BAB I
Sejarah dan Standarisasi Bahasa Indonesia
A. Sejarah Bahasa Indonesia Baku
1. Fungsi Pembakuan Bahasa
Sudah lama terasa perlu adanya “standarisasi” atau
pembakuan dalam bahasa Indonesia. Hal ini dirasa perlu karena dirasa sudah
demikian banyaknya kosa kata asing maupun daerah yang masuk ke dalam bahasa
Indonesia, yang pemakaiannya belum diatur dengan suatu kaidah yang bisa
dijadikan pedoman oleh para pemakai bahasa Indonesia.
Apabila keadaan di atas dibiarkan begitu saja, tanpa ada usaha pembakuan,
tentu salah tafsir terhadap pemakaian kosa kata tersebut akan menimbulkan
persoalan baru yang barangkali membingungkan kita sebagai pemilik bahasa
Indonesia itu sendiri. Pemerintah dalam hal ini memang sudah melakukan usaha
yang dapat menyamakan tafsiran para pemakai bahasa Indonesia. Usaha tersebut
meliputi berbagai bidang yang membangun bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi,
bahasa negara, bahasa persatuan, bahasa kesatuan, dan bahasa nasional. Usaha ke
arah pembakuan itu pun dilakukan secara bertahap karena luasnya bidang yang
dicakup dalam pemakaian bahasa Indonesia.
Tahap pertama dimulai dengan Keputusan Presiden No.57 tahun 1972, dengan
diresmikannya Ejaan yang disempurnakan untuk seluruh Indonesia. Kemudian, oleh
Departemen Pendidikan dan kebudayaan dikeluarkan “Pedoman Umum Ejaan Yang
Disempurnakan dan Pedoman Pembentukan Istilah”, sebagai lampiran keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27 Agustus 1975 No.0196/u/ 1975.
Jadi, hingga sekarang kita baru sampai
kepada pembakuan di bidang ejaan dan pembentukan istilah. Di bidang-bidang lain
seperti pembakuan tatabahasa, ucapan, dan lain-lain masih belum. Kenapa masih
seperti ini? Pertanyaan ini tentu tidak mudah untuk menjawabnya karena berbagai
sektor dan faktor ikut menentukan.
Usaha pembakuan yang telah dilakukan
di atas, menurut Anton Muliono dalam Situmorang (1986:28) sangat penting,
yakni:
1.
Fungsi
pemersatu bagi seluruh bangsa
Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa negara, bahasa resmi. Bahasa
Indonesia harus mampu me ngikat suku-suku yang ratusan jumlahnya di Indonesia
dan harus mampu menjadi wahana pengungkap kebudayaan nasional yang berasal dari
segala macam tradisi, adat dan suku yang tersebar di seluruh Nusantara. Jika
demikian, fungsi pemersatu dapat ditingkatkan menjadi suatu bahasa baku yang
beradab yang menjadi salah satu ciri manusia Indonesia modern.
2.
Fungsi
penanda keperibadian, yang
dijalankan oleh suatu bahasa baku dan bangsa yang beradab akan terlihat jika
dipergunakan dalam pergaulan dengan bangsa asing. Kita ingin menyampaikan
identitas kita lewat bahasa Indonesia. Kalau fungsi in sudah dijalankan dan
dipraktekan secara luas, maka bahasa Indonesia dapat dianggap telah
melaksanakan perannya yang penting sebagai
bahasa nasional yang baku.
3.
Fungsi
Penambahan kewibawaan, jika kalangan
masyarakat yang berpengaruh menambah kewibawaannya dengan menguasai bahasanya
dengan mahir hingga meningkatkan gengsi bahasa Indonesia akan terlaksana kalau
bahasa (Indonesia dipautkan dengan hasil teknologi modern dan unsur kebudayaan
baru).
4.
Fungsi sebagai
kerangka acuan, (frame of reference), yakni ukuran yang
disepakati secara umum tentang tepat tidaknya pemakaian bahasa di dalam situasi
tertentu. Hal ini akan tercapai bila diusahakan di bermacam-macam bidang
seperti: surat-menyurat resmi, bentuk surat-surat keputusan dan akte-akte,
risalah-risalah dan laporan, undangan, iklan, pengumuman, kata-kata sambutan,
ceramah, pidato dan lain-lain.
2. Ciri
Bahasa Baku
Bahasa baku ialah bahasa yang
terpelihara baik dalam pemakaian kaidahnya. Bersih dari pengaruh langsung
berbagai unsur bahasa daerah dan bahasa asing lainnya. Untuk ini, Anton Muliono
dalam Arifin (1982:10) mengatakan bahwa bahasa baku memiliki ciri sifat dinamis
yang cukup terbuka untuk menampung: a) perubahan yang bersistem di bidang kosa
kata dan peristilahan, dan b) perkembangan berjenis ragam dan gaya bahasa
dibidang kalimat dan makna.
3. Beberapa Pengertian dan Penjelasan
Sebelum membicarakan sejarah dan
perkembangan bahasa Indonesia, perlu kita mengenal beberapa isitilah yang bisa
dipergunakan untuk bahasa Indonesia, yakni:
1. Bahasa Resmi
2. Bahasa Negara
3. Bahasa Persatuan
4. Bahasa Kesatuan
5. Bahasa Nasional
Bahasa Resmi ialah bahasa yang telah disahkan dengan
undang-undang dan peraturan pemerintah (resmi = rasmi, Kamus Umum Bahasa
Indonesia – Poerwadarminta). Bahasa resmi ialah bahasa yang telah disahkan dan
dipakai dalam administrasi pemerintahan, dalam rapat-rapat, di sekolah-sekolah,
dalam pertemuan-pertemuan resmi dan lain-lain).
Bahasa Negara (Nagara
dari bahasa Sansekerta). Negara ialah suatu daerah yang penduduknya, ada
pemerintahannya, ada cita-cita bersama (kemauan bersama). Jadi bahasa negara
adalah bahasa suatu bangsa yang mempunyai pemerintahan. Dalam hubungan bahasa
Indonesia, bahasa resmi dan bahasa negara sama artinya.
Bahasa Persatuan ialah bahasa yang berfungsi mempersatukan semua
suku bangsa yang ada di Indonesia. Tanpa adanya satu bahasa yang dapat
menghubungkan suku yang satu dengan suku yang lain tak dapat kita bayangkan
bagaiman kita harus berhubungan di Indonesia yang terdiri 13.677 pulau
(penghuni 6.004) dan terdiri dari ratusan suku bangsa.
Bahasa Persatuan ialah bahasa yang telah menjadi satu. Oleh karena
negara kita negara kesatuan, maka dengan sendirinya kita menginginkan bahasa
Indonesia hendaklah juga menjadi bahasa Kesatuan. Pengertian persatuan, dan
kesatuan untuk bahasa Indonesia, hampir tidak ada bedanya. Tapi jika istilah
ini kita tinjau dari segi tatanegara, jauh sekali bedanya. Misalnya negara
kesatuan adalah negara unifikasi, seperti Republik Indonesia, sedang negara
persatuan adalah negara federal seperit pada masa R.I.S (Repubil
Indonesia Serikat) atau seperti Amerika sekarang.
Bahasa Nasional yakni bahasa yang dipergunakan sebagai wahana
untuk menyatakan aspirasi kenasionalan. Perkataan nasional dari kata “nation”
artinya bangsa, kemudian melahirkan nasionalisme, nasionalist, yang
mengandung makna “perjuangan”.
Untuk bahasa Indonesia kelima istilah
di atas sama-sama kita pergunakan. Tapi
jika kita melangkah lebih lanjut untuk memikirkan atau merenungkan, kapankah
mulai ada bahasa Indonesia, kita pun akan terbentur kepada problema, unsur mana
atau unsur apakah yang paling penting menentukan/ menetapkan asal mula
bahasa Indonesia tersebut. Apakah unsur resminya, apakah unsur
nasionalnya atau unsur-unsur lain.
Ada orang yang berendapat bahwa bahasa
Indonesia dan Sastranya baru tahun 1945, 1933, 1928, 1920, 1908 dst. Yang
mengatakan 1945, oleh karena resmi dicantumkan dalam UUD, barulah tahun
1945, yakni dalam UUD 45 bab XV, pasal 36, yang berbunyi: “Bahasa Negara ialah
Bahasa Indonesia”. Jadi secara resmi memang baru tahun 1954-lah ada bahasa
Indonesia, sebab baru itulah ada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Yang menyatakan 1933, oleh karena pada
tahun itu terbit sebuah majalah bernama ‘Pujangga Baru”, yang terang-terangan
hendak memajukan bahasa dan kebudayaan Indonesia. Kebanyakan orang-orang yang
biasa menulis karya dalam majalah itulah kemudian yang kita kenal dengan
sebutan “Angakatan Pujangga Baru”. Tokoh-tokohnya ialah S. Takdir Alisyahbana,
Amir Hamzah dan Armyn Pane.
Yang mengatakan 1928, karena pada
tahun itulah (28 Oktober) dicetuskan “Sumpah Pemuda” yang merupakan ikrar
para pemuda dari seluruh Nusantara yang berisi:
Berbangsa satu, bangsa Indonesia
Bertanah air satu, tanah air
Indonesia
Berbahasa satu, bahasa Indonesia
Sumpah Pemuda ini merupakan tiang tonggak
yang sangat penting dalam perkembangan bahasa Indonesia selanjutnya. Jangankan
dibidang bahasa, tapi dibidang lain juga seperti di bidang politik dan ideologi
kenegaraan arti smpah pmuda ini luar biasa pentingnya. Prof.Dr.A.Teeuw
menyebut, 28 Oktober 1928 ini sebagai saat pembabtisan bahasa Melayu
menjadi bahasa Indonesia.
Yang mengatakan 1920, oleh karena pada tahun
inilah mulai muncul karya-karya sastra asli karangan orang-orang Indonesia sendiri
seperti Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar dan Siti Nurbaya
oleh Marah Rusli. Pada tahun inilah aktifitas Balai Pustaka dimulai dengan
terbitnya buku-buku novel (roman) penulis-penulis orang Indonesia dengan
memakai bahasa Indonesia. Kalau aktivitas kesusastraan sebelumnya berada di
Malaya, maka semenjak tahun itulah mulai ada bahasa Indonesia sebagai alat
untuk menyatakan sastra di Indonesia.
Yang mengatakan tahun 1908, karena
pada tahun itulah mulai ada organisasi sosial yang menjadi bibit (sumber)
pemimpin-pemimpin bangsa selanjutnya, yakni “Boedi Utomo” yang dipimpin
oleh para mahasiswa Fakulatas Kedokteran pada waktu itu, seperi Sutomo, Cipto
Mangunkusumo dll.., merupakan suatu organisasi yang kemudian menjadi tonggak
penting perkembangan organisasi politik di kemudian hari. Dan Pemeritah
Republik Indonesia sendiri telah menetapkan 1908 (20 Mei) sebagai hari Kebangkitan
Nasional, yang setiap tahun diperingati di Indonesia.
Jadi kalau kita mengakui bahwa unsur nasional,
merupakan hal yang penting untuk menetapkan asal mula bahasa Indonesia, maka
tidak boleh tidak tahun tahun 1908 yang telah ditetapkan oleh Pemerintah
sebagai hari Kebangkitan Nasional, kita terapkan pula dibidang bahasa.
Bahasa Indonesia sekaligus sebagai
bahasa resmi dan bahasa nasional. Banyak negara yang berbeda bahasa resminya
dari bahasa Nasionalnya. Bahasa Tagalok adalah bahsa Nasional di Filipina, tapi
bahasa resmi adalah bahasa Inggeris. Di India bahasa nasional adalah bahasa
Hindi, sedang bahasa resminya adalah bahasa Inggeris. Di Pakistan bahasa
nasional adalah bahasa Urdu sedangkah bahasa resminya adalah bahasa Inggeris.
Malahan ada bangsa yang tidak mempunyai bahasa nasional, seperti Swiss, kanada
dan Belgia.
Indonesia termasuk bangsa yang sangat
beruntung dan pantas berbangga hati karena dia memiliki bahasa nasional yang
sekaligus menjadi bahasa resmi. Dan di Indonesia tidak pernah terjadi
percekcokan atau pertengkaran tentang bahasa nasional, dan tidak seperti India
yang sering terjadi pertumpahan darah karena persoalan bahasa.
Di kalangan masyarakat masih sering
terdapat kekeliruan tentang siapakah sebenarnya orang pertama yang menggunakan
nama (istilah) INDONESIA. Sampai sekarang masih ada buku yang mengatakan
bahwa orang pertama yang menggunakan nama Indonesia seorang entograf Jerman,
Adolf Bastian tahun 1884. Aolf Bastian memang memakai nama “Indonesia” sebagai
judul karangannya, yang terbit di Berlin tahun 1884, yang jilid pertamanya
mengenai Maluku dengan judul “Indonesia” pada Adolf Bastian waktu itu meliputi
Kepulauan Melayu, yakni kepulauan antara daratan Asia Tenggara dan benua
Australia dan Filipina tanpa Irian.
Tiga pulu empat tahun sebelum Adolf
Bastian menggunakan istilah Indonesia tersebut dua orang sarjana berkebangsaan
Inggeris telah mempersoalkannya, yakni: G.W. Earlb dan J.R Logan.
G.W. Earl seorang etnolog Inggeris membicarakan dalam majalah “The Journal
of the Indian Archepelago and Eastern Asia, jilid IV, tahun 1850. Earl
mengusulkan nama baru bagi penduduk-penduduk kepulauan Hindia atau kepualauan
Melayu (inhabitants of the “Indian Archipelago” or “Malayan Archipelago”, yakni
“ Indu-nesian” atau “Malayun-sinas”. Earl sendiri lebih suka memakai nama Melayunesian
pada waktu itu, dengan alasan mengandung penghargaan atas kegiatan rakyat
melayu yang telah menjelajahi seluruh kepulauan Nusantara sebelum orang Eropa
datang ke daerah ini.
J.R Logan, seorang etnolog Inggeris juga, yang pada waktu
itu menjadi editor majalah tersebut di atas tidak dapat menyetujui pendapat G.W.
Earl dan lebih suka memakai nama Indonesia, dengan alasan: I
prerer the purely geoggraphy term Indonesia, which is merely a shorter synonym
for the Indian Island Archipelagians or Indian Islanders (Saya lebih suka
nama dengan arti georgrafis saja – Indonesia – singaktan untuk pulau-pulau
India atau kepulauan India. Jadi penduduk-penduduk kepulauan India atau
kepulauan India menjadi Indonesia). Pada waktu itu diusulkannya tiga nama,
India, Ultraindia (Transindia) dan Indonesia.
Selama tiga puluh tahun isitlah
Indonesia tidak pernah dipergunakan orang lagi. Baru satu tahun kemudian 1881,
muncul lagi nama Indonesia dalam sebuah majalah Inggereis yang bernama NATURE.
Satu tahun kemudian (1882) terbit sebuah buku pelajaran bahasa Melayu karangan
W.E. Maxwell, sarjana Inggereis yang menyebut “The Island of Indonesia”.
Barulah dua tahun kemudian (1884) istilah (nama) INDONESIA dipakai oleh Adolf
Bastian.
Sarjana etnologi Belanda, yang lebih
tepat disebut sebagai peletak dasar etnologi Indonesia, A.G. Wilken, seringkali
menggunakan kata “Indonesiers” Wlken memaksudkan penduduk kepulauan Indonesia
dengan Irian Jaya, ditambah dengan penduduk Filipina, sebagaian penduduk
Madagaskar, dan sebagaian penduduk Taiwan.
Kesimpulannya adalah bukan Adolf
Bastian penemu pertama pulau Indonesia, tapi J.R. Logan (James Richardson
Logan).
3. Tentang Bahasa Indonesia Baku
Sudah lama terasa perlu adanya
standarisasi (pembakuan) dalam bahasa Indonesia. Pembakuan ini meliputi segala
bidang. Dan oleh karena luasnya bidang yang dicakupnya, maka pemerintah
berpendapat sebaiknya dilaksanakan tahap demi tahap.
Tahap pertama dimulai dengan Keputusan
Presiden no.57 tahun 1972 dengan diresmikannya Ejaan yang Disempurnakan untuk
seluruh Indonesia. Kemudian oleh Departemen Pendidikan dan Kebudadayaan
dikeluarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman
Pembentukan Istilah, sebagai lampiran Keputusan Menteri P & K tanggal
27 Agustus 1975 No. 0196/ 1975.
Jadi hingga sekarang kita baru sampai
kepada pembakuan di bidang ejaan dan pembentukan isitlah dibidang-bidang lain
seperti pembakuan tatabahasa, pembakuan ucapan dll., masih belum. Apa perlunya
kita membuat pembakuan di bidang bahasa? Menurut Drs. Anton Muliono fungsi
pembakuan bahasa itu sangat penting, yakni:
1. Fungsi pemersatu bagi seluruh bangsa Indonesia sebagai
bahasa nasonal, bahasa negara, dan bahasa resmi. Bahasa Indonesia harus mampu
mengikat suku-suku yang ratusan jumlahnya di Indonesia dan harus mampu menjadi
wahana pengungkapan kebudayaan nasional yang berasal dari segala macam tradisi,
adat, suku yang tersebar di seluruh Nusantara. Jika demikian fungsi pemersatu
dapat ditingkatkan menjadi suatu bahasa baku yang beradab menjadi salah satu
ciri manusia Indonesia modern.
2. Fungsi penanda kepribadian, yang dijalankan
suatu bahasa baku dan bahasa yang beradab, akan terlihat jika dipergunakan
dalam pergaulan dengan bangsa asing. Kita ingin menyatakan identitas kita lewat
bahasa Indonesia. Kalau fungsi ini sudah dijalankan dan dipraktekkan secara
luas, maka bahasa Indonesia dapat dianggap telah melaksanakan peranannya yang
penting sebagai bahasa nasional yang baku.
3. Fungsi penambahan kewibawaan, jika kalangan masyarakat yang berpengaruh
menambah kewibawaan dengan menguasai bahasanya dengan mahir hingga meningkatkan
gengsi bahasa Indonesia yang baku itu. Fungsi yang menyangkut kewibawaan yang
tinggi akan telaksana kalau bahasa Indonesia dipautkan dengan hasil teknologi
modern dan unsur kebudayaan baru.
4. Fungsi sebagai kerangka acuan (frame of
reference), yakni ukuran yang disepakati secara umum tentang tepat tidaknya
pemakaian bahasa d dalam situasi tertentu. Hal ini akan tercapai bila
diusahakan di bermacam-macam bidang sepert: surat-menyurat resmi, bentuk
surat-surat keputusan dan akte-akte, risalah-risalah dan laporan,
undangan, iklan, pengumuman, kata-kata sambutan, ceramah dan pidato dll.
B. Sifat-Sifat Bahasa Indonesia yang Terpenting
1.
Yang diterangkan
terletak di depan yang menerangkan (Hukum D.M.) – rumah makan – sekolah tinggi
2. Bila kata majemuk terdiri dari dua kata yang
sama-sama menunjukkan waktu boleh dipertukarkan tempatnya menurut
kepentingannya. (Jika diletakkan di depan berarti itu lebih penting dari kata
yang dibelakangnya).
3. Bahasa Indonesia tidak mempunyai kata penghubung
untuk menyatakan kepunyaan. Jadi ‘rumah guru” bukan “rumah dari guru”.
4. Bahasa Indonesia tidak mengenal tafsir atau
perubahan bentuk pada pokok kata atau kata dasar.
5. Bahasa Indonesia tidak mengenal perbedaan jenis
kelamin kata.
6. Imbuhan (awalan, akhiran, sisipan) memainkan
peranan yang penting dalam bahasa Indonesia, sebab imbuhan dapat mengubah jenis
kata menjadi jenis lain.
Misalnya kata: tunjuk (kata benda), menunjuk (kata kerja
aktif), ditunjuk (kata kerja pasif), petunjuk, penunjuk, telunjuk, pertunjukan,
dan lain-lain.
C. Bahasa yang Baik dan Benar
Sering kita dengar ungkapan ‘gunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar”. Terhadap ungkapan itu
timbul banyak rekasi. Pertama, orang mengira bahwa kata baik dan benar
dalam ungkapan itu mengandung arti atau makna yang sama atau identik. Sebanrnya
tidak!. Justu ungkapan itu memberikan ksempatan dan hak kepada pemakai
bahasa secara bebas sesuai dengan
keinginannya dan kemampuannya dalam berbahasa. Mari kita tinjau kedua arti kata
itu.
Berbahasa yang baik adalah berbahasa sesuai dengan
‘lingkungan” bahasa itu digunakan. Dalam hal ini, beberapa faktor menjadi
penentu. Pertama, orang yang berbicara; kedua orang yang diajak bicara; ketiga,
situasi pembicaraan apakah situasi itu formal atau nonformal (santai); keempat,
masalah atau topik pembicaraan. Beberapa contoh dikemukan berikut ini.
Seorang guru yang berdiri di depan
kelas menyampaikan pelajaran kepada murid-muridnya atau seorang dosen di
fakulatas yang memberikan kuliah kepada mahasiswanya, tentu harus menggunakan
bahasa yang sifatnya formal, yang biasa dinamai bahasa baku. Situasinya adalah
situasi resmi. Guru itu tentu tidak dapat menggunakan bahasa santai, misalnya
menggunakan bahasa berdialek Jakarta, atau dialek Ambon, atau Manado.
Seorang yang menulis lamaran kerja
atau pekerjaan ke suatu departemen atau suatu perusahan, harus juga menggunakan
ragam bahasa baku yang resmi. Begitu juga dengan seorang yang menulis artikel
untuk suatu surat kabar. Dia tidak punya pilihan lain.
Seorang kuli di pelabuhan Tanjungpriok
yang bercakap-cakap dengan temannya sesama kuli, tentu harus menggunakan bahasa
seperti yang biasa mereka gunakan diantara mereka. Bahasa kuli-kuli pelabuhan
itu tentu bukan bahasa ragam bahasa baku, tetapi ragam bahasa santai. Kuli
pelabuhan di Tanjungpriok pada umumnya akan menggunakan dialek Jakarta dengan
kata sapaan gue dan lu, dengan ude dan aje dan
bukan sudah dan saja.
Anak-anak remaja di Jakarta mungkin
akan bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa prokem di lingkungan
mereka sebagai penanda identitas mereka dan usaha membatasi lingkungan mereka
dari lingkungan luar karena dengan menggunakan bahasa prokem itu, hanya mereka
yang mengerti apa yang mereka bicarakan. Orang luar tidak memahaminya.
Kalau seorang ilmuwan bercakap dengan
temannya sesama ilmuwan dan yang dibicakaran mereka adalah tentang suatu yang
menyangkut suatu ilmu, katakanlah matematka, penerbangan atau sistem monoter,
mereka ini tentu harus menggunakan bahas baku atau ragam ilmu yang mereka
bicarkan itu.
Kalau kita pergi ke pasar dan menawar
sayur, ikan, daging, atau apa saja kepada penjual di pasar itu, kita akan
menggunakan bahasa ragam santai, sesuai dengan bahasa yang biasa dipakai di
daerah itu. Kalau pasar itu di Jogyakarta, tentulah bahasa yang digunakan
bahasa Indonesia dialek Jawa Yogya.
Bahasa yang sesuai seperti yang
dijelaskan di atas itulah yang disebut bahasa yang baik, baik karena cocok
dengan situasinya. Kalau kita menggunakan ragam bahasa yang lain yang tidak
sesuai dengan situasinya, maka bahasa yang kita gunakan itu dikatakan bahasa
yang tidak baik.
Bahasa yang benar adalah bahasa yang sesuai dengan kaidahnya, bentuk dan
strukturnya. Kalau berbahasa Indonesia baku harus seperti bahasa yang kaidahnya
tertulis dalam buku-buku tata bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Sebaliknya, bila menggunakan salah satu dialek, dialek Jakarta misalnya, harus
betul-betul bahasa Jakarta seperti yang digunakan oleh penduduk asli Jakarta.
Itulah yang dimaksud dengan kata benar.
Jadi, kita dituntut untuk agar
sepanjang hari dengan siapa saja berbahasa Indonesia ragam resmi. Di rumah,
kita bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa seperti yang biasa kita gunakan
dalam lingkungan keluarga kita. Biasanya bahasa di setiap keluarga tidak sama.
Kita juga tidak dituntut berbahasa Indonesia yang baku dengan tukang becak.
Kalau kita menggunakan bahasa baku dengna mereka, maka bahasa yang kita gunakan
itu bukanlah bahasa yang baik walaupun benar.
Mudah-mudahan penjelasan ini memberikan pengertian yang lebih baik kepada
Anda mengenai apa yang dimaksud dengan kata baiki dan benar itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar