Film “Namaku Jono” Perlu Renovasi
Catatan Perjalanan Kreativitas SMA
Xaverius II Jambi
Sebuah Kritik
Oleh: Bambang Setiyawan, S.Pd
Akhirnya selesai juga pembuatan film
“Namaku Jono”. Film berlatar belakang kehidupan sosial, kemiskinan, dan
pendidikan yang ditulis oleh Leo Deddy ini mampu memukau penonton saat
ditayangkan. Pembuatan film ‘Namaku Jono’ tidak terlepas dari; penulis
skenario, sutradara, dan produser.
Di tengah lapangan volly SMP-SMA
Xaverius II Jambi sepotong spotlight kuning yang berbentuk bulat disorotkan
dari langit-langit merebut perhatian penonton selama beberapa menit. Selebihnya
hanya gelap tanpa secuil suara pun dari penonton. Itu saja! Tak terjadi apa-apa.
Film itu diberi judul “Namaku Jono”. Sementara bulan purnama menemani penonton
yang menyaksikan film. Pemutaran film selesai para penonton memberi komentar
sebisa-bisa akalnya.
Sebelum memulai tulisan ini saya
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan kritik dan
saran pada film “Namaku Jono”. Pemutaran film “Namaku Jono” adalah dalam rangka
memperingati 100 Tahun (satu abad) hari Kebangkitan Nasional, sekaligus dalam
rangka perpisahan kelas IX SMP dan XII SMA Xaverius II Jambi. Sebuah kritikan
dan saran yang dikirim lewat SMS atau disampaikan secara langsung oleh
penonton, atau siswa-siswi (atau publik) penting untuk disampaikan dan dibahas
serta dibalas. Kritik yang disampaikan oleh publik saat menikmati sajian film
“Namaku Jono” sangat tajam.
Apakah kritik ada gunanya? Kepada
siapa, dan dengan cara bagaimana kritik itu berguna? “Kalimat inilah yang
merangsang penulis untuk menuangkan ide dan menjelaskan tentang film “Namaku
Jono”. Penulis sebagai sutradara film “Namaku Jono” mengakui masih banyak hal
yang perlu direnovasi atau diperbaiki.
Kali pertama ini SMA Xaverius II Jambi
membuat film dengan judul “Namaku Jono”. Film yang dibintangi oleh Bram Fonendi
(sebagai Jono), Lyanawati (sebagai Maria), dan Yohana Krista (sebagai Effa) merupakan hasil kreativitas
siswa-siswi SMA Xaverius II Jambi dalam bidang seni. Film yang diproduksi untuk
“kalangan sendiri” dengan durasi pemutaran 52 (lima puluh dua) menit ini mampu
menggugah hati siswa-siswi, bapak ibu guru, dan tamu undangan.
Film yang dikemas secara sederhana
yang ditayangkan perdana di lapangan SMP/SMA Xavierus II Jambi, pada hari Senin
(19 Mei 2008) pukul 20.00 WIB secara
teoretis berat untuk dipahami oleh orang awam.
Film “Namaku Jono” dengan ide cerita oleh Bayu.A.S (asal Jogyakarta),
penulis skenario sekaligus produser (oleh Leo Deddy), penyunting gambar dan
suara tim Pelita Raya, desain grafis Agnes pada dasarnya adalah representasi dengan
makna sosial.
Ada benarnya jika “kita sepakat”
dengan pendapat bahwa ‘membuat film itu susah dan sulit’. Banyak hal yang perlu
dipersiapkan untuk pembuatan film. Baik skenario, sutradara, pemain, properti
dan sebagainya yang mendukung dalam pembuatan film, dan tak kalah menariknya
adalah kameramen dan editing merupakan puncak ending keberhasilan film atau
finishing film untuk siap ditayangkan.
Secara lengkap persiapan yang harus
dilakukan oleh seorang manajer produksi adalah ‘persiapan produksi, proses
pembuatan jadwal, prakiraan anggaran, KRU atau pekerja film, lokasi shoting,
departemen artistik, pencarian pemain, casting (latihan), pelaksanaan produksi,
dan pascaproduksi’. Namun demikian hal ini sangat sulit (tidak gampang)
dilakukan oleh kalangan pemula. Pembutan film “Namaku Jono” merupakan buah
kreatif yang dapat dijadikan barometer bagi kalangan pelajar tingkat SMA.
Perjalanan kreativitas dalam dunia perfilman belakangan
menunjukkan kemajuan yang pesat. Banyaknya chanel televisi swasta sebenarnya ikut memotori
munculnya kreativitas anak bangsa, terutama dikalangan pelajar tingkat SMA. Tulisan
ini adalah merupakan catatan kritik dan saran dari beberapa penonton (publik)
saat menyaksikan pemutaran film “Namaku Jono”.
Berapa lama pembuatan film “Namaku
Jono”? Film yang diproduksi oleh SMA Xaverius II Jambi ini merupakan film
perdana. Berbicara tentang pembuatan film “Namaku Jono” tentunya berhubungan
dengan waktu. Setelah melalui beberapa tahap atau menuju proses akhir sebuah
skenario, akhirnya disepakati bersama bahwa skenario ‘Namaku Jono’ sudah
menjadi draf akhir atau dianggap selesai. Pembuatan Film “Namaku Jono” membutuhkan waktu kurang
lebih empat (4) bulan yang diawali dengan persiapan produksi sampai dengan
editing (finishing akhir).
Kalau kita melihat dan mencermati
pembuatan film yang ditayangkan dibeberapa televisi swasta belakangan ini
membutuhkan waktu yang cukup lama. Banyak kendala yang dihadapi oleh rumah
produksi ketika membuat film. Begitu halnya dengan pembuatan film “Namaku Jono”. Pada saat syuting kadang
tertunda karena sutradara masih mencari atau menunggu ide padahal keseluruhan
tim dan peralatan (walaupun sederhana) sudah tiba dilokasi syuting. Pembutan
film “Namaku Jono” menggunakan pendekatan konvensional, tanpa alat-alat khusus
atau dengan alat seadanya.
Sutradara
Berhasil tidaknya jalan cerita sebuah
film adalah tanggung jawab sutradara. Sutradara itu sama halnya dengan dirigen,
polisi, pelatih sepak bola, dan hansip.
Memang benar, sedikit atau banyak, ada
kesamaan tugas, wewenang dan tanggung jawab antara dirigen, sutradara, pelatih
sepak bola, polisi lalu lintas dan hansip. Kalau polisi menghadapi dan harus
mengatur para pemakai jalan, hansip menghadapi masyarakat banyak yang harus
“ditertibkan”, maka para pelatih sepak bola, sutradara dan dirigen juga
menghadapi sekelompok manusia. Sebuah kesebelasan untuk seorang pelatih sepak
bola, sejumlah kerabat kerja-pentas untuk sang sutradara, dan setiap anggota
orkes untuk seorang dirigen. Bedanya, bagai pelatih sepak bola, sutradara
ataupun dirigen ada tujuan langsung yang harus segera diraih. Yaitu,
memenangkan permainan.
Dalam sepak bola, walaupun lapangan
dan bolanya tersedia, aturan-aturan main dan wasit beserta hakim-hakim garispun
lengkap, bahkan kapten kesebelasan juga ada, toh seorang pelatih masih
diperlukan kehadirannya. Untuk mengatur sekian banyak orang diperlukan
seorang yang tugasnya tidak hanya
melatih saja, tapi juga mengatur, mengarahkan, membina, membuat siasat-siasat
untuk memenangkan permainan. Pendek kata, memimpin.
Begitu juga bagi seorang sutradara dan
dirigen. Tugas utamanya adalah memimpin. Memimpin para kerabat kerja-kreatif
yang banyak jumlahnya itu. Walaupun untuk sebuah karya teater mapun musik juga
sudah tersedia naskah, aturan-aturan main, pentas dengan segala kelengkapannya.
Beda antara mereka seorang pelatih kesebelasan harus melatih, menyusun siasat
kemenangan kemudian mmbaca situasi pemain di lapangan. Sutradara dan dirigen,
melatih para pemain, menafsirkan sebuah karya teater atau musik, kemudian
mempertaruhkannya langsung di atas pentas. Bedanya lagi, apabila tiba saatnya
turun lapangan atau naik pentas, seorang pelatih sepak bola maupun sutradara
teater hanya bisa “bersembunyi” di balik rumput hijau atau dibelakang tirai
panggung.
Bedanya seorang dirigen harus mau
mempertaruhkan dirinya langsung di atas pentas. Ia bahkan menjadi bagian utama
daripada permainan dan para kerabat kerjanya. Sebutan bintang juga dihadiahkan
bagi para aktor teater maupun film. Tapi bukan untuk sang sutradara. Mungkin
karena faktor pemimpin yang “tersembunyi” (pelatih dan sutradara) inilah kita
mengetahui bahwa umumnya para pemain bintang sepak bola maupun para aktor lebih
tenar dari para pelatih dan sutradara. Sutradara sampai kapan pun masih akan
diperlukan, selama kerangka, pola dasar dan permainan dalam seni sastra atau
perfilman (tentunya) belum berubah.
Penguasaan
Skenario
Sutradara tidak hanya cukup menguasai
alur cerita, tetapi juga harus memahami tema utama yang diajukan oleh skenario
tersebut, pendramaan disetiap adegan, serta napas dari tempo adengan-adengan
dari awal hingga akhir film.
Dalam film “Namaku Jono” yang
diperankan oleh Bram Fonendi (sebagai Jono),
Lyanawati (sebagai Maria), Yohana
Krista (sebagai Effa) dan beberapa
guru SMA Xaverius II Jambi dalam hal penguasaan skenario dapat “dikatakan” hampir
mendekati maksimal menguasai dan menjiwai (terutama pada pendramaan). Namun secara
maksimal para pemain sudah dapat menemukan karakter tokoh dalam akting (film).
Film “Namaku Jono” belum 100% (seratus persen) menuju keberhasilan. Namun untuk
kalangan sendiri kreativitas film “Namaku Jono” dapat “dikatakan” 70% (tujuh puluh persen) layak untuk
dikonsumsi atau disajikan dan layak dijadikan bahan apresiasi khusunya siswa
SMP-SMA Xaverius II.
Latar
Belakang Tokoh dalam Film
Pembuatan film apapun jenisnya tidak
akan terlepas dari tokoh atau pemain. “kosong” kalau film itu tidak ada pemain.
Seorang pemain harus dapat memerankan atau menafsirkan karakter tokoh sesuai
dengan alur cerita. Latar belakang tokoh juga menuntukan keberhasilan pemain
untuk memerankan perannya sebagai tokoh yang diinginkan oleh sutradara (atau
tuntutan skenario).
Film “Namaku Jono” yang melibatkan
lebih dari 25 (dua puluh lima) pemain ini hampir sebagian besar dapat
memerankan perannya sesuai dengan tuntutan skenario. Film “Namaku Jono” yang
berlokasi syuting di Payo Selincah,
Pasar Baru, SMP-SMU Xaverius II, Taman MTQ Jambi, sangat mendukung dalam penceritaan.
Mengapa? Penulis skenario (Leo Deddy) sengaja mengangkat tentang tema sosial
yang dibumbui dengan ‘percintaan’. Maka dari itu latar belakang tokoh atau
pemain pun harus harus sesuai dengan skenario.
Pemilihan
Ritme Dramatik setiap Adegan
Ritme film akan lebih jelas (atau
dapat dibaca) pada saat penyutingan gambar atau film. Walaupun sutradara telah
merancang ritme dramatik setiap bagian dalam satu adengan, untuk memperkaya
bahan penyutingan. Dalam pembuatan film “Namaku Jono” pemilihan ritme yang
dilakukan belum sepunuhnya sempurna. Namun ritme yang dijalankan oleh pemain
dalam memerankan perannya dapat
dirasakan oleh penonton. Film “Namaku Jono” terdiri dari 30 (scene).
Pendekatan
Visual serta Gaya
Casting (latihan) sangat penting bagi
dunia perfilman, teater, drama atau apa saja yang berhubungan dengan
pementasan. Tidak dapat dipungkiri jika gaya dalam pembuatan film sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan pembuatan film. Pemain atau sutradara harus
menguasai skenario dengan matang agar pendekatan viusal ini tercapai secara
maksimal.
Dalam film “Namaku Jono” penulis akui
bahwa casting atau latihan peran (setiap adegan) juga belum secara maksimal
matang. Namun para pemain film “Namaku Jono” mampu berada dalam tema cerita.
Film ini juga disisipi dengan beberapa adegan lucu.
Perlu diketahui bahwa film “Namaku
Jono” lebih dekat dengan tema sosial dan pendidikan. Bukan bertemakan horor
seperti film saat ini yang mencoba merebut pangsa pasar. Dalam film “Namaku
Jono” sudah ada pakem tersendiri. Dalam hal ini penyutingan film lebih cenderung
menggunakan cahaya yang terang benderang dengan kamera lebih banyak statis
dengan tujuan supaya para pemain dalam film “Namaku Jono” dapat memaksimalkan
kemampuannya.
Ritme
dan Tempo Keseluruhan Film
Kritikan yang sangat pedas dalam Film
“Namaku Jono” menunjukkan bahwa film ini dapat dijadikan bahan apresiasi bagi
pelajar. Ada pepatah yang menyatakan bahwa “manusia itu tidak sempurna”. Hal
ini juga berlaku dalam dunia perfilman saat ini. Banyak sekali rumah produksi
yang mengejar jam tayang, sehingga tidak pernah memperhatikan kualitas dalam
pembuatan film. Perlu diketahui bahwa editing sangat penting dalam proses akhir
penayangan film.
Film “Namaku Jono” yang melibatkan kru
Tim Pelita Raya dalam hal editing ini berperan besar dalam keberhasilan
skenario. Apakah adengan berjalan lambat atau cepat, kacau atau terkendali?
Skenario yang baik sudah ditulis
dengan pengembangan plot dan adegan secara bertahap. Ruang dan waktu jelas oleh
penulisnya (Leo Deddy). Dalam film “Namaku Jono” keberhasilan mewujudkan
skenario dari rangkain kata-kata dalam bentuk rangkaian gambar mengikuti alur
yang sudah tertulis dalam skenario sehingga film ini mempunyai cerita yang
utuh. Untuk mencapai ini penonton dalam menyaksikan film “Namaku Jono” harus serius
mengikuti dengan baik. Karena film dengan durasi 52 menit ini menggunakan alur
lompat.
Masyarakat Indonesia
umumnya terbiasa menonton film dengan gaya penggaluran lurus. Penulis skenario
(Leo Deddy) sengaja menghadirkan film “Namaku Jono” menggunakan alur lompat. Alur
adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang
menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian.
Alur merupakan tulang punggung suatu cerita, yang menuntun kita memahami
keseluruhan cerita dengan segala sebab akibat di dalamnya. Memang ‘benar’ bahwa
film “Namaku Jono” secara teoretis sulit untuk dipahami orang awam.
Keberhasilan pembuatan film “Namaku
Jono” merupakan kerja kolektif. Artinya setiap kru menyumbangkan keahlian
masing-masing sesuai dengan terjemahan visi sutradara terhadap skenario, di
bawah “komando” sang sutradara dan produser. Tino (2008:7) menyatakan bahwa
“Penulis skenario adalah orang yang bertanggung jawab menuangkan gagasan ke
dalam bentuk tulisan sesuai dengan pakem-pakem
penulisan naskah film. Dan selanjutnya adalah sutradara. Sutradara adalah orang
yang akan mewujudkan gagasan yang tertuang dalam sebuah skenario menjadi
rekaman audio-visual sehingga bisa dinikmati penonton. Sementara produser
adalah orang yang akan membantu sutradara dalam mengelola proses pembuatan film
tersebut.”
Pemain
Pemain dalam dunia film sering disebut
dengan aktor atau aktris. Dalam film
“Namaku Jono” para pemain yang memerankan peran pernah bermain film sama
sekali. Maka dari itu perlu sekali diadakan audisi atau casting dengan tujuan
untuk memastikan bahwa pilihan berdasarkan nalurinya itu tidak salah pilih.
Untuk aktris atau aktor ternama
umumnya mereka menutut untuk membaca
skenario terlebih dahulu sebelum mengadiri audisi atau casting. Mengapa hal ini
dilakukan? Jika pemain tidak berkenan dengan isi skenario, mereka akan menolak
tawaran bermain film tersebut.
Film “Namaku Jono” proses pencarian
pemainnya tergolong cepat, karena melibatkan siswa dan guru SMA Xaverius II.
Aktor atau aktris dalam film “Namaku Jono” dari segi akting cukup memadai.
Persiapan latihan sebelum syuting cukup membantu dalam kerberhasilan pembuatan
film. Pada tahap ini sutradara menjelaskan alur cerita dan kepribadian
masing-masing karakter dalam skenario kepada para pemeran. Pembuatan film
“Namaku Jono” lebih banyak menggunakan spontanitas pemain di depan kamera
ketimbang proses latihan.
Proses yang sulit sebenarnya terletak
dalam latihan. Ada beberapa pendapat bahwa latihan syuting itu sangat diperlukan.
Mengapa? Pemahaman yang salah terhadap karakter yang akan diperankan harus
dikoreksi dan diperbaiki. Jika hal ini dibiarkan maka totalitas pencapaian
karakter pemeran tidak akan berhasil. Terus terang saja dalam pembuatan film
“Namaku Jono” latihan hanya dilakukan 2
minggu sebelum hari “H” pelaksanaan syuting.
Pemeran atau pemain dalam film “Namaku
Jono” adalah tergolong pemain “amatir” dalan dunia aktris atau aktor. Maaf,
kebesaran pemain amatir dikatan aktor atau aktris. Latihan pengadegan dalam film “Namaku Jono”
cukup lama. Tetapi pada latihan adegan ini hanya beberapa latihan inti yang
masuk dalam kategori sulit. ‘Wajar’ jika penonton memberikan komentar bahwa
“FILM NAMAKU JONO” perlu renovasi.
Memang latihan yang baik akan
mengurangi resiko kesalahan saat pengambilan gambar. Hal yang menarik dalam
perjalanan syuting, (terutama) dalam adegan yang sangat sulit bisa
berulang-ulang kali pengambilan gambarnya. Namun demikian beberapa penonton
yang menyaksikan penayangan film “Namaku Jono” merasa puas, dengan kreativitas
siswa.
Penyutingan
Syah-syah saja jika penonton
mengkritik bahwa penyutingan gambar film “Namaku Jono” belum sempurna. Untuk
tingkat Jambi, peralatan yang memadai untuk penyuntingan film belum ada. Apalagi film yang dibuat hanya
untuk kalangan sendiri. Tentu membuthkan banyak biaya jika menyewa alat
syuting. Namun demikian, kualitas gambar dan suara memang penting dalam dunia
perfilman. Gambar yang menarik, tapi tidak ada suara tentu tidak akan menarik
penonton, begitu juga sebaliknya.
Hal yang menarik dalam pembuatan film
adalah penyutingan. Bagaimanakah penyutingan dalam film “Namaku Jono”. Penyuntingan
adalah proses kerja yang panjang antara sutradara dan penyunting, baik
penyunting gambar mapun penyunting suara. Produser Film “Namaku Jono” (Leo
Deddy) selalu mendampingi proses penyuntingan, dan selalu memberikan masukan
kreatif untuk hasil penyuntingan. Proses penyuntingan film “Namaku Jono”
terlalu rumit, karena saat syuting hanya menggunakan dua kamera Panasonic (MD
9000 dan MD 10000). Dan pengambilan suara melalui speaker pada kamera.
Selanjutnya euforia syuting menggunakan MDV (Mini DV), penyuntingan gambar
menggunkan program pinnacle studio 9.
Penulis mencermati bahwa pembuatan
film yang dilakukan oleh kalangan pelajar tingkat SMA khususnya di Jambi masih
menggunakan alat seadanya. Bahkan hanya menggunakan satu handycam saja. Penulis
akui bahwa film “Namaku Jono” ditinjau dari segi audio memang kurang memuaskan.
Namun bukan berarti pembuatan film ini adalah instan (asal jadi) atau prematur.
Namun dari segi editing cukup memuaskan.
Tulisan ini penulis akhiri dengan
ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses
penyelesaian pembuatan film “Namaku Jono”. Sebagai seorang yang cinta budaya
dan seni Indonesia, mari kita bersikap kritis terhadap perubahan yang tidak
sesuai dengan budaya Indonesia. Terutama dalam pembuatan film ‘untuk kalangan
sendiri’. walaupun dunia perfilman menarik dinikmati, haruslah tidak
meninggalkan nilai budaya yang ada. Dengan harapan agar film yang dibuat dan
disimak oleh penonton, berperan dalam pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar