Rendahnya Motivasi Guru dalam
Apresiasi Puisi
Oleh: Bambang Setiawan
Dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
selalu ditemui materi mengapresiasi puisi. Baik di Sekolah Dasar, Menengah,
ataupun Sekolah Tingkat Atas. Pengajaran Apresiasi puisi sangat penting, salah
satunya sebagai barometer siswa, yaitu sejauhmanakah siswa memiliki cara yang
tepat untuk mengapresiasi sastra khususnya puisi. Ternyata masih banyak guru
bahasa Indonesia di sekolah belum memaksimalkan siswa untuk mengapresiasi
puisi. Menjadi catatan penting, bahwa pengajaran apresiasi puisi bukanlah
sekedar memindahkan pengetahuan guru kepada siswanya. Namun disini guru juga
dituntut untuk kreatif, sehingga siswa menemukan pisau sebagai alat untuk
mengapresiasi puisi dengan kepekaan, bagi
dari segi emosional, imajinatif, maupun estetis.
Sudaryono (2005) dalam “Ringkasan Bahan Ajar Apresiasi
Puisi” memberikan gambaran yang jelas bagaimana membedah karya sastra,
dalam hal ini apresiasi puisi-dengan pisau bedah yang cukup mendukung. Salah satu
hal yang selama ini belum dipahami pengajar sastra di sekolah adalah penerapan
pendekatan. Apresiasi puisi menurut Effendi (dalam Sudaryono, 2005) adalah
kegiatan menggauli puisi dengan sungguh-sungguh, sehingga tumbuh pengertian,
penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan menumbuhkan kepekaan pikiran yang
baik terhadap puisi.
Tidak dapat dipungkiri jika lembaga pendidikan
dalam hal ini sekolah masih mengeluh dengan tenaga pengajar bahasa Indonesia,
yang mana pengajar bahasa Indonesia belum secara maksimal memberikan dorongan
pada proses kreatif siswa. Wajar jika siswa yang mempunyai proses kreatif
tinggi mengeluh tidak dapat menyalurkan bakatnya dalam dunia sastra, khususnya
puisi. "Maaf" jika saya mengatakan guru sekarang kurang kreatif. Tetapi
ini adalah sebuah kenyataan, tidak hanya guru, dosen pun demikian. Kalaupun
kita mau jujur dan mengakui 'dengan lapang dada' tenaga pengajar yang bermutu
sangat kurang sehingga pengajaran sastra pada umumnya, baik di SMP atau SMA
kurang memadai.
Namun demikian 'jangan beranggapan' bahwa materi
sastra hanya sebagai materi sambilan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia
saja. Memang materi sastra porsinya lebih sedikit dibandingkan dengan materi
kebahasaannya. Guru maupun siswa kadang menempuh jalan singkat dalam materi
apresiasi puisi, yaitu dengan cara mengandalkan
pengetahuan hafalan tentang judul, nama pengarang dan ikhtisar isi buku.
Jika hal ini masih diterapkan pada siswa, tentu "apresiasi siswa dalam
bersastra rendah".
Boen (dalam Wilson Nadeak, 85:43) mengatakan
dengan apresiasi puisi, akan membawa siswa atau anak didik
keperkenalan-perkenalan dengan pribadi-pribadi dan pemikiran-pemikiran atau
filosofi-filosofi besar dunia, sehingga pemikiran siswa akan berkembang. Dengan
demikian, jika guru mampu menempatkan dirinya sebagai 'contoh' apresiator
kepada anak didiknya, tentu kepekaan terhadap nilai-nilai akan tercapai. Salah
satunya adalah dengan kegiatan 'menggauli karya sastra' khususnya puisi dengan
sungguh-sungguh akan meningkatkan kepekaan dan pikiran kritis serta kepekaan
yang baik terhadap citra sastra.
Perlu diketahui
bahwa apresiasi ini harus mempunyai manfaat terhadap perkembangan siswa,
minimal siswa mampu menghargai karya cipta seorang penyair. Jangan sekedar
'mengapresiasi puisi' dijadikan wadah untuk menyenangkan perasaan saja, ataupun
untuk menghibur hati yang gundah. Seyogyanya dijadikan bahan pertimbangan
dengan mata ajar yang lain, yaitu bahwa dengan apresiasi sastra 'khususnya
puisi' siswa dapat terangasang secara mandiri. Kalau guru (Bahasa dan Sastra
Indonesia) mempunyai kepekaan yang tinggi, tentu anak didiknya diajak aktif,
bukan pasif. Itulah sebabnya pengajar apresiasi puisi sebaiknya mengajarkan hal
ini sebagai proses pengembangan individu. Melalui medium inilah siswa termasuk
gurunya juga akan mendapatkan kenikmatan yang sungguh dan estetis.
Kalau dalam
kurikulum KBK (2004) siswa dituntut mempunyai kompetensi, yaitu paradigma
pendidikan mencakup; pendagogi, dan penilaian, menekankan pada standar atau
hasil (Wilson, 2001). Dimana hasil pembelajaran peserta didik yang berupa
kemampuan kognitif dan psikomotorik ditentukan oleh kondisi afektif peserta
didik. Kemampuan kognitif adalah kemampuan berpikir, secara hierarkis terdiri
dari pengetahuan, pemahaman , aplikasi, analisis, sintetis dan evaluasi. Tetapi
dalam pembelajaran sastra “khususnya apresiasi puisi” adalah menggunakan
pendekatan apresiatif. Dengan demikian, siswa akan mencapai prestasi dalam
apresiasi yang optimal.
Puisi adalah ide kreatif yang dituangkan penyair
dengan medium bahasa. Karena puisi merupakan karya sastra, yang artinya sastra
ada untuk dibaca, dinikmati, dan dipahami, serta selanjutnya dimanfaatkan,
salah satunya adalah untuk mengembangkan wawasan kehidupan. Untuk itu guru
Bahasa dan Sastra Indonesia dituntut untuk dapat bersifat apresiatif, karena
pembelajaran sastra ‘khususnya puisi’ merupakan bentuk seni yang dapat
diapresiasi.
Memang selama ini ada anggapan bahwa ‘guru bahasa
Indonesia’ secara teknis, umumnya tidak otomatis mampu menjadi guru sastra.
Namun ini bukan tuntutan ‘atau harga mati’ bagi guru bahasa dan sastra
Indonesia. Kalau pun ini menjadi ‘harga mati’ alias ‘harga paten’ tentu
saja sedikit sekali yang memenuhi kualifikasi sebagai guru Bahasa dan Sastra di
dunia pendidikan ini. Wajar jika motivasi guru dalam apresiasi ‘puisi’ rendah,
minim. Tetapi secara tidak langsung, sebenarnya kompetensi ini diperlukan guru.
Bukan berarti untuk mengajar sastra harus punya bakat. Minimal guru harus
mempunyai keberanian dan mampu membacakan puisi di depan siswa. Kadang pun
ditemui guru bahasa dan sastra Indonesia ‘malu’ alias ‘mlinder’ untuk
membacakan puisi di depan anak didiknya. Secara jujur ‘saya berani katakan’
akibatnya pengajaran sastra yang bertumpu pada apresiasi sastra, khususnya apresiasi puisi, akan cenderung bersifat
teoritis, dan mungkin kegiatan ini akan dijadikan kegiatan menghafal.
Dengan kebebasan berapresiasi, siswa akan
menemukan kebebasan untuk menangkap, memahami dan mengekspresikan nilai-nilai
keindahan karya sastra. Maka dari itu guru harus dapat menjadi apresiator yang
kompeten, dan dapat menjadi ‘jembatan’
untuk meningkatkan apresiasi siswa. Tidak ada salahnya jika tulisan ini penulis
tutup dengan pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Pepatah ini
dapat berlaku juga bagi guru bahasa Indonesia khususnya dalam materi pengajaran
apresiasi sastra ‘puisi’. Sebagai unsur penting dalam penyampaian makna puisi,
guru harus menyiapkan dan melengkapi diri dengan puisi yang akan diajarkan dan
akan diapresiasi. Sudah saatnya guru Bahasa Indonesia sekarang mampu menjadi
apresiator. Dimana apresiator yang sudah mantap adalah guru yang peka jiwanya
dan senantiasa memelihara kepekaan jiwanya. Menjadi catatan penting, bahwa
dengan apresiasi siswa akan dapat memberikan penilaian, baik secara subyektif maupun
objektif terhadap nilai-nilai artistik yang terdapat didalam karya sastra yang
diapresiasinya.
Dengan demikian harapan untuk meningkatkan
apresiasi siswa akan tercapai. Salah satunya adalah siswa akan dapat memberikan
harga terhadap suatu objek (puisi), dan dapat memahami nilai serta mengetahui
kelebihan dan kekurangan bentuk kreatif penyair. Senada dengan pendapat
Sudaryono (2005) bahwa, melalui apresiasi puisi siswa akan dapat mengetahui,
merasakan atau menikmati keindahan puisi.
*dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar