Meningkatkan kualitas Pendidikan;
Butuh Guru yang Sejati
Oleh: Bambang Setiawan, S.Pd
Ada pepatah “Kita harus berani melaut dengan layar
dan dayung apa adanya”. Dalam situasi yang serba melaju sangat cepat kita harus
mampu meremajakan diri. Perkembangan zaman yang serba instant (tanpa menunggu
lama) sangat berpengaruh terhadap dunia pendidikan saat ini. Dalam artian zaman
yang serba berubah segala-galanya mempunyai dampak yang luas dalam dunia
pendidikan.
Semua masyarakat pastinya menginginkan pendidikan
yang maju dan berprestasi. Kalau mencermati peta pendidikan, Indonesia termasuk negara yang
tertinggal di seluruh ASEAN dan Timur (Y.B. Mangunwijaya, Pr, 2003). Memang
dari segi kuantitas murid yang masuk ruang sekolah dan bangku sekolah, di
Indonesia dipuji, bahkan oleh UNESCO.
Bangsa yang maju dan berkembang adalah bangsa yang
mempunyai peradaban yang tinggi. Peradaban dapat diciptakan melalui pendidikan.
Pendidikan merupakan salah faktor pendukung paling penting dalam kemajuan
suatu bangsa. Semenjak bangsa Indonesia
merdeka tahun 1945, prioritas pertama pemerintah Indonesia adalah memajukan
pendidikan.
Pendidikan adalah usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau
latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) 1999–2004 mengamanatkan bahwa salah satu arah kebijakan
pembangunan pendidikan adalah mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan
memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia. Kegiatan
pendidikan sebagai realitas sosial adalah merupakan kegiatan yang terarah,
karena dalam kegiatan pendidikan dapat dijadikan kegiatan penelitian dan atau
dapat dijadikan sebagai objek pemikiran.
Dalam tulisan ini, penulis ingin memulai dengan
figur yang kita mufakati berperan amat penting, atau bahkan terpenting, yakni
sosok guru. Sekurang-kurangnya selama dasarwarsa terakhir ini hampir setiap
saat, media massa khususnya media cetak harian maupun mingguan, lokal maupun
nasional menyediakan rubrik pendidikan atau sering memuat berita tentang guru.
Ironisnya, berita-berita ini banyak yang cenderung melecehkan guru, sedangkan
guru nyaris tidak mampu membela diri. Penulis senang sekali dengan rubrik yang
dihadirkan oleh Harian Pagi Jambi Ekspres
untuk menunjang sertifikasi guru.
Bagaimanakah nasib guru saat ini? Ketika saya
masih duduk dibangku SMP, guru merupakan sosok yang sangat ditakuti. Pada zaman dulu, sebelum era 2000, jauh sebelum era
globalisasi informasi, profesi guru dan posisi guru sangat dihormati (dalam
bahasa Jawa sering disebut dengan para priyayi). Guru sebagai seorang pendidik
sangat mendapatkan penghormatan di mata masyarakat.
Bukan rahasia lagi jika guru saat itu (secara
ekonomis) penghasilannya memadai dan lebih. Bahkan secara psikologis guru
mempunyai harga diri dan wibawa tinggi. Benarkah keadaan guru sekarang sangat
berubah drastis? Guru adalah pekerjaan yang membutuhan profesi. Belakangan ini
ada yang menggangap bahwa profesi guru adalah profesi ‘kering’. Bahkan ada yang
menyatakan bahwa guru (harkat dan derajat) di mata masyarakat merosot,
seolah-olah menjadi warga negara kelas
dua.
Tidak dapat dipungkiri lagi jika penghasilan guru
jauh di bawah rata-rata kalangan profesional lainnya. Sementara itu, kenyataan
yang ada saat ini guru di mata murid-murid pun kian jatuh. (Muhibbin Syah)
dalam tulisannya tentang guru menyatakan bahwa ‘murid-murid masa kini,
khususnya yang menduduki sekolah-sekolah menengah di kota-kota pada umumnya
hanya cenderung menghormati guru karena ada udang dibalik batu. Sebagian
peserta didik di kota menghormati guru karena ingin mendapat nilai yang tinggi
atau naik kelas dengan peringkat tinggi tanpa kerja keras’.
Maka dari itu, guru harus memiliki
profesionalisme keguruan. Jika kualitas pendidikan kita ingin maju dan
berkembang tentunya diperlukan tenaga pendidik yang handal dan berdedikasi
tinggi. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya mengajar. Kata guru dalam bahasa Arab disebut mu’allim, dan dalam bahasa Inggris disebut teacher adalah seseorang yang
pekerjaannya mengajar orang lain.
Guru sebagai pendidik ataupun pengajar
merupakan faktor penentu kesuksesan setiap usaha pendidikan. Oleh karena itu,
sikap-tindak guru dalam dunia pendidikan (sekolah-sekolah) harus mengutamakan
kearifan. Semua pendidikan yang baik selalu menganut kepada kearifan nenek
moyang kita, yakni dengan prinsip ajrih-asih.
Anak perlu diajar patuh pada peraturan, disiplin yang konsekuen, menanggapi
teguran yang serius.
Motivasi Guru
Dalam proses belajar mengajar siswa membutuhkan
motivasi. Perlu diketahui bahwa siswa atau peserta didik itu terdiri dari
beberapa latar belakang. Maka dari itu, guru hendaklah tidak lagi berperan
seperti yang kini sudah begitu luas (untuk tidak mengatakan selalu) menjadi dan
bergaya penatar, instruktor, komandan, birokrat, atau bahkan pawang serperti
yang sudah-sudah. Namun harus diajak kembali menjadi guru dan pendidik, yang
dapat memberikan motivasi pada peserta didik atau siswa. Dengan demikian akan
ada keseimbangan antara guru dan siswa.
Akan lebih menarik lagi jika sekolah dapat
menghirup suasana kekeluargaan. Maka yang dikembangkan bukanlah iklim
kompetensi dalam merebut kejuaraan (rangking), namun kesetiakawanan
(solidaritas) dalam segala usahanya. Lebih khusus murid dengan murid. Sejajar
dengan itu, guru perlu memberikan motivasi atau dorongan kepada siswa agar
siswa mampu belajar dengan baik.
Oleh karena itu, para guru harus yakin bahwa
sebenarnya tidak ada murid yang bodoh. Perlu diingat bahwa murid adalah makhluk
ciptaan Tuhan yang oleh Tuhan sendiri telah dibekali; naluri dasar yang ingin
bertumbuh dan mekar. Guru harus sadar bahwa dengan membodoh-bodohkan anak,
lama-kelamaan si anak akan merasa dirinya memang bodoh dan bernasib bodoh,
serta selamanya bodoh. Guru tidak boleh memotovasi atau memberikan dorongan
yang jelek. Maka ada isitilah (dosa besar guru) terhadap anak misikin adalah
membodoh-bodohkan dan menjelek-jelekan anak, apalagi di muka teman-temannya.
Namun (ada perkecualian dan ini agak langka) salah satunya adalah siswa
tersebut sudah terlanjur luar biasa sikap buruknya dan kenakalannya sehingga
menjadi sumber keburukan bagi anak-anak lainnya.
Setiap anak mempunyai kemampuan daya irama dan
proses belaajar sendiri. Sekali lagi, di dalam diri siswa atau setiap anak
telah dianugerahi Tuhan benih-benih niat dan akal untuk semakin tahu dan paham
tentang semua hal yang ia jumpai atau alami, untuk bermekar dan maju. Guru dan
mahaguru yang ia jumpai adalah dirinya sendiri, selanjutnya keluarga, lingkungan,
dan guru di sekolah.
Sebagai guru yang memberi motvasi pada anak didik
atau siswa harus percaya kepada anak didik, bahwa dia sendirilah yang ingin
cerdas dan maju. Jika terjadi kasus, ada anak yang malas atau tidak
memperhatikan guru di kelas, janganlah lekas-lekas menyalahkan murid, tetapi
sebaiknya kita sebagai guru yang baik, selalu memerikasa dan mengritik diri
sendiri dahulu. Maka dari itu motivasi guru kepada anak didik atau peserta
didik harus disamaarahkan.
Dalam tulisan ini (penulis) mengajak untuk
memahami makna guru sebagai pencetak generasi bangsa. Mari kita menjadi guru
yang sejati di mata murid dan
masyarakat, karena pemerintah akan memberikan kesejahteraan yang layak.
Salah satunya melalui uji sertifikasi. Dengan demikian sertifikasi merupakan peluang
yang penuh dengan tantangan. Yaitu dimana guru harus menjadi sosok yang
diteladani. Apabila hal ini sudah dipenuhi maka layaklah seorang guru disebut
dengan guru yang profesional. Paling tidak harkat dan martabatnya akan
terhormat. Menurut RUU Guru dan
Dosen, Pasal 6, setiap guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi
profesi keguruan, serta memiliki sertifikat profesi. Kualifikasi akademik
dipenuhi dengan ijazah S1 dan D4, sedangkan kompetensi profesi diperoleh lewat
pendidikan profesi minimal 36 satuan kredit semester.
* Semoga Mutu Guru Mendatang Lebih Baik
Penulis adalah Alumnus PBS FKIP
Universitas Jambi dan waka kesiswaan SMP/SMA/SMK Pelita Raya Jambi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar