PENDIDIKAN
BAGI KELUARGA KURANG MAMPU
Oleh:
Bambang Setiyawan, S.Pd
Sebentar lagi dunia
pendidikan memasuki Tahun Ajaran Baru 2008/2009. Tentu saja semua sekolah
bersaing promosi untuk mencari siswa baru. Namun bagaimana dengan keluarga yang
tidak mampu? Semenjak kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak) tanggal 24 Mei 2008
yang lalu, ternyata berdampak pada dunia pendidikan di Indonesia.
Pendidikan saat ini
sejatinya kurang mendapat perhatian. Dalam artian pendidikan kita semakin
tergusur ke dalam persoalan pinggiran; padahal pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta
didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya
di masa yang akan datang. Lalu pendidikan yang bagaimana yang layak dan pantas
(atau paling tepat) bagi anak-anak dari keluarga yang kurang mampu?
Lebih dari 1/3 anak bangsa Indonesia tidak
dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Belum lagi yang drop-out atau putus sekolah di tengah
jalan. Hal ini seharusnya menjadi pemikiran utama pemerintah, untuk memajukan
pendidikan. Kenaikan BBM sangat berpengaruh terhadap dunia pendidikan terutama
bagi keluarga miskin atau kurang mampu. Walaupun pemerintah memberikan bantuan
dana, atau BLT (Bantuan Langsung Tunai) bagi masyarakat miskin, sepertinya
belum cukup untuk mengentaskan kemiskinan. Mengapa? Mengentaskan kemiskinan dapat
ditempuh dengan jalur pendidikan. Bagaimanapun juga masyarakat berhak
mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu.
“Sungai mengalir tanpa henti dan setiap saat
berubah”, pepatah ini mempunyai arti yang penting dalam dunia pendidikan.
Pendidikan setiap saat akan berubah. Pendidikan atau sekolah apapun namanya
harus mempunyai identitas diri. Jika masyarakat saat ini tidak mendapatkan
pendidikan yang layak, khususnya masyarakat yang kurang mampu, tidak mampu, dan
masyarakat miskin tentu masa depan mereka dalam ambang kebodohan. Mengapa?
Kehidupan anak yang miskin kelak sungguh
berat. Persaingan dalam dunia kerja saat ini juga sungguh berat. Instansi
apapun saat ini membutuhkan lulusan yang bermutu, membutuhkan tenaga kerja yang
profesional, layak jual dan mampu bersaing. Tidak dapat dipugkiri jika saat
ini, hanya sedikit yang mampu melanjutkan sekolah. Dan hanya beberapa anak saja
yang mendapat keberuntungan langka, entah
dari mana, dapat melanjutkan sekolah kejenjang lebih tinggi. Mayoritas dari
murid-murid hanya dapat menyelesaikan Pendidikan Dasar.
Melihat hal yang demikian tentunya pemerintah
harus segera membuat terobosan-terobosan baru untuk mewujudkan pendidikan yang
murah, dan pendidikan yang bermutu. Kendati pemerintah telah memberlakukan
pendidikan 9 tahun, kenyataannya masih banyak anak-anak yang putus sekolah.
Lalu bagaimana dengan anak-anak malang?
Sebagai masyarakat yang cinta pendidikan merasa kasihan jika melihat anak-anak usia
sekolah, menjajakan dirinya untuk mencari pekerjaan yang tidak layak. Mereka mengamen di jalan-jalan, yang justru
menggangu pengguna lalu lintas, bahkan anak-anak yang putus sekolah melakukan
tindak kriminalitas, narkoba. Untuk mayoritas anak-anak malang inilah pemeritah
harus memberikan bekal. Maksudnya pemerintah harus memberikan bekal terhadap
anak-anak yang tamat SD 6 tahun ataupun wajib belajar 9 tahun, mempunyai modal
dan bekal.
Sudah saatnya dunia pendidikan baik formal
atau nonformal, baik negeri ataupun swasta memberikan modal dan bekal kepada
anak yang tidak mampu melanjutkan sekolah, agar kelak belajar sendiri seumur
hidup. Baik itu lewat jalur formal ataupun informal.
Kehidupan kita saat
ini sangat kompleks. Anak-anak bangsa harus berlajar untuk mempersiapkan diri
dalam persaingan, terutama di era globalisasi dan teknologi. Maka sangat
penting sekali jika anak-anak bangsa dibekali dengan pendidikan (keterampilan),
walaupun itu hanya tamatan SD. Yang paling penting anak dibekali bagaimana
kelak “belajar sendiri seumur hidup”.
Saya kira masyarakat
Indonesia kenal dengan sosok Pak Adam Malik dan BJ. Habibie. Suri-teladan ideal
kita bukan Prof. Dr.Ing.Habibie yang dapat gemilang melewati sekolah formal. Pak
Adam Malik dulunya hanya tamatan Sekolah Dasar (SD), tetapi dengan belajar
sendiri dapat menjadi Ketua PBB dan Wakil Presiden RI. Tentunya mereka
orang-orang yang langka, tetapi tetap menjadi sumber inspirasi. Maka dari itu,
anak miskin yang kelak akan menjumpai banyak persoalan harus belajar membuat
pilihan-pilihan agar tidak terhanyut dalam banjir lumpur permasalahan hidup.
Bagaimanapun juga
anak harus tetap belajar. Di era yang serba kompleks anak akan menghadapi
persoalan yang kompleks. Anak harus belajar bahwa meski kehidupan dan persoalan hidup itu kompleks dan tidak
gampang dan bahkan ruwet. Benarkah pendidikan saat ini mahal?
Setiap Tahun Ajaran
Baru, dianggap sebagai ‘keremangan’. Orang tua siswa harus mengeluarkan biaya
yang tidak sedikit. Pada tulisan ini penulis ingin mengajak memahami padangan
tentang Tahun Ajaran Baru bagi Siswa Baru masuk sekolah. Orang tua mana sih yang tidak memilih sekolah bermutu?
Pada Tahun Ajaran
Baru semua sekolah tentunya mempromosikan sekolahnya dengan gencar untuk
merebut pangsa pasar. Visi dan misi menjadi modal untuk mencari simpati pada
siswa dan segenap orang tua. Untuk memperoleh atau mendapatkan siswa khususnya
sekolah swasta harus getol untuk promosi. Saat sekarang ini dapat dipastikan
setiap sekolah telah menetapkan visi dan misi sekolah, yang biasanya ditulis
besar-besar dan dipampang di berbagai sudut di kawasan sekolah. Kondisi positif
ini merupakan konsekuensi logis munculnya paradigma baru pendidikan di negeri
kita, di mana pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan berdasar standar
pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah, atau MBS.
Masyarakat kadang
memandang keliru tentang adanya pungutan atau biaya, yang mungkin dirasa
terlalu besar, untuk ukuran masyarakat yang kurang mampu. Visi dan misi sekolah
merupakan impian yang menjadi harapan masyarakat dan warga sekolah. Dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) mengenai alokasi dana
pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD belum dapat terrealisir. Maka
sekolah, lebih-lebih (swasta) melakukan pungutan kepada orang tua siswa dengan
acuan pasal 46 ayat (1) UUSPN yang menyatakan bahwa “Pendanaan pendidikan
menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah daerah dan masyarakat”.
Benarkah
pungutan-pungutan saat memasuki Tahun Ajaran Baru itu mahal? Ada kecenderungan
pungutan-pungutan di sekolah dari tahun ke tahun terus meningkat dan
memberatkan beban ekonomi masyarakat. Melihat kondisi yang demikian seharusnya
pemerintah berkewajiban untuk mengatur pelaksanaan pungutan sekolah pada saat
penerimaan siswa baru. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat yang kurang
mampu, tidak mampu, dan miskin dapat memperoleh pendidikan yang bermutu.
Setiap Tahun Ajaran
Baru, masyarakat atau oang tua murid akan merasakan “keremangan”. Wajar saja
jika masyarakat mempunyai pendapat dan praduga dengan pungutan atau biaya masuk
sekolah, terutama praduga besarnya uang yang dibutuhkan di awal tahun ajaran
baru.
Perasaan ‘remang’
atau nuansa ‘remang’ dalam tulisan ini adalah tidak luput dari kondisi bangsa
Indonesia yang terbebani dengan naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Persiapan yang mestinya untuk persiapan Tahun Ajaran Baru bagi anak-anak,
terserap untuk kebutuhan yang lain, terutama masyarakat yang kurang mampu,
tidak mampu, dan miskin. Tiga hal kebutuhan dasar, seragam sekolah, uang pendaftaraan,
dan sumbangan pendidikan harus dipenuhi oleh orang tua murid.
Dalam pada itu,
marilah kita sama-sama mewujudkan pendidikan yang bermutu. Mengapa? Semua
orangtua mengharapkan agar putra-putrinya mendapatkan pendidikan yang bermutu. Termasuk
di dalammnya keluarga yang tidak mampu, keluarga miskin mengharapkan pendidikan
yang bermutu. Sehingga ketika putra-putrinya diterima menjadi siswa baru di
suatu sekolah, apapun yang ditetapkan sekolah tentang kewajiban keuangan akan
dipenuhi walaupun dengan berutang atau menjual sisa harta yang dimilikinya.
* Penulis adalah Alumnus PBS Prodi Bahasa dan Sastra
Indonesia FKIP Universitas Jambi. Waka Kesiswaan SMP/SMA/SMK Pelita Raya Jambi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar