Cafebahasa hadir sebagai sarana edukasi, pembelajaran, komunikasi serta sebagai media informasi bahasa, sastra, seni, opini-artikel, dan hasil mahakarya (proses kreatif). Kirimkan partisipasi Anda melalui email bbg_cla@yahoo.com

Jumat, 18 November 2011

Opini "Meningkatkan Kualitas Pendidikan"


Meningkatkan kualitas Pendidikan;
Butuh Guru yang Sejati

Oleh: Bambang Setiawan, S.Pd

Ada pepatah “Kita harus berani melaut dengan layar dan dayung apa adanya”. Dalam situasi yang serba melaju sangat cepat kita harus mampu meremajakan diri. Perkembangan zaman yang serba instant (tanpa menunggu lama) sangat berpengaruh terhadap dunia pendidikan saat ini. Dalam artian zaman yang serba berubah segala-galanya mempunyai dampak yang luas dalam dunia pendidikan. 
Semua masyarakat pastinya menginginkan pendidikan yang maju dan berprestasi. Kalau mencermati peta  pendidikan, Indonesia termasuk negara yang tertinggal di seluruh ASEAN dan Timur (Y.B. Mangunwijaya, Pr, 2003). Memang dari segi kuantitas murid yang masuk ruang sekolah dan bangku sekolah, di Indonesia dipuji, bahkan oleh UNESCO.
Bangsa yang maju dan berkembang adalah bangsa yang mempunyai peradaban yang tinggi. Peradaban dapat diciptakan melalui pendidikan. Pendidikan merupakan salah faktor pendukung paling penting dalam kemajuan suatu  bangsa. Semenjak bangsa Indonesia merdeka tahun 1945, prioritas pertama pemerintah Indonesia adalah memajukan pendidikan.
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999–2004 mengamanatkan bahwa salah satu arah kebijakan pembangunan pendidikan adalah mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia. Kegiatan pendidikan sebagai realitas sosial adalah merupakan kegiatan yang terarah, karena dalam kegiatan pendidikan dapat dijadikan kegiatan penelitian dan atau dapat dijadikan sebagai objek pemikiran.
Dalam tulisan ini, penulis ingin memulai dengan figur yang kita mufakati berperan amat penting, atau bahkan terpenting, yakni sosok guru. Sekurang-kurangnya selama dasarwarsa terakhir ini hampir setiap saat, media massa khususnya media cetak harian maupun mingguan, lokal maupun nasional menyediakan rubrik pendidikan atau sering memuat berita tentang guru. Ironisnya, berita-berita ini banyak yang cenderung melecehkan guru, sedangkan guru nyaris tidak mampu membela diri. Penulis senang sekali dengan rubrik yang dihadirkan oleh Harian Pagi Jambi Ekspres untuk menunjang sertifikasi guru.
Bagaimanakah nasib guru saat ini? Ketika saya masih duduk dibangku SMP, guru merupakan sosok yang sangat ditakuti. Pada zaman dulu, sebelum era 2000, jauh sebelum era globalisasi informasi, profesi guru dan posisi guru sangat dihormati (dalam bahasa Jawa sering disebut dengan para priyayi). Guru sebagai seorang pendidik sangat mendapatkan penghormatan di mata masyarakat.
Bukan rahasia lagi jika guru saat itu (secara ekonomis) penghasilannya memadai dan lebih. Bahkan secara psikologis guru mempunyai harga diri dan wibawa tinggi. Benarkah keadaan guru sekarang sangat berubah drastis? Guru adalah pekerjaan yang membutuhan profesi. Belakangan ini ada yang menggangap bahwa profesi guru adalah profesi ‘kering’. Bahkan ada yang menyatakan bahwa guru (harkat dan derajat) di mata masyarakat merosot, seolah-olah menjadi warga  negara kelas dua.
Tidak dapat dipungkiri lagi jika penghasilan guru jauh di bawah rata-rata kalangan profesional lainnya. Sementara itu, kenyataan yang ada saat ini guru di mata murid-murid pun kian jatuh. (Muhibbin Syah) dalam tulisannya tentang guru menyatakan bahwa ‘murid-murid masa kini, khususnya yang menduduki sekolah-sekolah menengah di kota-kota pada umumnya hanya cenderung menghormati guru karena ada udang dibalik batu. Sebagian peserta didik di kota menghormati guru karena ingin mendapat nilai yang tinggi atau naik kelas dengan peringkat tinggi tanpa kerja keras’.
Maka dari itu, guru harus memiliki profesionalisme keguruan. Jika kualitas pendidikan kita ingin maju dan berkembang tentunya diperlukan tenaga pendidik yang handal dan berdedikasi tinggi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya mengajar.  Kata guru dalam bahasa Arab disebut mu’allim, dan dalam bahasa Inggris disebut teacher adalah seseorang yang pekerjaannya mengajar orang lain.
Guru sebagai pendidik ataupun pengajar merupakan faktor penentu kesuksesan setiap usaha pendidikan. Oleh karena itu, sikap-tindak guru dalam dunia pendidikan (sekolah-sekolah) harus mengutamakan kearifan. Semua pendidikan yang baik selalu menganut kepada kearifan nenek moyang kita, yakni dengan prinsip ajrih-asih. Anak perlu diajar patuh pada peraturan, disiplin yang konsekuen, menanggapi teguran yang serius.

Motivasi Guru
Dalam proses belajar mengajar siswa membutuhkan motivasi. Perlu diketahui bahwa siswa atau peserta didik itu terdiri dari beberapa latar belakang. Maka dari itu, guru hendaklah tidak lagi berperan seperti yang kini sudah begitu luas (untuk tidak mengatakan selalu) menjadi dan bergaya penatar, instruktor, komandan, birokrat, atau bahkan pawang serperti yang sudah-sudah. Namun harus diajak kembali menjadi guru dan pendidik, yang dapat memberikan motivasi pada peserta didik atau siswa. Dengan demikian akan ada keseimbangan antara guru dan siswa.
Akan lebih menarik lagi jika sekolah dapat menghirup suasana kekeluargaan. Maka yang dikembangkan bukanlah iklim kompetensi dalam merebut kejuaraan (rangking), namun kesetiakawanan (solidaritas) dalam segala usahanya. Lebih khusus murid dengan murid. Sejajar dengan itu, guru perlu memberikan motivasi atau dorongan kepada siswa agar siswa mampu belajar dengan baik.
Oleh karena itu, para guru harus yakin bahwa sebenarnya tidak ada murid yang bodoh. Perlu diingat bahwa murid adalah makhluk ciptaan Tuhan yang oleh Tuhan sendiri telah dibekali; naluri dasar yang ingin bertumbuh dan mekar. Guru harus sadar bahwa dengan membodoh-bodohkan anak, lama-kelamaan si anak akan merasa dirinya memang bodoh dan bernasib bodoh, serta selamanya bodoh. Guru tidak boleh memotovasi atau memberikan dorongan yang jelek. Maka ada isitilah (dosa besar guru) terhadap anak misikin adalah membodoh-bodohkan dan menjelek-jelekan anak, apalagi di muka teman-temannya. Namun (ada perkecualian dan ini agak langka) salah satunya adalah siswa tersebut sudah terlanjur luar biasa sikap buruknya dan kenakalannya sehingga menjadi sumber keburukan bagi anak-anak lainnya.
Setiap anak mempunyai kemampuan daya irama dan proses belaajar sendiri. Sekali lagi, di dalam diri siswa atau setiap anak telah dianugerahi Tuhan benih-benih niat dan akal untuk semakin tahu dan paham tentang semua hal yang ia jumpai atau alami, untuk bermekar dan maju. Guru dan mahaguru yang ia jumpai adalah dirinya sendiri, selanjutnya keluarga, lingkungan, dan guru di sekolah.
Sebagai guru yang memberi motvasi pada anak didik atau siswa harus percaya kepada anak didik, bahwa dia sendirilah yang ingin cerdas dan maju. Jika terjadi kasus, ada anak yang malas atau tidak memperhatikan guru di kelas, janganlah lekas-lekas menyalahkan murid, tetapi sebaiknya kita sebagai guru yang baik, selalu memerikasa dan mengritik diri sendiri dahulu. Maka dari itu motivasi guru kepada anak didik atau peserta didik harus disamaarahkan.
Dalam tulisan ini (penulis) mengajak untuk memahami makna guru sebagai pencetak generasi bangsa. Mari kita menjadi guru yang sejati di mata murid dan  masyarakat, karena pemerintah akan memberikan kesejahteraan yang layak. Salah satunya melalui uji sertifikasi. Dengan demikian sertifikasi merupakan peluang yang penuh dengan tantangan. Yaitu dimana guru harus menjadi sosok yang diteladani. Apabila hal ini sudah dipenuhi maka layaklah seorang guru disebut dengan guru yang profesional. Paling tidak harkat dan martabatnya akan terhormat. Menurut RUU Guru dan Dosen, Pasal 6, setiap guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi profesi keguruan, serta memiliki sertifikat profesi. Kualifikasi akademik dipenuhi dengan ijazah S1 dan D4, sedangkan kompetensi profesi diperoleh lewat pendidikan profesi minimal 36 satuan kredit semester.

* Semoga Mutu Guru Mendatang Lebih Baik
Penulis adalah Alumnus PBS FKIP Universitas Jambi dan waka kesiswaan SMP/SMA/SMK Pelita Raya Jambi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar