Cafebahasa hadir sebagai sarana edukasi, pembelajaran, komunikasi serta sebagai media informasi bahasa, sastra, seni, opini-artikel, dan hasil mahakarya (proses kreatif). Kirimkan partisipasi Anda melalui email bbg_cla@yahoo.com

Jumat, 18 November 2011

Esai Pendidikan "PENDIDIKAN BAGI KELUARGA KURANG MAMPU"


PENDIDIKAN BAGI KELUARGA KURANG MAMPU
Oleh: Bambang Setiyawan, S.Pd

Sebentar lagi dunia pendidikan memasuki Tahun Ajaran Baru 2008/2009. Tentu saja semua sekolah bersaing promosi untuk mencari siswa baru. Namun bagaimana dengan keluarga yang tidak mampu? Semenjak kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak) tanggal 24 Mei 2008 yang lalu, ternyata berdampak pada dunia pendidikan di Indonesia.
Pendidikan saat ini sejatinya kurang mendapat perhatian. Dalam artian pendidikan kita semakin tergusur ke dalam persoalan pinggiran; padahal pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Lalu pendidikan yang bagaimana yang layak dan pantas (atau paling tepat) bagi anak-anak dari keluarga yang kurang mampu?
Lebih dari 1/3 anak bangsa Indonesia tidak dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Belum lagi yang drop-out atau putus sekolah di tengah jalan. Hal ini seharusnya menjadi pemikiran utama pemerintah, untuk memajukan pendidikan. Kenaikan BBM sangat berpengaruh terhadap dunia pendidikan terutama bagi keluarga miskin atau kurang mampu. Walaupun pemerintah memberikan bantuan dana, atau BLT (Bantuan Langsung Tunai) bagi masyarakat miskin, sepertinya belum cukup untuk mengentaskan kemiskinan. Mengapa? Mengentaskan kemiskinan dapat ditempuh dengan jalur pendidikan. Bagaimanapun juga masyarakat berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu.
“Sungai mengalir tanpa henti dan setiap saat berubah”, pepatah ini mempunyai arti yang penting dalam dunia pendidikan. Pendidikan setiap saat akan berubah. Pendidikan atau sekolah apapun namanya harus mempunyai identitas diri. Jika masyarakat saat ini tidak mendapatkan pendidikan yang layak, khususnya masyarakat yang kurang mampu, tidak mampu, dan masyarakat miskin tentu masa depan mereka dalam ambang kebodohan. Mengapa?
Kehidupan anak yang miskin kelak sungguh berat. Persaingan dalam dunia kerja saat ini juga sungguh berat. Instansi apapun saat ini membutuhkan lulusan yang bermutu, membutuhkan tenaga kerja yang profesional, layak jual dan mampu bersaing. Tidak dapat dipugkiri jika saat ini, hanya sedikit yang mampu melanjutkan sekolah. Dan hanya beberapa anak saja yang mendapat keberuntungan langka, entah dari mana, dapat melanjutkan sekolah kejenjang lebih tinggi. Mayoritas dari murid-murid hanya dapat menyelesaikan Pendidikan Dasar.
Melihat hal yang demikian tentunya pemerintah harus segera membuat terobosan-terobosan baru untuk mewujudkan pendidikan yang murah, dan pendidikan yang bermutu. Kendati pemerintah telah memberlakukan pendidikan 9 tahun, kenyataannya masih banyak anak-anak yang putus sekolah. Lalu bagaimana dengan anak-anak malang?
Sebagai masyarakat yang cinta pendidikan  merasa kasihan jika melihat anak-anak usia sekolah, menjajakan dirinya untuk mencari pekerjaan yang tidak layak. Mereka mengamen di jalan-jalan, yang justru menggangu pengguna lalu lintas, bahkan anak-anak yang putus sekolah melakukan tindak kriminalitas, narkoba. Untuk mayoritas anak-anak malang inilah pemeritah harus memberikan bekal. Maksudnya pemerintah harus memberikan bekal terhadap anak-anak yang tamat SD 6 tahun ataupun wajib belajar 9 tahun, mempunyai modal dan bekal.
Sudah saatnya dunia pendidikan baik formal atau nonformal, baik negeri ataupun swasta memberikan modal dan bekal kepada anak yang tidak mampu melanjutkan sekolah, agar kelak belajar sendiri seumur hidup. Baik itu lewat jalur formal ataupun informal.
Kehidupan kita saat ini sangat kompleks. Anak-anak bangsa harus berlajar untuk mempersiapkan diri dalam persaingan, terutama di era globalisasi dan teknologi. Maka sangat penting sekali jika anak-anak bangsa dibekali dengan pendidikan (keterampilan), walaupun itu hanya tamatan SD. Yang paling penting anak dibekali bagaimana kelak “belajar sendiri seumur hidup”.
Saya kira masyarakat Indonesia kenal dengan sosok Pak Adam Malik dan BJ. Habibie. Suri-teladan ideal kita bukan Prof. Dr.Ing.Habibie yang dapat gemilang melewati sekolah formal. Pak Adam Malik dulunya hanya tamatan Sekolah Dasar (SD), tetapi dengan belajar sendiri dapat menjadi Ketua PBB dan Wakil Presiden RI. Tentunya mereka orang-orang yang langka, tetapi tetap menjadi sumber inspirasi. Maka dari itu, anak miskin yang kelak akan menjumpai banyak persoalan harus belajar membuat pilihan-pilihan agar tidak terhanyut dalam banjir lumpur permasalahan hidup.
Bagaimanapun juga anak harus tetap belajar. Di era yang serba kompleks anak akan menghadapi persoalan yang kompleks. Anak harus belajar bahwa meski kehidupan  dan persoalan hidup itu kompleks dan tidak gampang dan bahkan ruwet. Benarkah pendidikan saat ini mahal?
Setiap Tahun Ajaran Baru, dianggap sebagai ‘keremangan’. Orang tua siswa harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Pada tulisan ini penulis ingin mengajak memahami padangan tentang Tahun Ajaran Baru bagi Siswa Baru masuk sekolah. Orang tua mana sih yang tidak memilih sekolah bermutu?
Pada Tahun Ajaran Baru semua sekolah tentunya mempromosikan sekolahnya dengan gencar untuk merebut pangsa pasar. Visi dan misi menjadi modal untuk mencari simpati pada siswa dan segenap orang tua. Untuk memperoleh atau mendapatkan siswa khususnya sekolah swasta harus getol untuk promosi. Saat sekarang ini dapat dipastikan setiap sekolah telah menetapkan visi dan misi sekolah, yang biasanya ditulis besar-besar dan dipampang di berbagai sudut di kawasan sekolah. Kondisi positif ini merupakan konsekuensi logis munculnya paradigma baru pendidikan di negeri kita, di mana pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan berdasar standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah, atau MBS.
Masyarakat kadang memandang keliru tentang adanya pungutan atau biaya, yang mungkin dirasa terlalu besar, untuk ukuran masyarakat yang kurang mampu. Visi dan misi sekolah merupakan impian yang menjadi harapan masyarakat dan warga sekolah. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) mengenai alokasi dana pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD belum dapat terrealisir. Maka sekolah, lebih-lebih (swasta) melakukan pungutan kepada orang tua siswa dengan acuan pasal 46 ayat (1) UUSPN yang menyatakan bahwa “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah daerah dan masyarakat”.
Benarkah pungutan-pungutan saat memasuki Tahun Ajaran Baru itu mahal? Ada kecenderungan pungutan-pungutan di sekolah dari tahun ke tahun terus meningkat dan memberatkan beban ekonomi masyarakat. Melihat kondisi yang demikian seharusnya pemerintah berkewajiban untuk mengatur pelaksanaan pungutan sekolah pada saat penerimaan siswa baru. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat yang kurang mampu, tidak mampu, dan miskin dapat memperoleh pendidikan yang bermutu.
Setiap Tahun Ajaran Baru, masyarakat atau oang tua murid akan merasakan “keremangan”. Wajar saja jika masyarakat mempunyai pendapat dan praduga dengan pungutan atau biaya masuk sekolah, terutama praduga besarnya uang yang dibutuhkan di awal tahun ajaran baru.
Perasaan ‘remang’ atau nuansa ‘remang’ dalam tulisan ini adalah tidak luput dari kondisi bangsa Indonesia yang terbebani dengan naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Persiapan yang mestinya untuk persiapan Tahun Ajaran Baru bagi anak-anak, terserap untuk kebutuhan yang lain, terutama masyarakat yang kurang mampu, tidak mampu, dan miskin. Tiga hal kebutuhan dasar, seragam sekolah, uang pendaftaraan, dan sumbangan pendidikan harus dipenuhi oleh orang tua murid.
Dalam pada itu, marilah kita sama-sama mewujudkan pendidikan yang bermutu. Mengapa? Semua orangtua mengharapkan agar putra-putrinya mendapatkan pendidikan yang bermutu. Termasuk di dalammnya keluarga yang tidak mampu, keluarga miskin mengharapkan pendidikan yang bermutu. Sehingga ketika putra-putrinya diterima menjadi siswa baru di suatu sekolah, apapun yang ditetapkan sekolah tentang kewajiban keuangan akan dipenuhi walaupun dengan berutang atau menjual sisa harta yang dimilikinya.

* Penulis adalah Alumnus PBS Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Jambi. Waka Kesiswaan SMP/SMA/SMK Pelita Raya Jambi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar