Cafebahasa hadir sebagai sarana edukasi, pembelajaran, komunikasi serta sebagai media informasi bahasa, sastra, seni, opini-artikel, dan hasil mahakarya (proses kreatif). Kirimkan partisipasi Anda melalui email bbg_cla@yahoo.com

Jumat, 18 November 2011

Artikel "Rendahnya Motivasi Guru dalam Apresiasi Puisi"


Rendahnya Motivasi Guru dalam

Apresiasi Puisi

Oleh: Bambang Setiawan


Dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia selalu ditemui materi mengapresiasi puisi. Baik di Sekolah Dasar, Menengah, ataupun Sekolah Tingkat Atas. Pengajaran Apresiasi puisi sangat penting, salah satunya sebagai barometer siswa, yaitu sejauhmanakah siswa memiliki cara yang tepat untuk mengapresiasi sastra khususnya puisi. Ternyata masih banyak guru bahasa Indonesia di sekolah belum memaksimalkan siswa untuk mengapresiasi puisi. Menjadi catatan penting, bahwa pengajaran apresiasi puisi bukanlah sekedar memindahkan pengetahuan guru kepada siswanya. Namun disini guru juga dituntut untuk kreatif, sehingga siswa menemukan pisau sebagai alat untuk mengapresiasi puisi dengan  kepekaan, bagi dari segi emosional, imajinatif, maupun estetis.
Sudaryono (2005) dalam “Ringkasan Bahan Ajar Apresiasi Puisi” memberikan gambaran yang jelas bagaimana membedah karya sastra, dalam hal ini apresiasi puisi-dengan pisau bedah yang cukup mendukung. Salah satu hal yang selama ini belum dipahami pengajar sastra di sekolah adalah penerapan pendekatan. Apresiasi puisi menurut Effendi (dalam Sudaryono, 2005) adalah kegiatan menggauli puisi dengan sungguh-sungguh, sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan menumbuhkan kepekaan pikiran yang baik terhadap puisi.
Tidak dapat dipungkiri jika lembaga pendidikan dalam hal ini sekolah masih mengeluh dengan tenaga pengajar bahasa Indonesia, yang mana pengajar bahasa Indonesia belum secara maksimal memberikan dorongan pada proses kreatif siswa. Wajar jika siswa yang mempunyai proses kreatif tinggi mengeluh tidak dapat menyalurkan bakatnya dalam dunia sastra, khususnya puisi. "Maaf" jika saya mengatakan guru sekarang kurang kreatif. Tetapi ini adalah sebuah kenyataan, tidak hanya guru, dosen pun demikian. Kalaupun kita mau jujur dan mengakui 'dengan lapang dada' tenaga pengajar yang bermutu sangat kurang sehingga pengajaran sastra pada umumnya, baik di SMP atau SMA kurang memadai.
Namun demikian 'jangan beranggapan' bahwa materi sastra hanya sebagai materi sambilan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia saja. Memang materi sastra porsinya lebih sedikit dibandingkan dengan materi kebahasaannya. Guru maupun siswa kadang menempuh jalan singkat dalam materi apresiasi puisi, yaitu dengan cara mengandalkan  pengetahuan hafalan tentang judul, nama pengarang dan ikhtisar isi buku. Jika hal ini masih diterapkan pada siswa, tentu "apresiasi siswa dalam bersastra rendah".
Boen (dalam Wilson Nadeak, 85:43) mengatakan dengan apresiasi puisi, akan membawa siswa atau anak didik keperkenalan-perkenalan dengan pribadi-pribadi dan pemikiran-pemikiran atau filosofi-filosofi besar dunia, sehingga pemikiran siswa akan berkembang. Dengan demikian, jika guru mampu menempatkan dirinya sebagai 'contoh' apresiator kepada anak didiknya, tentu kepekaan terhadap nilai-nilai akan tercapai. Salah satunya adalah dengan kegiatan 'menggauli karya sastra' khususnya puisi dengan sungguh-sungguh akan meningkatkan kepekaan dan pikiran kritis serta kepekaan yang baik terhadap citra sastra.
Perlu diketahui bahwa apresiasi ini harus mempunyai manfaat terhadap perkembangan siswa, minimal siswa mampu menghargai karya cipta seorang penyair. Jangan sekedar 'mengapresiasi puisi' dijadikan wadah untuk menyenangkan perasaan saja, ataupun untuk menghibur hati yang gundah. Seyogyanya dijadikan bahan pertimbangan dengan mata ajar yang lain, yaitu bahwa dengan apresiasi sastra 'khususnya puisi' siswa dapat terangasang secara mandiri. Kalau guru (Bahasa dan Sastra Indonesia) mempunyai kepekaan yang tinggi, tentu anak didiknya diajak aktif, bukan pasif. Itulah sebabnya pengajar apresiasi puisi sebaiknya mengajarkan hal ini sebagai proses pengembangan individu. Melalui medium inilah siswa termasuk gurunya juga akan mendapatkan kenikmatan yang sungguh dan estetis.
Kalau dalam kurikulum KBK (2004) siswa dituntut mempunyai kompetensi, yaitu paradigma pendidikan mencakup; pendagogi, dan penilaian, menekankan pada standar atau hasil (Wilson, 2001). Dimana hasil pembelajaran peserta didik yang berupa kemampuan kognitif dan psikomotorik ditentukan oleh kondisi afektif peserta didik. Kemampuan kognitif adalah kemampuan berpikir, secara hierarkis terdiri dari pengetahuan, pemahaman , aplikasi, analisis, sintetis dan evaluasi. Tetapi dalam pembelajaran sastra “khususnya apresiasi puisi” adalah menggunakan pendekatan apresiatif. Dengan demikian, siswa akan mencapai prestasi dalam apresiasi yang optimal.
Puisi adalah ide kreatif yang dituangkan penyair dengan medium bahasa. Karena puisi merupakan karya sastra, yang artinya sastra ada untuk dibaca, dinikmati, dan dipahami, serta selanjutnya dimanfaatkan, salah satunya adalah untuk mengembangkan wawasan kehidupan. Untuk itu guru Bahasa dan Sastra Indonesia dituntut untuk dapat bersifat apresiatif, karena pembelajaran sastra ‘khususnya puisi’ merupakan bentuk seni yang dapat diapresiasi.
Memang selama ini ada anggapan bahwa ‘guru bahasa Indonesia’ secara teknis, umumnya tidak otomatis mampu menjadi guru sastra. Namun ini bukan tuntutan ‘atau harga mati’ bagi guru bahasa dan sastra Indonesia. Kalau pun ini menjadi ‘harga mati’ alias ‘harga paten’ tentu saja sedikit sekali yang memenuhi kualifikasi sebagai guru Bahasa dan Sastra di dunia pendidikan ini. Wajar jika motivasi guru dalam apresiasi ‘puisi’ rendah, minim. Tetapi secara tidak langsung, sebenarnya kompetensi ini diperlukan guru. Bukan berarti untuk mengajar sastra harus punya bakat. Minimal guru harus mempunyai keberanian dan mampu membacakan puisi di depan siswa. Kadang pun ditemui guru bahasa dan sastra Indonesia ‘malu’ alias ‘mlinder’ untuk membacakan puisi di depan anak didiknya. Secara jujur ‘saya berani katakan’ akibatnya pengajaran sastra yang bertumpu pada apresiasi sastra,  khususnya apresiasi puisi, akan cenderung bersifat teoritis, dan mungkin kegiatan ini akan dijadikan kegiatan menghafal.
Dengan kebebasan berapresiasi, siswa akan menemukan kebebasan untuk menangkap, memahami dan mengekspresikan nilai-nilai keindahan karya sastra. Maka dari itu guru harus dapat menjadi apresiator yang kompeten, dan dapat  menjadi ‘jembatan’ untuk meningkatkan apresiasi siswa. Tidak ada salahnya jika tulisan ini penulis tutup dengan pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Pepatah ini dapat berlaku juga bagi guru bahasa Indonesia khususnya dalam materi pengajaran apresiasi sastra ‘puisi’. Sebagai unsur penting dalam penyampaian makna puisi, guru harus menyiapkan dan melengkapi diri dengan puisi yang akan diajarkan dan akan diapresiasi. Sudah saatnya guru Bahasa Indonesia sekarang mampu menjadi apresiator. Dimana apresiator yang sudah mantap adalah guru yang peka jiwanya dan senantiasa memelihara kepekaan jiwanya. Menjadi catatan penting, bahwa dengan apresiasi siswa akan dapat memberikan penilaian, baik secara subyektif maupun objektif terhadap nilai-nilai artistik yang terdapat didalam karya sastra yang diapresiasinya.
Dengan demikian harapan untuk meningkatkan apresiasi siswa akan tercapai. Salah satunya adalah siswa akan dapat memberikan harga terhadap suatu objek (puisi), dan dapat memahami nilai serta mengetahui kelebihan dan kekurangan bentuk kreatif penyair. Senada dengan pendapat Sudaryono (2005) bahwa, melalui apresiasi puisi siswa akan dapat mengetahui, merasakan atau menikmati keindahan puisi.

*dari berbagai sumber

Penulis adalah staf pengajar di SMP Pelita Raya Kota Jambi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar