Cafebahasa hadir sebagai sarana edukasi, pembelajaran, komunikasi serta sebagai media informasi bahasa, sastra, seni, opini-artikel, dan hasil mahakarya (proses kreatif). Kirimkan partisipasi Anda melalui email bbg_cla@yahoo.com

Jumat, 18 November 2011

Esai FILM "Namaku Jono"


Film “Namaku Jono” Perlu Renovasi
Catatan Perjalanan Kreativitas SMA  Xaverius II Jambi
Sebuah Kritik
Oleh: Bambang Setiyawan, S.Pd

Akhirnya selesai juga pembuatan film “Namaku Jono”. Film berlatar belakang kehidupan sosial, kemiskinan, dan pendidikan yang ditulis oleh Leo Deddy ini mampu memukau penonton saat ditayangkan. Pembuatan film ‘Namaku Jono’ tidak terlepas dari; penulis skenario, sutradara, dan produser.
Di tengah lapangan volly SMP-SMA Xaverius II Jambi sepotong spotlight kuning yang berbentuk bulat disorotkan dari langit-langit merebut perhatian penonton selama beberapa menit. Selebihnya hanya gelap tanpa secuil suara pun dari penonton. Itu saja! Tak terjadi apa-apa. Film itu diberi judul “Namaku Jono”. Sementara bulan purnama menemani penonton yang menyaksikan film. Pemutaran film selesai para penonton memberi komentar sebisa-bisa akalnya.
Sebelum memulai tulisan ini saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan kritik dan saran pada film “Namaku Jono”. Pemutaran film “Namaku Jono” adalah dalam rangka memperingati 100 Tahun (satu abad) hari Kebangkitan Nasional, sekaligus dalam rangka perpisahan kelas IX SMP dan XII SMA Xaverius II Jambi. Sebuah kritikan dan saran yang dikirim lewat SMS atau disampaikan secara langsung oleh penonton, atau siswa-siswi (atau publik) penting untuk disampaikan dan dibahas serta dibalas. Kritik yang disampaikan oleh publik saat menikmati sajian film “Namaku Jono” sangat tajam.
Apakah kritik ada gunanya? Kepada siapa, dan dengan cara bagaimana kritik itu berguna? “Kalimat inilah yang merangsang penulis untuk menuangkan ide dan menjelaskan tentang film “Namaku Jono”. Penulis sebagai sutradara film “Namaku Jono” mengakui masih banyak hal yang perlu direnovasi atau diperbaiki.
Kali pertama ini SMA Xaverius II Jambi membuat film dengan judul “Namaku Jono”. Film yang dibintangi oleh Bram Fonendi (sebagai Jono), Lyanawati (sebagai Maria), dan Yohana Krista (sebagai Effa) merupakan hasil kreativitas siswa-siswi SMA Xaverius II Jambi dalam bidang seni. Film yang diproduksi untuk “kalangan sendiri” dengan durasi pemutaran 52 (lima puluh dua) menit ini mampu menggugah hati siswa-siswi, bapak ibu guru, dan tamu undangan.
Film yang dikemas secara sederhana yang ditayangkan perdana di lapangan SMP/SMA Xavierus II Jambi, pada hari Senin  (19 Mei 2008) pukul 20.00 WIB secara teoretis berat untuk dipahami oleh orang awam.  Film “Namaku Jono” dengan ide cerita oleh Bayu.A.S (asal Jogyakarta), penulis skenario sekaligus produser (oleh Leo Deddy), penyunting gambar dan suara tim Pelita Raya, desain grafis Agnes pada dasarnya adalah representasi dengan makna sosial.
Ada benarnya jika “kita sepakat” dengan pendapat bahwa ‘membuat film itu susah dan sulit’. Banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk pembuatan film. Baik skenario, sutradara, pemain, properti dan sebagainya yang mendukung dalam pembuatan film, dan tak kalah menariknya adalah kameramen dan editing merupakan puncak ending keberhasilan film atau finishing film untuk siap ditayangkan.
Secara lengkap persiapan yang harus dilakukan oleh seorang manajer produksi adalah ‘persiapan produksi, proses pembuatan jadwal, prakiraan anggaran, KRU atau pekerja film, lokasi shoting, departemen artistik, pencarian pemain, casting (latihan), pelaksanaan produksi, dan pascaproduksi’. Namun demikian hal ini sangat sulit (tidak gampang) dilakukan oleh kalangan pemula. Pembutan film “Namaku Jono” merupakan buah kreatif yang dapat dijadikan barometer bagi kalangan pelajar tingkat SMA.
 Perjalanan kreativitas dalam dunia perfilman belakangan menunjukkan kemajuan yang pesat. Banyaknya chanel  televisi swasta sebenarnya ikut memotori munculnya kreativitas anak bangsa, terutama dikalangan pelajar tingkat SMA. Tulisan ini adalah merupakan catatan kritik dan saran dari beberapa penonton (publik) saat menyaksikan pemutaran film “Namaku Jono”.
Berapa lama pembuatan film “Namaku Jono”? Film yang diproduksi oleh SMA Xaverius II Jambi ini merupakan film perdana. Berbicara tentang pembuatan film “Namaku Jono” tentunya berhubungan dengan waktu. Setelah melalui beberapa tahap atau menuju proses akhir sebuah skenario, akhirnya disepakati bersama bahwa skenario ‘Namaku Jono’ sudah menjadi draf akhir atau dianggap selesai. Pembuatan  Film “Namaku Jono” membutuhkan waktu kurang lebih empat (4) bulan yang diawali dengan persiapan produksi sampai dengan editing (finishing akhir).
Kalau kita melihat dan mencermati pembuatan film yang ditayangkan dibeberapa televisi swasta belakangan ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Banyak kendala yang dihadapi oleh rumah produksi ketika membuat film. Begitu halnya dengan pembuatan film  “Namaku Jono”. Pada saat syuting kadang tertunda karena sutradara masih mencari atau menunggu ide padahal keseluruhan tim dan peralatan (walaupun sederhana) sudah tiba dilokasi syuting. Pembutan film “Namaku Jono” menggunakan pendekatan konvensional, tanpa alat-alat khusus atau dengan alat seadanya.


Sutradara
Berhasil tidaknya jalan cerita sebuah film adalah tanggung jawab sutradara. Sutradara itu sama halnya dengan dirigen, polisi, pelatih sepak bola, dan hansip.
Memang benar, sedikit atau banyak, ada kesamaan tugas, wewenang dan tanggung jawab antara dirigen, sutradara, pelatih sepak bola, polisi lalu lintas dan hansip. Kalau polisi menghadapi dan harus mengatur para pemakai jalan, hansip menghadapi masyarakat banyak yang harus “ditertibkan”, maka para pelatih sepak bola, sutradara dan dirigen juga menghadapi sekelompok manusia. Sebuah kesebelasan untuk seorang pelatih sepak bola, sejumlah kerabat kerja-pentas untuk sang sutradara, dan setiap anggota orkes untuk seorang dirigen. Bedanya, bagai pelatih sepak bola, sutradara ataupun dirigen ada tujuan langsung yang harus segera diraih. Yaitu, memenangkan permainan.
Dalam sepak bola, walaupun lapangan dan bolanya tersedia, aturan-aturan main dan wasit beserta hakim-hakim garispun lengkap, bahkan kapten kesebelasan juga ada, toh seorang pelatih masih diperlukan kehadirannya. Untuk mengatur sekian banyak orang diperlukan seorang  yang tugasnya tidak hanya melatih saja, tapi juga mengatur, mengarahkan, membina, membuat siasat-siasat untuk memenangkan permainan. Pendek kata, memimpin.
Begitu juga bagi seorang sutradara dan dirigen. Tugas utamanya adalah memimpin. Memimpin para kerabat kerja-kreatif yang banyak jumlahnya itu. Walaupun untuk sebuah karya teater mapun musik juga sudah tersedia naskah, aturan-aturan main, pentas dengan segala kelengkapannya. Beda antara mereka seorang pelatih kesebelasan harus melatih, menyusun siasat kemenangan kemudian mmbaca situasi pemain di lapangan. Sutradara dan dirigen, melatih para pemain, menafsirkan sebuah karya teater atau musik, kemudian mempertaruhkannya langsung di atas pentas. Bedanya lagi, apabila tiba saatnya turun lapangan atau naik pentas, seorang pelatih sepak bola maupun sutradara teater hanya bisa “bersembunyi” di balik rumput hijau atau dibelakang tirai panggung.
Bedanya seorang dirigen harus mau mempertaruhkan dirinya langsung di atas pentas. Ia bahkan menjadi bagian utama daripada permainan dan para kerabat kerjanya. Sebutan bintang juga dihadiahkan bagi para aktor teater maupun film. Tapi bukan untuk sang sutradara. Mungkin karena faktor pemimpin yang “tersembunyi” (pelatih dan sutradara) inilah kita mengetahui bahwa umumnya para pemain bintang sepak bola maupun para aktor lebih tenar dari para pelatih dan sutradara. Sutradara sampai kapan pun masih akan diperlukan, selama kerangka, pola dasar dan permainan dalam seni sastra atau perfilman (tentunya) belum berubah.

Penguasaan Skenario
Sutradara tidak hanya cukup menguasai alur cerita, tetapi juga harus memahami tema utama yang diajukan oleh skenario tersebut, pendramaan disetiap adegan, serta napas dari tempo adengan-adengan dari awal hingga akhir film.
Dalam film “Namaku Jono” yang diperankan oleh Bram Fonendi (sebagai Jono), Lyanawati (sebagai Maria), Yohana Krista (sebagai Effa) dan beberapa guru SMA Xaverius II Jambi dalam hal penguasaan skenario dapat “dikatakan” hampir mendekati maksimal menguasai dan menjiwai (terutama pada pendramaan). Namun secara maksimal para pemain sudah dapat menemukan karakter tokoh dalam akting (film). Film “Namaku Jono” belum 100% (seratus persen) menuju keberhasilan. Namun untuk kalangan sendiri kreativitas film “Namaku Jono” dapat “dikatakan”  70% (tujuh puluh persen) layak untuk dikonsumsi atau disajikan dan layak dijadikan bahan apresiasi khusunya siswa SMP-SMA Xaverius II.

Latar Belakang Tokoh dalam Film
Pembuatan film apapun jenisnya tidak akan terlepas dari tokoh atau pemain. “kosong” kalau film itu tidak ada pemain. Seorang pemain harus dapat memerankan atau menafsirkan karakter tokoh sesuai dengan alur cerita. Latar belakang tokoh juga menuntukan keberhasilan pemain untuk memerankan perannya sebagai tokoh yang diinginkan oleh sutradara (atau tuntutan skenario).
Film “Namaku Jono” yang melibatkan lebih dari 25 (dua puluh lima) pemain ini hampir sebagian besar dapat memerankan perannya sesuai dengan tuntutan skenario. Film “Namaku Jono” yang berlokasi syuting  di Payo Selincah, Pasar Baru, SMP-SMU Xaverius II, Taman MTQ Jambi, sangat mendukung dalam penceritaan. Mengapa? Penulis skenario (Leo Deddy) sengaja mengangkat tentang tema sosial yang dibumbui dengan ‘percintaan’. Maka dari itu latar belakang tokoh atau pemain pun harus harus sesuai dengan skenario.

Pemilihan Ritme Dramatik setiap Adegan
Ritme film akan lebih jelas (atau dapat dibaca) pada saat penyutingan gambar atau film. Walaupun sutradara telah merancang ritme dramatik setiap bagian dalam satu adengan, untuk memperkaya bahan penyutingan. Dalam pembuatan film “Namaku Jono” pemilihan ritme yang dilakukan belum sepunuhnya sempurna. Namun ritme yang dijalankan oleh pemain dalam memerankan perannya  dapat dirasakan oleh penonton. Film “Namaku Jono” terdiri dari 30 (scene).

Pendekatan Visual serta Gaya
Casting (latihan) sangat penting bagi dunia perfilman, teater, drama atau apa saja yang berhubungan dengan pementasan. Tidak dapat dipungkiri jika gaya dalam pembuatan film sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembuatan film. Pemain atau sutradara harus menguasai skenario dengan matang agar pendekatan viusal ini tercapai secara maksimal.
Dalam film “Namaku Jono” penulis akui bahwa casting atau latihan peran (setiap adegan) juga belum secara maksimal matang. Namun para pemain film “Namaku Jono” mampu berada dalam tema cerita. Film ini juga disisipi dengan beberapa adegan lucu.
Perlu diketahui bahwa film “Namaku Jono” lebih dekat dengan tema sosial dan pendidikan. Bukan bertemakan horor seperti film saat ini yang mencoba merebut pangsa pasar. Dalam film “Namaku Jono”  sudah ada pakem tersendiri. Dalam hal ini penyutingan film lebih cenderung menggunakan cahaya yang terang benderang dengan kamera lebih banyak statis dengan tujuan supaya para pemain dalam film “Namaku Jono” dapat memaksimalkan kemampuannya.

Ritme dan Tempo Keseluruhan Film
Kritikan yang sangat pedas dalam Film “Namaku Jono” menunjukkan bahwa film ini dapat dijadikan bahan apresiasi bagi pelajar. Ada pepatah yang menyatakan bahwa “manusia itu tidak sempurna”. Hal ini juga berlaku dalam dunia perfilman saat ini. Banyak sekali rumah produksi yang mengejar jam tayang, sehingga tidak pernah memperhatikan kualitas dalam pembuatan film. Perlu diketahui bahwa editing sangat penting dalam proses akhir penayangan film.
Film “Namaku Jono” yang melibatkan kru Tim Pelita Raya dalam hal editing ini berperan besar dalam keberhasilan skenario. Apakah adengan berjalan lambat atau cepat, kacau atau terkendali?
Skenario yang baik sudah ditulis dengan pengembangan plot dan adegan secara bertahap. Ruang dan waktu jelas oleh penulisnya (Leo Deddy). Dalam film “Namaku Jono” keberhasilan mewujudkan skenario dari rangkain kata-kata dalam bentuk rangkaian gambar mengikuti alur yang sudah tertulis dalam skenario sehingga film ini mempunyai cerita yang utuh. Untuk mencapai ini penonton dalam menyaksikan film “Namaku Jono” harus serius mengikuti dengan baik. Karena film dengan durasi 52 menit ini menggunakan alur lompat.
Masyarakat Indonesia umumnya terbiasa menonton film dengan gaya penggaluran lurus. Penulis skenario (Leo Deddy) sengaja menghadirkan film “Namaku Jono” menggunakan alur lompat. Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian. Alur merupakan tulang punggung suatu cerita, yang menuntun kita memahami keseluruhan cerita dengan segala sebab akibat di dalamnya. Memang ‘benar’ bahwa film “Namaku Jono” secara teoretis sulit untuk dipahami orang awam.
Keberhasilan pembuatan film “Namaku Jono” merupakan kerja kolektif. Artinya setiap kru menyumbangkan keahlian masing-masing sesuai dengan terjemahan visi sutradara terhadap skenario, di bawah “komando” sang sutradara dan produser. Tino (2008:7) menyatakan bahwa “Penulis skenario adalah orang yang bertanggung jawab menuangkan gagasan ke dalam bentuk tulisan sesuai dengan pakem-pakem penulisan naskah film. Dan selanjutnya adalah sutradara. Sutradara adalah orang yang akan mewujudkan gagasan yang tertuang dalam sebuah skenario menjadi rekaman audio-visual sehingga bisa dinikmati penonton. Sementara produser adalah orang yang akan membantu sutradara dalam mengelola proses pembuatan film tersebut.”

Pemain
Pemain dalam dunia film sering disebut dengan aktor atau aktris.  Dalam film “Namaku Jono” para pemain yang memerankan peran pernah bermain film sama sekali. Maka dari itu perlu sekali diadakan audisi atau casting dengan tujuan untuk memastikan bahwa pilihan berdasarkan nalurinya itu tidak salah pilih.
Untuk aktris atau aktor ternama umumnya mereka menutut  untuk membaca skenario terlebih dahulu sebelum mengadiri audisi atau casting. Mengapa hal ini dilakukan? Jika pemain tidak berkenan dengan isi skenario, mereka akan menolak tawaran bermain film tersebut.
Film “Namaku Jono” proses pencarian pemainnya tergolong cepat, karena melibatkan siswa dan guru SMA Xaverius II. Aktor atau aktris dalam film “Namaku Jono” dari segi akting cukup memadai. Persiapan latihan sebelum syuting cukup membantu dalam kerberhasilan pembuatan film. Pada tahap ini sutradara menjelaskan alur cerita dan kepribadian masing-masing karakter dalam skenario kepada para pemeran. Pembuatan film “Namaku Jono” lebih banyak menggunakan spontanitas pemain di depan kamera ketimbang proses latihan.
Proses yang sulit sebenarnya terletak dalam latihan. Ada beberapa pendapat bahwa latihan syuting itu sangat diperlukan. Mengapa? Pemahaman yang salah terhadap karakter yang akan diperankan harus dikoreksi dan diperbaiki. Jika hal ini dibiarkan maka totalitas pencapaian karakter pemeran tidak akan berhasil. Terus terang saja dalam pembuatan film “Namaku Jono” latihan hanya dilakukan  2 minggu sebelum hari “H” pelaksanaan syuting.
Pemeran atau pemain dalam film “Namaku Jono” adalah tergolong pemain “amatir” dalan dunia aktris atau aktor. Maaf, kebesaran pemain amatir dikatan aktor atau aktris.  Latihan pengadegan dalam film “Namaku Jono” cukup lama. Tetapi pada latihan adegan ini hanya beberapa latihan inti yang masuk dalam kategori sulit. ‘Wajar’ jika penonton memberikan komentar bahwa “FILM NAMAKU JONO” perlu renovasi.
Memang latihan yang baik akan mengurangi resiko kesalahan saat pengambilan gambar. Hal yang menarik dalam perjalanan syuting, (terutama) dalam adegan yang sangat sulit bisa berulang-ulang kali pengambilan gambarnya. Namun demikian beberapa penonton yang menyaksikan penayangan film “Namaku Jono” merasa puas, dengan kreativitas siswa.
Penyutingan
Syah-syah saja jika penonton mengkritik bahwa penyutingan gambar film “Namaku Jono” belum sempurna. Untuk tingkat Jambi, peralatan yang memadai untuk penyuntingan  film belum ada. Apalagi film yang dibuat hanya untuk kalangan sendiri. Tentu membuthkan banyak biaya jika menyewa alat syuting. Namun demikian, kualitas gambar dan suara memang penting dalam dunia perfilman. Gambar yang menarik, tapi tidak ada suara tentu tidak akan menarik penonton, begitu juga sebaliknya.
Hal yang menarik dalam pembuatan film adalah penyutingan. Bagaimanakah penyutingan dalam film “Namaku Jono”. Penyuntingan adalah proses kerja yang panjang antara sutradara dan penyunting, baik penyunting gambar mapun penyunting suara. Produser Film “Namaku Jono” (Leo Deddy) selalu mendampingi proses penyuntingan, dan selalu memberikan masukan kreatif untuk hasil penyuntingan. Proses penyuntingan film “Namaku Jono” terlalu rumit, karena saat syuting hanya menggunakan dua kamera Panasonic (MD 9000 dan MD 10000). Dan pengambilan suara melalui speaker pada kamera. Selanjutnya euforia syuting menggunakan MDV (Mini DV), penyuntingan gambar menggunkan program pinnacle  studio 9.
Penulis mencermati bahwa pembuatan film yang dilakukan oleh kalangan pelajar tingkat SMA khususnya di Jambi masih menggunakan alat seadanya. Bahkan hanya menggunakan satu handycam saja. Penulis akui bahwa film “Namaku Jono” ditinjau dari segi audio memang kurang memuaskan. Namun bukan berarti pembuatan film ini adalah instan (asal jadi) atau prematur. Namun dari segi editing cukup memuaskan.
Tulisan ini penulis akhiri dengan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian pembuatan film “Namaku Jono”. Sebagai seorang yang cinta budaya dan seni Indonesia, mari kita bersikap kritis terhadap perubahan yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Terutama dalam pembuatan film ‘untuk kalangan sendiri’. walaupun dunia perfilman menarik dinikmati, haruslah tidak meninggalkan nilai budaya yang ada. Dengan harapan agar film yang dibuat dan disimak oleh penonton, berperan dalam pendidikan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar