerapkan rasa hormat menghormati antar warga di sekolah. Patuh pada guru merupakan suatu nilai yang tinggi. Itu berarti anak tidak boleh membantah. Hormat pada guru adalah tidak membantah, tidak boleh berbicara yang keras dengan nada yang tinggi, tidak boleh melawan guru, dan sebagainya. Semua yang dikatakan guru adalah sesuatu yang baik, yang perlu dipelajari, dan dituruti.
Dalam pendidikan formal, baik Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTsN), Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/SMK), bahkan perguruan tinggi sekalipun dalam proses pembelajaran dibutuhkan buku ajar.

Buku Ajar dan pembelajaran
Bagaimanapun juga buku sangat diperlukan sebagai bahan untuk mengajar. Banyaknya buku penerbit yang beredar di pasaran atau di toko-toko buku, membuat masyarakat binggung memilih buku ajar yang cocok untuk anaknya. Persoalan buku ajar sering kali dibicarakan orang tua murid saat ajaran baru secara lantang. Persoalan buku ajar merupakan persoalan lama yang tak ubahnya duri dalam dagingnya pendidikan.
Banyak pandangan tentang buku ajar yang tidak relevan, dan harganya telalu mahal untuk kalangan masyarkat menengah. Bahkan dikalangan pendidik pun terasa mengganjal dalam pikiran tentang mahalnya buku dari penerbit. Maka dari itu untuk menciptkan pendidikan yang inovatif guru seharusnya mempunyai kreativitas untuk membuat bahan ajar sendiri (tentu berdasarkan standar isi dan standar kelulusan yang sudah ditentukan).
Bagaimanakah pembelajaran yang hakiki saat ini? Ada pepatahj “Buruk Muka Cermin Dibelah”. Kiranya semua orang tahu tentang pepatah tersebut. Buku ajar yang dibawa ke sekolah-sekolah dari banyak penerbit, sebenarnya banyak membawa unsur kesamaan bagi semua sekolah. Padahal pembelajaran yang hakiki saat ini adalah keragaman, saling berbeda, dan menciptakan sendiri sesuai situasi dan kondisi sekolah sejauh tetap berada pada koridor yang ditentukan Depdiknas.
Bagaimana dengan implementasi KTSP? Belajar tuntas merupakan proses pembelajaran yang dilakukan dengan sistematis dan terstruktur, bertujuan untuk mengadaptasikan pembelajaran pada siswa kelompok besar (pengajaran klasikal) dan membantu mengatasi perbedaan-perbedaan pada siswa, dan berguna untuk menciptakan kecepatan (Yamin, 2007:121).
Belajar tuntas bilamana dilakukan dalam kondisi yang tepat dnegan semua peserta didik mampu belajar dengan baik, dan memperoleh hasil yang maksimal terhadap seluruh materi yang dipelajari. Maka dari itu pembelajaran harus dilakukan secara sistematis.
Sebagaimana disadari, KTSP sebagai kurikulum yang paling lengkap dalam pembelajaran di sekolah, mestinya hanya materi ajar yang sesuai dan pas serta selaras dengan kondisi lingkungan setempat, tingkat potensi akademik siswa, tuntutan materi ajar dari orang tua dan siswa bagi bekal hidup, serta pesan-pesan khusus yang dirumuskan bersama antar komite sekolah, kepala sekolah, guru dan orang tua siswa tentang ke arah mana siswa akan dibawa.
Melihat hal yang demikian penulis berharap kepada seluruh guru yang ada di Jambi khususnya dan umumnya di Indonesia, untuk dapat menciptakan pendidikan dan  pembelajaran yang sehat serta inovatif. Sehingga tujuan daripada pendidikan akan tercapai secara maksimal. Sangat disayangkan jika guru kurang inovatif dan kreatif dalam pembelajaran, apalagi saat ini kurikulum yang digunakan adalah KTSP.
Namun demikian, penulis berharap adanya kerjasama antara guru dan pemerintah. Maka dari itu demi hari depan bangsa, agar pembelajaran lebih sehat dan pendidikan lebih inovatif, selayaknya guru ikut ambil bagian dalam pencerahan dunia pendidikan. Salah satu cara guru mulai menyusun diktat buku ajar yang sesuai dengan SI (Standar Isi), SKL (Standar Kelulusan), Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, menyusun silabus sendiri, menyiapkan RPP dengan baik.
Kalau hal ini dapat tercapai, tentunya kondisi buruk yang selama ini dialami oleh pendidikan kita saat ini akan cerah dan berubah, maju dan mandiri. Penulis merasa prihatin jika guru menyuruh membeli buku tertentu. Akibatnya guru beralun dalam kebijakan yang lacur-lacur mengalir, cair, dan langgeng dari tahun ke tahun, melanggam alir yang sepertinya sudah mapan. Dan hal ini jelas membunuh kreativitas guru dan siswa.


Penulis adalah Alumni PBS FKIP Universitas Jambi. Waka kesiswaan SMP/SMA/SMK Pelita Raya Jambi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar